Bisik-bisik mereka, membuatku takut.
Aku tak tahu apa itu mati, dan kenapa mereka bilang tuanku sudah mati. Tuanku bangunlah, mari kita berjalan pulang, kembali ke gubug reotmu tercinta.
Siang menyenja, kasak kusuk masih berlanjut. Aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Pemakaman, mobil ambulance, biaya, siapa yang mau menyumbang, dana, sanak famili, dompet, KTP.....suara mereka berbaur riuh, tapi tuanku hanya terbujur , tidur tak bangun bangun.
Bangunlah tuan, hari sudah hampir malam. Kenapa kau tidur dijalan? Bukankah dipan selalu setia menemanimu di rumah?
Bangunlah Tuan, disana keluarga kita sudah menunggu, untuk meneduhimu dari dinginnya malam dan rintik hujan, yang kini sudah turun menderas.
Basah, mataku basah, saat beberapa orang yang berbaik hati menggendong tubuh renta tuanku.
Bukan disana gubung tuanku , kamu salah arah, belok ke kiri, tuan –tuan, jangan berbelok ke kanan, begitu teriakku, tanpa bisa didengar mereka.
Tuanku diam saja, tak bergerak, tak bersuara. Bahkan saat tanah mengubur pandang mataku dari luasnya angkasa. Aku mendengar doa-doa terpanjatkan, dan kutitipkan doa disana, “maafkan aku para saudaraku, dipan , kursi, meja, pintu, jendela, baju , almari kecil tuanku, aku belum bisa pulang sekarang. Si Tuan masih tertidur lelap. Mungkin dia lelah."
“Aku akan disini, menemani tuan kita , sampai dia terbangun, dan kita akan bersama-sama lagi."
“Tuan bangunlah, jangan diam dan tertidur saja, hari sudah malam, dipan pasti sudah cemas menunggumu pulang ke rumah kita…………………………”
Fin.