Pemberontakan kedua adalah saat aku lagi-lagi tak melihat ulah sang Nyonya yang mencampurkan racun pada kopi si Baron. Namun aku memberi kesempatan terakhir pada si Baron untuk melihat.  Sesaat sebelum ajal, aku membuka mataku agar si Baron dapat  melihat ulah sekretaris eh istri bohainya itu.Â
Mataku , eh mata si Baron mendelik, melihat senyum kemenangan yang disembunyikan dengan air mata yang tumpah ruah tanda perkabungan teramat pilu oleh Nyonya Van Dovel.
Dan kurasakan geletar amarah dalam tubuhnya yang meliar dan seketika gelap memenuhi udara, saraf otaknya pecah , entah akibat racun kopi, amarah pada sang nyonya, atau padaku, hingga dia tak lagi mau melihat dunia. 51 tahun sudah kutemani dia, melihat indahnya dunia, dan kini rebahlah dia ditangan sekretaris ak istrinya tercinta, lagi-lagi dengan pernyataan dokter yang sama dengan yang membuat pernyataan kematian sang Marquis, sakit stroke hebat.Â
Si Tuan disemayamkan dengan berita duka dan  karangan bunga yang lebih besar dari karangan bunga yang diterima sang Nyonya. Juga derai air mata yang lebih menggila dari derai airmata buayanya. Karena nyonya baru ini begitu handal mengeluarkan jurus tangisan buayanya. Dialah sang Nyonya yang menerima simpati dari jutaan orang yang datang dan menyalaminya dengan ucapan, yang sabar nyonya, semoga nyonya diberikan ketabahan dan kekuatan. (Tentu dia akan tabah, sabar dan kuat dengan semua warisan, asuransi, properti dan badan usaha sang Baron... pastinya.)
Gelap......Â
Akulah si saksi mata, yang kini berkisah, tentang semua cerita kehidupan sang Baron, tak ada kejadian yang luput dari mataku. Tak ada atupun peristiwa yang kulupa. Semua tercatat dan tersimpan rapi, untuk kutulis dan kuceritakan ulang pada siapa saja yang mau mendengarkan kisahnya.
Fin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H