Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kisah Si Sandal Jepit

2 Agustus 2016   09:23 Diperbarui: 3 Agustus 2016   17:57 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sepasang sendal lusuh

Sandal jepit itu sudah butut. Ada sedikit bolong di ujung kanan kirinya , tempat telapak kaki beradu dengan aspal jalanan, tanda sang pemilik menumpukan beban berlebih pada kedua tumitnya.

Sudah lebih dari 2 tahun, sandal itu menemani tuannya,  kemana saja si tuan pergi. Usia yang tidak bisa dibilang muda lagi, bagi sepasang sandal jepit, untuk wara wiri menghadapi kekejaman jalan yang penuh ranjau-ranjau darat. Tapi Si Sandal tak putus semangat, si Tuan hanya memiliki dia sebagai satu-satunya alas kaki , dan Si Tuan menyayangi dia seperti anaknya sendiri. Maklum Si Tuan sebatang kara. Tak punya anak juga sanak saudara. Yang dimilikinya hanya beberapa lembar baju lusuh yang sudah bolong disana sininya, dan pondok reot yang bertahan mungkin hanya karena ibanya pada nasib si Tuan. Kemana lagi si Tuan dapat berlindung dari angin dan hujan, bila bukan dipondok reotnya itu?

Pernah suatu kali saat si Tuan tertidur kelelahan, segenap penghuni rumah bermusyawarah dengan sangat serius. Kreat-kreot, suara Dipan, disusul Kreat-Kreot lain sebagai angguk tanda setuju dari pintu, jendela, kursi dan meja kayu, juga lemari baju dipojokan yang hanya berisi 5 lembar baju tak layak pakai. Sendalpun tak mau kalah , Tak-tak –tak, tanda diapun setuju dengan usulan sang Dipan.

“Saudara-saudaraku, yang setia, nasib sudah mempertemukan kita di  rumah sang Tuan. Kita sudah seperti saudara  yang menghadapi pahit getir kehidupan dengan tabah dan gagah berani,  demi menjaga tuan kita dengan segala daya upaya yang kita bisa.

Umur kita sudah tak muda lagi, banyak diantara kita yang seharusnya sudah pensiun, namun apa daya, tuan kita belum sanggup untuk mencari gantinya. Maka  dari itu Saudara-saudaraku, mari kita kuatkan hati, selelah dan seringkih apapun kita, kita harus kuat bertahan, menemani Sang Tuan, disepanjang sisa umurnya.”  Orasi Dipan begitu berapi-api, membakar lagi seluruh semangat perabot, agar tak menyerah saat usia memakan sisa sisa stamina mereka untuk berdiri tegak, tak tergoyahkan.

Sandalpun memberikan vote inspiratif dengan komentar, saya setuju, dan saya akan mendukung sepenuh hati, hasil permusyawarahan ini.

000oo000

Meski alasnya sudah menipis, dengan sangat drastis, Si Sandal, tak pernah mengeluh. Lumpur kini sudah berani menjajah sampai atas alasnya. Memperkeruh warna putihnya yang memang sudah pudar sejak dulu.

Sandal bersedih, bukan karena lumpur mengotori seluruh tubuhnya, membenamkan wajahnya, hingga dia kesulitan bernafas. Dia lebih bersedih, karena ketidakmampuannya menjaga agar kaki sang Tuan tidak ternoda lumpur. Tapi bagaimana bisa, tak ada lagi sisa-sisa karet di alasnya, semua sudah luruh tergerus aspal jalan. Tuanku sungguh malang nasibmu, begitulah guman sandal pilu. Namun ia terus melangkah, menemani sang Tuan berjalan mengais rejeki dinegeri kolam susu, yang susunya kini mengering diperah kaum borjuis dengan serakah, dan menyisakan sedikit saja ampas untuk disesap rakyak "papa" seperti tuannya.

Sudah dilihatnya berbagai macam peristiwa, pedagang kaki lima yang digusur, karena keberadaannya membuat kemacetan meruwet tanpa solusi, rumah-rumah liar juga tergusur, tak memenuhi standar kesehatan, tak layak huni, membuat kotor sungai dan kali. Dilihatnya juga lahan hijau kini membeton, menjadi bagunan mewah yang menunjuk langit dengan pongahnya. Dia juga sudah kenyang berkenalan dengan bermacam macam benda, dialas kakinya. Lumpur, paku, beling, dan paling cilaka , kotoran dari hewan-hewan tak berotak yang dibuang seenak perut dijalan yang dilalui tuannya itu.  

Sandal masih bertoleransi dan memaklumi, tindakan mereka, sebagai bentuk dari ketidaksengajaan atau ketidaktahuan dari para hewan. Namanya juga hewan, bagaimana mereka bisa tahu salah dan benar, mereka juga  tak paham etika pertoiletan dan  kode etik menjaga kebersihan. Meski hidungnya teramat sangat menderita, tapi si Sandal, tetap bersabar dan bersyukur.

“Syukurlah bukan kaki si Tuan, yang harus menginjak kotoran miaw-miaw,” dan diapun melangkah lagi maju dengan riang gembira.

Pernah juga diinjaknya kotoran guk-guk , kali ini dari peliharan seorang Tuan Besar yang punya 5 guk-guk, yang dibiarkan berkeliaran begitu saja di Jalan. Membuang ngengeknya sembarangan, tanpa dihirau oleh Si Tuan besar.

“Dasar siwalan,” maki si Sandal berang. Untunglah dia sandal, maka dia boleh memaki sesuka hati, meski tetap saja dia tak akan pernah  mampu memaki dengan kata-kata yang kotornya melebihi comberan. Itu akan menurunkan harga dirinya sebagai sandal jepit. Dan tak sudi dia mengotori mulutnya karena ulah si Tuan besar yang otaknya mungkin tak sebesar dengkulnya.

Pernah juga suatu kali, alasnya menginjak benda putih liat, lengketnya bukan alang kepalang. Dia tak tahu benda apa itu. Dia hanya melihat, benda itu berasal dari pemamahbiakan manusia yang kemudian meludahkannya ke aspal.

Dasar jorok, dengusnya sebal.  Benda keparat itu kini menempel erat  bagai lintah tak mau lepas di alasnya. Sudah susah payah si Sandal berusaha menyingkirkannya. Digosok-gosok alasnya dengan aspal, agar benda lengket itu terlepas, tapi benda itu tetap saja ngeyel, menempel tak paham isyarat, seperti Fans yang ngekor,stalking stalking, minta dipacari . Begitulah si putih liat ,dengan bau jigongnya yang menguar, menambah kedongkolan Si Sandal.

Manusia pemamah biak macam sapi itu, mungkin spesies yang  baru berevolusi  sehingga tingkat kecerdasan  baru selevel dengan sapi  pemamah biak, jadi aku tak boleh marah, begitu hibur hati si Sandal, sambil melanjutkan lagi perjalanannya menemani sang Tuan.

0000ooo0000

Siang ini terik menghadang. Si Tuan terjatuh, lalu terbujur kaku di jalan. Sudah 1 minggu dia tak makan, tak punya uang, dan tak sudi menadahkan tangan untuk meminta bantuan.

Aku menggeliat-geliat, berusaha menyadarkannya. Tapi apa dayaku?

Suaraku hanya cicit kecil dalam derum-derum mobil yang lalu lalang tak mau berhenti bahkan sejenakpun , untuk menolong tuanku.

Orang-orang berkerumun , melingkar, saling pandang dan tunjuk, tapi tak ada satupun yang maju.

Bisik-bisik mereka, membuatku takut.

Aku tak tahu apa itu mati, dan kenapa mereka bilang tuanku sudah mati. Tuanku bangunlah, mari kita berjalan pulang, kembali ke gubug reotmu tercinta.

Siang menyenja, kasak kusuk masih berlanjut. Aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Pemakaman, mobil ambulance, biaya, siapa yang mau menyumbang, dana, sanak famili, dompet, KTP.....suara mereka berbaur riuh, tapi tuanku hanya terbujur , tidur tak bangun bangun.

Bangunlah tuan, hari sudah hampir malam. Kenapa kau tidur dijalan? Bukankah dipan selalu setia menemanimu di rumah?

Bangunlah Tuan, disana keluarga kita  sudah menunggu, untuk meneduhimu dari dinginnya malam dan rintik hujan, yang kini sudah turun menderas.

Basah, mataku basah, saat beberapa orang yang berbaik hati menggendong tubuh renta tuanku.

Bukan disana gubung tuanku , kamu salah arah, belok ke kiri, tuan –tuan, jangan berbelok ke kanan, begitu teriakku, tanpa bisa didengar mereka.

Tuanku diam saja, tak bergerak, tak bersuara. Bahkan saat tanah mengubur pandang mataku dari luasnya angkasa. Aku mendengar doa-doa terpanjatkan, dan kutitipkan doa disana, “maafkan aku para saudaraku, dipan , kursi, meja, pintu, jendela, baju , almari kecil tuanku, aku belum bisa pulang sekarang. Si Tuan masih tertidur lelap. Mungkin dia lelah."

“Aku akan disini, menemani tuan kita , sampai dia terbangun, dan kita akan bersama-sama lagi."

“Tuan bangunlah, jangan diam dan tertidur saja, hari sudah malam, dipan pasti sudah cemas menunggumu pulang ke rumah kita…………………………”

Fin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun