Kita harus mengingat pemikirannya dan bukan orangnya
 Karena manusia bisa gagal,
 Dia bisa tertangkap
 Dia bisa terbunuh dan terlupakan
 Tapi 400 tahun kemudian
 Sebuah pikiran masih bisa mempengaruhi dunia.
 Aku menyaksikan dari awal akan kedasyatan sebuah pemikiran
 Aku melihat manusia  membunuh dengan mengatas namakan pemikiran itu
 Dan mati karena mempertahankan pikiran tersebut
 Tapi kau tidak bisa mencium sebuah pikiran
 Tak bisa menyentuh ataupun memegang pemikiran tersebut
 Pemikiran tidak berdarah
 Mereka tidak merasakan sakit  . Di kutip dari Quote film :  V for Vendetta
Manusia (Si) Â mahluk Sosial media
Manusia tidak hanya dikenal dari perbuatan-perbuatannya, tapi juga dari buah pikirnya. Pikiran yang tersebar lewat kata, tertulis lewat jejaring sosial media, dan untuk kemudian disebarluaskan pada dunia.
Buah Pena pikir kita , tidak lagi menjadi buah yang kita nikmati sendiri, pahit manisnya. Buah pena itu kini dengan mudahnya dibagi, disebarluaskan, dan diberitakan , hanya dengan sekejab mata.Â
Satu klik, untuk di klik dan diklik lagi. Dishare dan resharekan ulang, berkali-kali, berpuluh kali hingga ribuan.  Dan bayangkan efeknya !  Luar biasa. Kita seperti pedangan MLM, yang tak memerlukan Toko, biaya iklan,  jempol tangan kita  sudah bermulti fungsi menjadi agen yang luar biasa handal, disambung dengan jempol-jempol lain, dan Cling…. Blast, Whussss, secepat Si angin berhembus, dan kita tiba-tiba menghembus aroma sedapnya, ehhh. Yang saya maksudkan adalah, kita terkadang tak tahu siapa yang menghembuskan si aroma busuk itu, tapi kasak kusuknya sudah pasti menjadi buah bibir seantero ruangan, yang celingak celinguk ingin tahu "who's the men behind the bOOm."
Pointnya  : Kita tak pernah tahu, apakah postingan kita akan membawa faedah, atau malah petaka.  Apa yang bagi kita  pada mulanya  hanya ulasan adu mulut dan debat, atau curahan hati beruta unek-unek kesal dan sebal, kadang merembet seperti kobaran api  yang membakar seisi hutan.
Untuk itulah  meski mengklik dan mensharekan sesuatu hanya segengam jempol dan wifi gratis di warung kopi, namun dalam meresharekannya diperlukan hati untuk memilah-milah, mana hal yang berdaya guna dan bermanfaat, menghibur, memiliki nilai dan bermakna, dan mana yang hanya menimbulkan huru hara belaka.
Tanggung jawab si Buah Pena, tidak lagi menjadi milik sang pencetus ide mula-mula, buahnya pun tak lagi dikunyah dan dirasakan oleh dirinya pribadi. Kini tanggung jawab berita ada juga pada tangan-tangan kita yang turut bersumbangsih dalam menyebarkan si buah pikir yang kita sharekan dijejaring social kita setiap saatnya. Ada tanggung jawab renteng yang  tak boleh kita abaikan disana.
Si buah pena, pemikiran itu tidak berwujud, tidak tersentuh, tidak lekang oleh waktu, dia mampu bertahan melewati masa, dipercaya oleh satu generasi untuk dilanjutkan pada generasi –generasi berikutnya. Itulah sebabnya buah pena menjadi begitu berharga.  Nilainya lebih mahal dari uang, yang akan habis saat barang digerogoti oleh karat dan lekang oleh waktu.
Buah pena yang baik, seperti pelita. Pelita yang  menerangi kegelapan hati, saat mata pena dari sang penulis diliputi Nur Cahya  dari hati yang tidak lagi digelapi oleh ambisi dan nafsu atas nama apapun. Tidak juga atas nama Allah dan Agama.
Agama adalah hak setiap individu untuk bebas mempercayai ajaran-ajaran sesuai dengan keyakinan nuraninya.  Hak yang seringkali diberedel atas nama hubungan Anak-Orangtua, Negara- Warga Negara, Minoritas- Mayoritas, Kuasa- Budak, Ancaman – Ketakutan – Terror – Pemberontakan.