Saat dicecar sejumlah jurnalis, Moeldoko tidak membantah dan tidak juga mengiyakan informasi yang sudah terlanjur beredar itu. Seorang kolumnis di Kumparan Rudi Kurniawan Dahlan menyebut, isu kudeta di tubuh PD mengharuskan seorang mantan mayor berhadapan langsung dengan mantan jenderal.
Surat klarifikasi yang dikirimkan AHY ke Setneg perihal keterlibatan Moeldoko merupakan bentuk serangan langsung ke centre of gravity atau langsung ke pusat gravitasi. Jokowi adalah pusat gravitasi dan istilah centre of gravity sendiri dikenalkan Moeldoko saat menjelaskan perihal strategi perang total dalam kampanye Pilpres.
Isu dan informasi yang bergulir di publik lantas dijadikan modal untuk memengaruhi opini publik. Istilah kerennya dikapitalisasi. Inilah yang dilakukan SBY. Tidak adanya respon dari istana terhadap surat klarifikasi dari AHY, sang ayah lantas berujar; apa yang sudah dilakukan Moeldoko bisa merugikan Jokowi.
Kembali kepada wejangan Gus Dur yang terkenal; politic is the art of possibilities. Memang kemungkinan untuk menyerahkan STNK dan BPKB kepada Moeldoko itu sangat kecil. Sebagai mantan Panglima TNI, sekecil apapun peluangnya perlu dicoba. Karena tanpa mencoba tidak akan terlihat nuansa seninya.
Belakangan, Moeldoko benar-benar mencoba untuk menjadi Ketum Partai Demokrat. Uji cobanya dilakukan secara terang-terangan yakni dengan menyatakan persetujuannya sebagai Ketum PD versi KLB Deli Serdang. Konflik terlihat sudah terbuka. Jalan satu-satunya hanya lewat hukum. Itupun jika kubu KLB Deli Serdang Sumut mendaftarkan hasil KLB kepada Kementerian Hukum dan HAM. Sembari menikmati isu-isu lain, kita tunggu saja dulu drama lanjutannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H