Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korban?

5 Juli 2016   11:43 Diperbarui: 5 Juli 2016   14:19 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sering ku kutuki para pelaku bom bunuh diri

Goblok, Bego, Tolol, Dungu, Tak punya otak, tak punya nurani

Biadab, keparat, dan tiba tiba semua penghuni kebun binatang 

mencelat ingin keluar juga dari mulutku.

Entah mahluk apa yang bersembunyi dari niat si pelaku

Bisikan dan ajaran darimana yang menghembusi alam dan otak pikir mereka

Dari manakah asal muasal keyakinan mereka ?

Apakah mereka juga korban?

Korbankah mereka  dari tertolaknya diri dari masyarakat ? 

Bentuk protes yang tak lagi  mereka bisa suarakan , dan  mungkin hanya dengan bom suara mereka akan terdengar, dendam mereka akan terbalas, atau hati mereka akan merasa puas ?

Bentuk akal yang dikerdilkan oleh dogma dari tokoh yang di tuakan ? Bentuk patriotisme yang terus digaungkan, untuk membela satu bentuk kepercayaan ?

Idealisme yang diracik dalam bentuk kebenaran mutlak yang tak memberi ruang sisa bagi yang tak sepaham ?

Pemaksaan bentuk agar terbebas dari keragaman ? 

Korban sakit hati dari penindasan suatu "Ras" atau "bentang budaya" yang dilihat merajai dengan paksa, sedang penundukan dengan  pedang hanyalah kulit luar bernama ketakutan, dan ketakutan tak pernah berujung kesetiaan. 

Ketakutan dan penindasan yang dilakukan terus menerus, akan memperanak dendam yang siap meletus bila terusik dan terhasut.

Sebut saja perbedaan ideologi, meski dengan cara yang masih dirasa wajar, meski mengeluarkan kata yang kadang kurang ajar, sesama warga DKI pun tak segan berkusut kusut, dengan membela atau menyalahkan AHOK. Memang tak ada bom bunuh diri disana, hanya kata makian yang kadang menjurus pada SARA, yang membawa etnis serta agama.

Bagi pembaca biasa, kata kata itu hanya sekedar bumbu penyedap kehidupan, meski sedikit beracun, tapi tetap saja terasa nikmat, paling kepala botak atau sedikit darah tinggi bila kata kata meninggi di penghujung debat yang tak diketahui siapa menang atau siapa kalah.

Sedang bagi si Pendendam atau Si pendek akal, kata kata itu bisa membuat benci semakin menyulut.  Tak usah bermanis kata, meski seharusnya kata itu manis adanya. Berapa banyak dari kita merasa kitalah yang terhebat, bukan mereka. Jawa VS Sunda, Pribumi VS China, Islam VS Kristen, Islam Moderat VS Fundamental, Kristen VS Khatolik, Hindu Wisnu VS Hindu Shiva, Budha Mahayana VS Hinayana, Agamais VS Non Agamais, Kaya VS Miskin, Buruh VS pengusaha, Negara VS rakyat,  Parpol VS Independen, dan masih banyak VS VS lain, yang  lagi lagi bagi yang berakal sehat itu memperkaya wawasan , namun tidak bagi yang berakal sempit, itu bisa jadi bahan debat tak habis habis atau bahan yang mungkin bisa menyulut perang dari perang mulut sampai perang senjata.

Dimana letak kesalahan dan akar masalahnya ?

1. Sifat Fanatik berlebihan pada SARA

2. Sifat membeo yang tak berkesudahan

3. Sifat menerima tanpa mau memaknai dan mencari arti

4. Sifat pembutaan atas nama Iman dan agama, sedang agama dan Iman seharusnya menerangi mata hati , laku dan pikir.

5. Ekonomi terlalu berjurang, 

6. Politik terlalu penuh manipulasi

7. Pendidikan tak terawasi dengan baik, mutu dan jangkauannya. Moral tak berjalan sebanding dengan Pengetahuan.

8. Kurang pencatatan real bagi penduduk setempat, warga tak mengenal tetangga, tetangga tak tahu siapa mahluk disebelah pintu.

9. Ketidak perdulian dan acuh pada sesama yang memperbesar iri dan benci

10. Individualisme meninggi , ego dan kepentingan yang tak pernah cukup untuk dipuaskan.

11. Memegang kulit bukan isi, main hajar dari apa kata orang, maing hantam dan hukum hanya dari isu.

12. Tidak mau mengerti, meski tak mengerti tapi seakan mengerti, lalu menghakimi, ikut ikutan massa

13. Mudah di bayar pakai iming iming hadiah, berupa uang, surga dan pahala

14. Mudah di asap asapi pakai kata dia itu Aseng, Amoy, AA, AB, AC, AD, bersumbu pendek akal dan hati.

Pengandai andaianku

Andai aku kenal dengan pelaku bom bunuh diri, berkenal akrab dengan keluarga, ayah dan ibu mereka, menjabat mereka dengan senyum hangat penuh persahabatan.  Meski mungkin Aku Cina dan dia Batak, Meski agamaku Kristen dan dia Islam garis keras, aku kaya dan dia kurang mampu, dsb dsb dsb, apakah dia tetap akan tega membom aku, ditengah memori makan dan bermain bersama, bergandeng tangan bersama membersihkan selokan di depan rumah, memberikan bingkisan kala dia merayakan Idul Fitri, makan dirumahnya dan ikut memanjat pohon dan menimpuki orang dengan biji jambu air yang habis kami makan ? (bisa juga berlaku perumpamaan sebaliknya , maksudku aku yang beragama Islam, dan temanku lah yang Kristen garis keras).

Atau akan tetapkah mereka membomku atas nama "kepercayaan ?"

Entah akupun tak tahu,  setidak tahu aku apakah mereka juga  korban dari sebuah sistem yang tak mampu membawa mereka pada tatanan yang benar. Hanya ku pasti tahu, korban atau bukan korban, Pembunuhan terhadap diri dan sesama bukanlah jalan yang direstui oleh nurani, apapun agama dan pandangannya, apapun jalan kepercayaannya. Terror hanyalah milik orang yang buta hati, akal dan nurani. Itu saja.

Sedang pesan pesan lain sebagai pembungkus dan pemanis kata dibalik Ideologi "Bom Bunuh Diri" hanya egoisme yang terselubung. Dari gilanya akan kekuasaan  atas pengakuan dan pemaksaan hanyalah cara dari orang IDEOT yang memaksakan suatu ideloginya saja.

Bagi penganut keras beraliran Terror, dasar Pengecut kamu yang bersembunyi atas nama dan kepentingan apapun. Pada jiwa kerdil, buta , kejam , egois, serakah, jahat, nafsu iblis berbalut tubuh manusia, sampai berapa banyak korban darah yang ingin kau renggut baru jiwamu terpuaskan ?!

Atas nama Ideologi dan kepercayaanmu yang Kejam dan tak ada peri kemanusiaan, sampai kapan kamu bersorak diatas terror untuk menakuti nakuti kami, dalam jiwa pengecutmu yang tak berani berperang lewat jalur diplomasi, jalur debat, jalur hukum, jalur perang intelektual, untuk mencari jawab dan solusi. Sesungguh sungguhnya kamu adalah orang yang kalah selagi berperang, karena perangmu adalah perang atas kebodohan yang kau suarakan hanya lewat darah dan kekerasan saja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun