Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saksi Mata

6 Agustus 2016   13:21 Diperbarui: 6 Agustus 2016   13:39 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah mata-mata, yang ditaruh untuk mencatat setiap kelakuan sang majikan. Tapi dalam keseharian, aku dibungkam dalam buaian  tanpa bisa menyuarakan kata. Sungguh! Mulutku sudah dikunci dengan semua hal yang menyukakan rasa. Dan akupun lama lama terbiasa, dan aku lupa akan tugasku sebagai mata-mata.

Setiap hari aku melihat transaksi yang direka-reka agar terlihat biasa dalam kecurangannya yang luar biasa. Ada penggelapan pajak dari penghasilan yang diciutkan dengan skala 1 : 4. Ada suapan-suapan maut dengan pejabat agar mereka dapat bocoran projek, lalu mereka memenangkan tender-tender itu dalam lapangan golf , mulus tanpa halangan. Ada pencucian uang secara halus dalam bentuk badan usaha palsu, setengah charity, setengahnya lagi perjudian, penjualan narkoba, prostitusi dengan membedaki "Peeska" agar tampak seperti artis papan atas. 

Tentu kau bertanya darimana aku tahu semua itu ?

Kukatakan padamu, aku adalah saksi mata, saksi utama, juru kunci, yang sangat dipercaya oleh sang majikan. Aku selalu dibawanya ikut kemanapun dia pergi. Bahkan saat dia berselingkuh dengan sekretarisnya yang bahenol, akupun ada disitu.

Tadinya aku tak terlalu perduli, dan tak terlalu mau ambil pusing dengan semua kelakuan majikanku. Selama segala kebutuhanku terpenuhi, tak ada masalah buatku. 

Aku bersenang senang duduk diatas Yacht, menikmati hembusan angin laut, dan angkasa luas dengan biru jernihnya laut di Costa Del Sud, tak seperti pantai ancol yang hitam bak jelaga, pastinya. Aku juga senang bila diajak dinner di rooftop hotel-hotel mewah dengan steak 2000 vintage cote de boeuf , caviar dan segelas Chateau Lafite ,rasanya tidak seperti wine murahan yang pernah kau coba suguhkan dulu, untuk menarik tuanku mendanai bisnismu yang abal-abal. Aku senang diajak menonton teater, mengunjungi museum-museum kelas dunia. Menikmati fashion show dan kau tahu model-model cantiknya begitu mempesona dan menghadirkan surga tiada habisnya. Amazing, aku rasanya ingin hidup 1000 tahun lagi, masih banyak tempat yang ingin ku lihat dan kukunjungi.

***

Rabu Kelabu, 5 Maret 2014

Berita duka terpampang besar diberbagai media atas meninggalnya istri Sang Baron "Nyonya Marquis Von Brenda". Rangkaian bunga papanpun menguasai jalan, karena tak muat lagi dipajang, padahal rumah duka sudah diblok dari ujung ke ujung.

Sang Baron memakai jas hitam tanda berkabung. Kepalanya berkali-kali menunduk, menyalami para tamu yang datang untuk turut menyatakan simpati dan belasungkawa.

Penyebab kematian adalah serangan jantung, begitu kata dokter pribadi sang nyonya. Padahal aku tahu dokter itu sudah dibayar sang Majikan dengan uang senilai 3 M, agar sang istri disuntik entah dengan larutan apa, agar tertidur abadi diusinya yang baru 46 tahun.

Namun kini mataku  terusik, perih mengiris, saat majikanku maju ke mimbar untuk memberikan kata-kata perpisahan bagi sang istri terkasih.

Kematian Marquis sendiri sebenarnya tidak terlalu berarti bagiku. Dia tak lebih dari nyonya besar yang suka menghambur-hamburkan uang untuk kegiatannya bersosialita dengan teman-teman borjunya. Sang Nyonya tak punya waktu untuk suaminya. Sedikit waktu yang terluang hanya habis untuk bertengkar atau meminta uang dan uang. Tidak, aku tidak sedih dengan kematiannya, tentu saja. 

Yang membuat mataku perih adalah ulah si Baron yang kini pura pura bersedih dan menitikan air mata haru, saat dia berbicara di mimbar, padahal diseberangnya duduk si sekretaris bohainya yang juga pura-pura tertunduk sedih dan menangis, padahal hatinya sudah pasti  girang bukan alang kepalang, karena sebentar lagi dia pasti akan didaulat untuk menjadi istri si Baron. 

"Hayo keluarkan airmatamu,dasar mata tak tahu diuntung," bisik Baron mengancamku. Tangannya sebentar-sebentar mengucek-ucek mataku. Perih! 

Aku terpaksa menitikan air mata. Tak kuasa menahan tirisan bawang merah yang sudah disiapkan dikantong celana hitamnya. Tapi dasar Si Baron , tak cukup dengan satu-dua titik air mata dari mataku, dia ingin aku menangis tersedu-sedu, agar menambah kesan dramatis. Dia ingin terlihat seperti  suami berbakti yang teramat sangat kehilangan permata hati. 

"Dasar pemain drama amatir !" makiku sebal. Bagaimana aku bisa menitikkan air mata, kalau bahkan tak ada setitikpun rasa sedih menyelinap di hati Sang Baron. Hanya berkilo-kilo irisan bawang merah, yang membuatku semakin perih dan perih.....

Perih yang mengiris mata.....

***

2 Tahun kemudian

Aku diam-diam mengadakan pemberontakan dan persekongkolan. Pemberontakan pertama adalah aku pura-pura buta dan tak melihat kelakuan si Sekretaris bahenol yang kini sudah menjadi nyonya Baron Van Dovel yang berselingkuh dengan sopir pribadinya.

Dan Si Baron tak bisa memprotes, karena ku bilang ini semua adalah salahnya sendiri. Dia yang sudah membuat mataku iritasi dan buta dengan 1 kg Bawang merah yang dioleskan paksa setiap kali dia memerlukan air mata buaya. Kini rasakan sendiri, aku buta dan tak lagi mau melihat!

Pemberontakan kedua adalah saat aku lagi-lagi tak melihat ulah sang Nyonya yang mencampurkan racun pada kopi si Baron. Namun aku memberi kesempatan terakhir pada si Baron untuk melihat.  Sesaat sebelum ajal, aku membuka mataku agar si Baron dapat  melihat ulah sekretaris eh istri bohainya itu. 

Mataku , eh mata si Baron mendelik, melihat senyum kemenangan yang disembunyikan dengan air mata yang tumpah ruah tanda perkabungan teramat pilu oleh Nyonya Van Dovel.

Dan kurasakan geletar amarah dalam tubuhnya yang meliar dan seketika gelap memenuhi udara, saraf otaknya pecah , entah akibat racun kopi, amarah pada sang nyonya, atau padaku, hingga dia tak lagi mau melihat dunia. 51 tahun sudah kutemani dia, melihat indahnya dunia, dan kini rebahlah dia ditangan sekretaris ak istrinya tercinta, lagi-lagi dengan pernyataan dokter yang sama dengan yang membuat pernyataan kematian sang Marquis, sakit stroke hebat. 

Si Tuan disemayamkan dengan berita duka dan  karangan bunga yang lebih besar dari karangan bunga yang diterima sang Nyonya. Juga derai air mata yang lebih menggila dari derai airmata buayanya. Karena nyonya baru ini begitu handal mengeluarkan jurus tangisan buayanya. Dialah sang Nyonya yang menerima simpati dari jutaan orang yang datang dan menyalaminya dengan ucapan, yang sabar nyonya, semoga nyonya diberikan ketabahan dan kekuatan. (Tentu dia akan tabah, sabar dan kuat dengan semua warisan, asuransi, properti dan badan usaha sang Baron... pastinya.)

Gelap...... 

Akulah si saksi mata, yang kini berkisah, tentang semua cerita kehidupan sang Baron, tak ada kejadian yang luput dari mataku. Tak ada atupun peristiwa yang kulupa. Semua tercatat dan tersimpan rapi, untuk kutulis dan kuceritakan ulang pada siapa saja yang mau mendengarkan kisahnya.

Fin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun