Aku mencintai Fitri , selalu, meski aku sering melupakannya dalam bulan bulan hidupku, larut dengan semua kesibukan pekerjaanku. Tapi suer , aku sungguh mencintainya.
“Mas, bagaimana kabarmu ?” desah suara manis manjanya.
“Aku sibuk,” kadang ku jawab ia , sambil lalu.
“Mas, aku ingin mengobrol denganmu,” celutuknya saat aku sudah duduk santai di dipan . Ku dengar celotehannya separuh hati. Sedang otak dan separuh hati yang lain, tenggelam dalam keasikan bermain gawai.
“Mas , jadi bagaimana ?” tanya Fitri mengusik kesadaranku tiba tiba.
Bagaimana apa? Aku tak tahu apa yang diomongkan Fitri dari awal sampai akhir, aku hanya menangkap awal cerita soal indahnya puasa ,pengendalian diri,ibadah, tapi selebihnya aku sungguh tak tahu lagi, aku sibuk berusaha mendapatkan moster legendaris, yang sulit sekali ditaklukan.
Duas, konsentrasi pecah, monster menghilang , Gagal aku mendapatkan sang legend itu, padahal sudah sebulan lebih aku mencarinya, kampretttttttttttt, aku gemas dan marah, tapi juga tak tahu harus menjawab “bagaimananya” si Fitri yang kini duduk diam menanti jawabanku.
Fitri meninggalkanku, merajuk, karena aku tak tahu apa yang ditanyakan, juga tak tahu harus menjawab apa.
Fitri kadang masih menyapaku seadanya, ku sapa balik juga seapa adanya. Tak ada kopi dalam percakapan kami. Hanya percakapan basa basi yang menguap bersama angin lalu. Lalu kami mulai menjauh dan berjarak. Apa yang kau harapakan dari hubungan yang sepi sapa dan canda, juga sepi hati dan perhatian ? Aku memang masih mencintainya, tentu saja ………………….
Sudah 11 bulan berlalu, dan Fitri tak lagi pernah mengusik-usik keasikanku. Kini aku kembali sibuk dengan duniaku. Pekerjaan yang menggunung dan game gawai yang membuatku sejenak lupa pada pekatnya dunia.
000000000