Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kisah Si Sandal Jepit

2 Agustus 2016   09:23 Diperbarui: 3 Agustus 2016   17:57 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sepasang sendal lusuh

“Syukurlah bukan kaki si Tuan, yang harus menginjak kotoran miaw-miaw,” dan diapun melangkah lagi maju dengan riang gembira.

Pernah juga diinjaknya kotoran guk-guk , kali ini dari peliharan seorang Tuan Besar yang punya 5 guk-guk, yang dibiarkan berkeliaran begitu saja di Jalan. Membuang ngengeknya sembarangan, tanpa dihirau oleh Si Tuan besar.

“Dasar siwalan,” maki si Sandal berang. Untunglah dia sandal, maka dia boleh memaki sesuka hati, meski tetap saja dia tak akan pernah  mampu memaki dengan kata-kata yang kotornya melebihi comberan. Itu akan menurunkan harga dirinya sebagai sandal jepit. Dan tak sudi dia mengotori mulutnya karena ulah si Tuan besar yang otaknya mungkin tak sebesar dengkulnya.

Pernah juga suatu kali, alasnya menginjak benda putih liat, lengketnya bukan alang kepalang. Dia tak tahu benda apa itu. Dia hanya melihat, benda itu berasal dari pemamahbiakan manusia yang kemudian meludahkannya ke aspal.

Dasar jorok, dengusnya sebal.  Benda keparat itu kini menempel erat  bagai lintah tak mau lepas di alasnya. Sudah susah payah si Sandal berusaha menyingkirkannya. Digosok-gosok alasnya dengan aspal, agar benda lengket itu terlepas, tapi benda itu tetap saja ngeyel, menempel tak paham isyarat, seperti Fans yang ngekor,stalking stalking, minta dipacari . Begitulah si putih liat ,dengan bau jigongnya yang menguar, menambah kedongkolan Si Sandal.

Manusia pemamah biak macam sapi itu, mungkin spesies yang  baru berevolusi  sehingga tingkat kecerdasan  baru selevel dengan sapi  pemamah biak, jadi aku tak boleh marah, begitu hibur hati si Sandal, sambil melanjutkan lagi perjalanannya menemani sang Tuan.

0000ooo0000

Siang ini terik menghadang. Si Tuan terjatuh, lalu terbujur kaku di jalan. Sudah 1 minggu dia tak makan, tak punya uang, dan tak sudi menadahkan tangan untuk meminta bantuan.

Aku menggeliat-geliat, berusaha menyadarkannya. Tapi apa dayaku?

Suaraku hanya cicit kecil dalam derum-derum mobil yang lalu lalang tak mau berhenti bahkan sejenakpun , untuk menolong tuanku.

Orang-orang berkerumun , melingkar, saling pandang dan tunjuk, tapi tak ada satupun yang maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun