Jika konsep rezim hukum darurat sebagaimana dituangkan dalam konstitusi Indonesia dijadikan sebagai landasan pijak, maka keberadaan kebijakan pemerintah atas wabah Covid-19, khususnya yang dituangkan dalam Keppres No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menemukan titik temunya. Karena secara teori, Keppres tersebut lahir sebagai perwujudan pengaturan keadaan bahaya atas Pandemi Covid-19 dan Perppu lahir sebagai pengejawantahan kegentingan memaksa dalam Penanganan Pandemi Covid-19.
Sayangnya, keberadaan Keppres No 11 Tahun 2020 justru absen dari pertimbangan keadaan bahaya sebagaimana ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Dalam konsideran yuridisnya, Keppres hanya menyebutkan dasar Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perihal kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah dan UU 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Padahal filosofi lahirnya UU karantina kesehatan yang tertuang dalam dasar menimbangnya ditegaskan bernuansa kedaruratan, yakni darurat kesehatan. Konsekuensi tiadanya pertimbangan "darurat/keadaan bahaya" dalam Keppres tersebut yakni hilangnya kewenangan khusus/istimewa Pemerintah dalam hal penanganan pandemi ini yang terlegitimasi oleh Pasal 12 UUD 1945. Â
Oleh karenanya, diperlukan kecermatan pembacaan konstitusi sebagai pijakan kebijakan negara. Tanpa pertimbangan yang cermat, sebuah kebijakan yang  urgent untuk melindungi negara dari pandemi Covid-19 hanya akan menyisakan problem inkonstitusional dan cacat hukum.
Darurat Kesehatan Masyarakat dan Perlindungan HAMÂ
Salah satu nilai terpenting dalam konstitusi modern adalah adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan HAM merupakan esensi dari konstitusi itu sendiri, karena sejatinya tujuan dari pembentukan konstitusi adalah adanya pembatasan kekuasaan dan kewenangan kekuasaan negara, termasuk pembatasan relasi kekuasaan antara negara dengan warganya. Oleh karenanya jaminan HAM ditempatkan sebagai prasyarat dari negara hukum.
Pengaturan atas jaminan HAM dalam konstitusi Indonesia sudah sangat detail ditegaskan dalam BAB XA, Pasal 28 mulai huruf A sampai dengan huruf J. Bahkan dalam Pasal 28 I ayat (1) dinyatakan bahwa terdapat seperangkat hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Artinya, sekalipun rezim hukum darurat diberlakukan (staatsnoodrecht), tidak dibenarkan adanya pelanggaran terhadap HAM.
Salah satu konsekuensi dari kebijakan darurat kesehatan masyarakat adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam PP. 21 Tahun 2020. Penegakan hukum terhadap PP tersebut beririsan dengan berbagai peraturan teknis lainnya. Salah satunya, Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penangan Penyebaran Virus Covid-19 yang menegaskan masyarakat dilarang mengadakan kegiatan yang mendatangkan masa. Bahkan dalam pernyataannya, Kapolri menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat tersebut akan dikenai tindakan kepolisian.
Penegakan terhadap kebijakan pemerintah tentu menjadi sebuah keharusan, terlebih dalam kondisi merebaknya wabah virus mematikan Covid-19 seperti saat ini. Tapi pengawalan penegakan hukum atas kebijakan tersebut juga tidak kalah pentingya. Bagaimanapun juga, proses penegakan hukum tidak boleh melenggar nilai-nilai HAM yang dijamin oleh konstitusi.
M. Wildan Humaidi, M.H
Pengajar dan Peneliti Pusat Kajian Konstitusi & Kebijakan Daerah IAIN Purwokerto dan Anggota CONSTAN (Center for Indonesia Constitution Analysis)