Mohon tunggu...
Wildan Humaidi
Wildan Humaidi Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan Pengajar Hukum Tata Negara

Interested in Law and Government Studies

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Darurat Kesehatan Masyarakat dalam Optik Hukum Konstitusi

11 April 2020   16:12 Diperbarui: 11 April 2020   16:34 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lebih dari satu bulan belakangan, sejak informasi kasus pasien positif COVID-19 di Indonesia, seluruh upaya daya masyarakat fokus pada usaha untuk menanggulangi merebaknya wabah penyakit yang menjadi pandemi global ini. Seluruh elemen masyarakat bergerak bersama untuk menghentikan daya laju penularan virus yang semakin tak terkendali. Berdasarkan data (per 11 April 2020) Jumlah pasien positif Covid-19 meningkat menjadi 3.512 orang dan sebanyak 306 korban meninggal. Data ini akan terus meningkat jika upaya penanggulangan tidak diformulasikan dengan tepat, efektif, dan dijalankan secara sinergis oleh seluruh masyarakat. Oleh karenanya, menjadi sebuah keniscayaan bahwa peran Negara melalui kebijakannya harus hadir dalam upaya pencegahan, penaggulangan, sekaligus penghentian dan memusnahkan gerak virus mematikan ini.

Salah satu bukti hadirnya negara dalam upaya tersebut adalah ditetapkannya tiga paket kebijakan sekaligus oleh Presiden Joko Widodo melalui formula kebijakan peraturan perundang-undangan. Tiga paket kebijakan tersebut dikeluarkan sekaligus dalam waktu bersamaan, yakni Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masayarakat Covid-19, Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dan Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Dalam konteks negara Indonesia, seluruh penyelenggaraan kenegaraan, termasuk aktivitas pemerintahan harus dijalankan dalam rel negara hukum (rule of law), sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3).

Konsekuensi dari penyelenggaraan negara hukum mewajibkan bahwa seluruh aktivitas kenegaraan, termasuk kebijakan negara atas darurat kesehatan masyarakat dalam menanggulangi epidemi Covid-19 ini, harus tunduk dan taat pada konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara. Asas ketertundukan negara hukum ini dimaksudkan agar penyelenggaraan negara dapat memberikan perlindungan kepada warganya dan jauh dari kesewenang-wenangan belaka.

"Keadaan Darurat" dalam Konstitusi

Dalam konsep perkembangan negara modern, konstitusi telah memberikan ruang terbuka bagi penyelenggaraan pemerintahan. Ruang tersebut dibedakan antara rezim hukum dalam keadaan normal dan rezim hukum dalam keadaan pengecualian.

Dikotomi penyelenggaraan negara tersebut oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, yang dikutip oleh William Feldman dalam tulisannya "Theories of Emergency Powers (2005)", dikenal dengan konsep Constitutional dualism, yakni Pertama, suatu sistem hukum yang mengatur keadan normal dalam rangka melindungi hak dan kebebasan, dan Kedua sistem hukum yang mengatur keadaan darurat. Rezim hukum Keadaan darurat ini dikenal dengan martial law (dalam tradisi sistem hukum anglo saxon) atau etat desiege atau staatsnoodrecht (dalam tradisi sistem hukum kontinental).

Hampir seluruh negara, mengatur keadaan darurat ini dalam dasar kenegaraannya. Tak terkecuali Indonesia dalam konstitusinya. Pengaturan rezim hukum keadaan darurat di Indonesia dikenal dengan terminologi "keadaan bahaya" dan "kegentingan memaksa".  Perihal keadaan bahaya diatur dalam Pasal 12 UUD 1945 yang menegaskan "Presiden menyatakan keadaan bahaya.

Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang". Konsekuensi yuridis Pasal 12 ini, yakni tindakan Presiden sebagai Sovereign Executive untuk menyatakan keadaan bahaya, yang setelahnya baru diikuti dengan tindakan-tindakan atau pengaturan dalam keadaan bahaya.

Sedangkan perihal kegentingan memaksa diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan "Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang". Jika dipahami dalam konsep original intent (kehendak pembuat konstitusi), keberadaan Pasal 22 adalah mengenai noodverordeningsrecht (regulasi mendesak) Presiden. Oleh karenanya ketentuan Pasal 22 adalah sebagai dasar untuk mengeluarkan extraordinary rules yang lazim dikenal dengan Perppu.

Simpulan pembedanya "keadaan bahaya" dalam Pasal 12 lebih menekankan pada sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat) sementara "kegentingan memaksa" dalam Pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum yang bersifat keterpaksaan (force majeure) dan kemendesakan (urgent). 

Jika konsep rezim hukum darurat sebagaimana dituangkan dalam konstitusi Indonesia dijadikan sebagai landasan pijak, maka keberadaan kebijakan pemerintah atas wabah Covid-19, khususnya yang dituangkan dalam Keppres No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menemukan titik temunya. Karena secara teori, Keppres tersebut lahir sebagai perwujudan pengaturan keadaan bahaya atas Pandemi Covid-19 dan Perppu lahir sebagai pengejawantahan kegentingan memaksa dalam Penanganan Pandemi Covid-19.

Sayangnya, keberadaan Keppres No 11 Tahun 2020 justru absen dari pertimbangan keadaan bahaya sebagaimana ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Dalam konsideran yuridisnya, Keppres hanya menyebutkan dasar Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perihal kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah dan UU 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Padahal filosofi lahirnya UU karantina kesehatan yang tertuang dalam dasar menimbangnya ditegaskan bernuansa kedaruratan, yakni darurat kesehatan. Konsekuensi tiadanya pertimbangan "darurat/keadaan bahaya" dalam Keppres tersebut yakni hilangnya kewenangan khusus/istimewa Pemerintah dalam hal penanganan pandemi ini yang terlegitimasi oleh Pasal 12 UUD 1945.  

Oleh karenanya, diperlukan kecermatan pembacaan konstitusi sebagai pijakan kebijakan negara. Tanpa pertimbangan yang cermat, sebuah kebijakan yang  urgent untuk melindungi negara dari pandemi Covid-19 hanya akan menyisakan problem inkonstitusional dan cacat hukum.

Darurat Kesehatan Masyarakat dan Perlindungan HAM 

Salah satu nilai terpenting dalam konstitusi modern adalah adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan HAM merupakan esensi dari konstitusi itu sendiri, karena sejatinya tujuan dari pembentukan konstitusi adalah adanya pembatasan kekuasaan dan kewenangan kekuasaan negara, termasuk pembatasan relasi kekuasaan antara negara dengan warganya. Oleh karenanya jaminan HAM ditempatkan sebagai prasyarat dari negara hukum.

Pengaturan atas jaminan HAM dalam konstitusi Indonesia sudah sangat detail ditegaskan dalam BAB XA, Pasal 28 mulai huruf A sampai dengan huruf J. Bahkan dalam Pasal 28 I ayat (1) dinyatakan bahwa terdapat seperangkat hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Artinya, sekalipun rezim hukum darurat diberlakukan (staatsnoodrecht), tidak dibenarkan adanya pelanggaran terhadap HAM.

Salah satu konsekuensi dari kebijakan darurat kesehatan masyarakat adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam PP. 21 Tahun 2020. Penegakan hukum terhadap PP tersebut beririsan dengan berbagai peraturan teknis lainnya. Salah satunya, Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penangan Penyebaran Virus Covid-19 yang menegaskan masyarakat dilarang mengadakan kegiatan yang mendatangkan masa. Bahkan dalam pernyataannya, Kapolri menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat tersebut akan dikenai tindakan kepolisian.

Penegakan terhadap kebijakan pemerintah tentu menjadi sebuah keharusan, terlebih dalam kondisi merebaknya wabah virus mematikan Covid-19 seperti saat ini. Tapi pengawalan penegakan hukum atas kebijakan tersebut juga tidak kalah pentingya. Bagaimanapun juga, proses penegakan hukum tidak boleh melenggar nilai-nilai HAM yang dijamin oleh konstitusi.

M. Wildan Humaidi, M.H

Pengajar dan Peneliti Pusat Kajian Konstitusi & Kebijakan Daerah IAIN Purwokerto dan Anggota CONSTAN (Center for Indonesia Constitution Analysis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun