Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berebut STNK dan BPKB Demokrat

11 Maret 2021   15:25 Diperbarui: 11 Maret 2021   22:32 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

STNK dan BPKB. Inilah dua dokumen penting yang harus dipegang sebagai bukti kepemilikan kendaraan bermotor. Kalau keduanya hilang; seseorang bakal kesulitan membuktikan kepemilikan kendaraan bermotornya.

Partai politik bisa diibaratkan sebagai kendaraan bermotor. Wajar kalau kemudian muncul frasa; kendaraan politik. Untuk menjadi Caleg, kepala daerah, hingga presiden butuh kendaraan politik.

Gus Dur dan Megawati merupakan dua figur yang sukses menjadi presiden berkat kendaraan politik bernama PKB dan PDIP. Keduanya menjadi Ketua Umum Parpol dan kemudian punya jatah sebagai kandidat presiden. Saat itu, belum berlaku Pilpres secara langsung. Capres dan Cawapres ditentukan oleh keterwakilan anggota DPR di parlemen. Parpol yang meraup banyak suara saat Pemilu berhak mengajukan nama Capres.

Selaku Ketua Umum Parpol, Gus Dur dan Megawati merupakan pemegang STNK dan BPKB tadi. Demikian juga SBY saat maju sebagai Capres pada 2004 dan 2009 lalu. Posisinya sebagai salah satu pendiri Partai Demokrat menjadikannya sebagai pemegang STNK dan BPKB.

Situasinya berbeda dengan Jokowi. Dia dikenal hebat; lha wong bukan elite PDIP tapi kok bisa dijadikan Capres. Dua kali berturut-turut pula. Mungkin sudah pulungnya Jokowi untuk jadi pemimpin negeri ini. Tapi perlu diingat, Jokowi tidak memegang STNK dan BPKB.

Tidak heran kalau kemudian Ketum PDIP Megawati berujar; Jokowi adalah petugas partai. Gampangnya sih hendak mengingatkan; dik Jokowi naik kendaraan PDIP tapi tidak pegang STNK dan BPKB ya.

Urusan memegang STNK dan BPKB inilah yang membuat gusar Kepala Kantor Staf Presiden atau KSP, Moeldoko. Jenderal asal Kediri ini diduga berminat menjadi Capres. Tapi, STNK dan BPKB tak punya. Jalan termudah ialah memindahkan penguasaan kedua dokumen itu dari orang lain kepada dirinya.

“Adanya pendekatan Moeldoko ke sejumlah pengurus Partai Demokrat itu benar adanya. Intelejennya SBY kebetulan tahu juga,” ujar seorang teman yang banyak berkecimpung sebagai periset politik.

Langkah-langkah pendekatan Moeldoko kepada pengurus PD mulanya adalah isu. Begitu bukti-bukti sudah terkumpul dengan baik, isu diubah menjadi informasi kepada publik. Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY lantas menggelar jumpa pers. Pesan kuncinya jelas; ada pejabat istana yang hendak mengudeta dirinya sebagai Ketum PD.

Saat dicecar sejumlah jurnalis, Moeldoko tidak membantah dan tidak juga mengiyakan informasi yang sudah terlanjur beredar itu. Seorang kolumnis di Kumparan Rudi Kurniawan Dahlan menyebut, isu kudeta di tubuh PD mengharuskan seorang mantan mayor berhadapan langsung dengan mantan jenderal.

Surat klarifikasi yang dikirimkan AHY ke Setneg perihal keterlibatan Moeldoko merupakan bentuk serangan langsung ke centre of gravity atau langsung ke pusat gravitasi. Jokowi adalah pusat gravitasi dan istilah centre of gravity sendiri dikenalkan Moeldoko saat menjelaskan perihal strategi perang total dalam kampanye Pilpres.

Isu dan informasi yang bergulir di publik lantas dijadikan modal untuk memengaruhi opini publik. Istilah kerennya dikapitalisasi. Inilah yang dilakukan SBY. Tidak adanya respon dari istana terhadap surat klarifikasi dari AHY, sang ayah lantas berujar; apa yang sudah dilakukan Moeldoko bisa merugikan Jokowi.

Kembali kepada wejangan Gus Dur yang terkenal; politic is the art of possibilities. Memang kemungkinan untuk menyerahkan STNK dan BPKB kepada Moeldoko itu sangat kecil. Sebagai mantan Panglima TNI, sekecil apapun peluangnya perlu dicoba. Karena tanpa mencoba tidak akan terlihat nuansa seninya.

Belakangan, Moeldoko benar-benar mencoba untuk menjadi Ketum Partai Demokrat. Uji cobanya dilakukan secara terang-terangan yakni dengan menyatakan persetujuannya sebagai Ketum PD versi KLB Deli Serdang. Konflik terlihat sudah terbuka. Jalan satu-satunya hanya lewat hukum. Itupun jika kubu KLB Deli Serdang Sumut mendaftarkan hasil KLB kepada Kementerian Hukum dan HAM. Sembari menikmati isu-isu lain, kita tunggu saja dulu drama lanjutannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun