3.Mereka tidak mau mempelajari apa yang tidak mereka ketahui, sehingga mereka selamanya menjadi bodoh.
4.Mereka mencegah orang lain untuk mempelajari apa yang tidak orang lain itu ketahui.
Hidup Bermasyarakat
Syekh Abdul Qadir al-Jailani memiliki jiwa sosial yang tinggi. Beliau sangat memperhatikan keadaan tetangga atau orang lain. Seperti yang dikatakan beliau dalam nasehatnya:
“Berpuasalah! Tetapi saat berbuka jangan lupakan fakir miskin. Berilah mereka sedikit makanan yang kau gunakan untuk berbuka. Jangan makan sendiri, sebab orang yang makan sendiri dan tidak memberi makan orang lain, dikhawatirkan kelak akan jatuh miskin dan hidup susah.”
“Perut kalian kenyang, sedangkan tetangga kalian kelaparan, tetapi kalian mengaku sebagai seorang Mukmin. Iman kalian tidaklah sah apabila kalian memiliki banyak makanan sisa dan keluarga kalian telah makan, tetapi kalian tolak seorang peminta yang berdiri didepan pintu kalian, sehingga ia pergi dengan tangan hampa.”
“Jika ini yang kalian lakukan, ketahuilah, tak lama lagi kalian akan mengetahui berita kalian. Kalian akan menjadi sepertinya, kalian akan diusir sebagaimana kalian mengusir peminta itu. Sungguh celaka dirimu, mengapa kalian tidak segera bangun dan memberikan sesuatu yang kalian miliki dengan tanganmu sendiri.”
“Andaikata kalian mau bangun dan memberinya sesuatu, maka kalian telah melakukan dua kebaikan, yaitu merendahkan diri kepada sang peminta dan berderma kepadanya. Lihatlah Nabi kita Muhammad SAW, beliau berderma kepada peminta, memerah susu unta dan menjahit pakaian beliau dengan kedua tangan beliau sendiri. Bagaimana kalian berani mengaku sebagai pengikut beliau Shallallahu’alaihi wa sallam. Kalian hanya pandai mengaku, tetapi tidak memiliki bukti.”
Melawan Setan, Iblis, dan Hawa Nafsu
Diriwayatkan oleh Syekh ‘Utsman as-Sirafani. Beliau mengatakan, “Suatu hari aku pernah mendengar tuan kita, Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Aku pernah bermukim sendirian disebuah kawasan gersang. Setiap hari dan setiap malam setan-setan sering datang kepadaku berbaris-baris dengan wujud manusia jadi-jadian yang membawa berbagai macam senjata, serta memikul berbagai benda yang berbunyi sangat keras. Mereka terlibat perkelahian denganku dan melempariku dengan bola api. Saat menghadapi keadaan seperti itu, aku mendapati didalam hatiku suatu rasa tenteram yang sulit terucapkan dengan kata-kata, aku mendengar suara dalam hatiku yang mengatakan,