Gagalnya kudeta yang dilakukan oleh UDT dan APODETI terhadap Fretilin menyebabkan mereka menjadi terasingkan dalam pemerintahan dan politik. Hal ini mendasari pihak UDT dan APODETI untuk meminta bantuan terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Menurut pernyataan resmi pemerintahan Soeharto pada masa tersebut, sebenarnya Indonesia tidak tertarik untuk ikut campur dalam urusan Timor Leste, namun karena adanya gejolak dikawasan tersebut yang notabennya bersebelahan dengan wilayah Indonesia membuat Indonesia mau tidak mau harus mengambil tindakan strategis untuk menangani permasalahan ini.
Selain itu kecondongan pemerintah Fretilin yang terkesan dekat dengan Komunisme, semakin membuat pemerintahan Soeharto yang anti terhadap komunis, memandang permasalahan di Timor leste dengan serius. Pendapat pemerintahan Soeharto ini didukung oleh Amerika dan Australia yang sama-sama ingin menghilangkan pengaruh komunisme di wilayah Asia Tenggara.
Dengan dukungan dari dunia internasional, khususnya Amerika Serikat dan Australia, pemerintah Indonesia akhirnya melakukan invasi militer ke wilayah Timor Leste dengan tujuan untuk mengintegrasikan wilayah Timor Leste kedalam Provinsi baru Indonesia pada masa tersebut. Tindakan militer ini dinamai sebagai “Operasi Seroja” yang dimulai pada 7 Desember 1975. Operasi militer ini berhasil membuat kekuasaan Fretilin di Timor Leste runtuh. Akibatnya pasukan Fretilin mulai melarikan diri ke wilayah hutan dan pegunungan untuk melancarkan perang geriliya.
Setelah berhasil menguasai wilayah timor Leste, pemerintah Indonesia kemudian mendirikan pemerintahan baru di wilayah tersebut yang sebagian besar diisi oleh orang-orang dari UDT dan APODETI. Timor Leste kemudian menjadi Provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 17 Juli 1976 dengan nama baru yaitu Provinsi Timor Timur.
Setelah itu pemerintah Indonesia pada masa tersebut kemudan mulai membangun wilayah Timor Leste, baik dari segi infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Salah satunya adalah pembangunan jalan aspal yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pembangunan SD Inpres dan pemberantasan buta huruf, serta pengenalan pola hidup yang sehat seperti KB dan lain sebagainya.
REFERENDUM DAN LEPASNYA TIMOR LESTE
Jatuhnya rezim Soeharto sebagai penguasa pemerintah Indonesia pada tahun 1998 membuat harapan kemerdekaan Timor Leste kembali menemui titik terangnya. Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia pada masa tersebut. Jatuhnya rezim militerisme di Indonesia berarti demorasi dapat dengan leluasa disuarakan lagi.
Hal itulah yang dilakukan oleh para aktifis pro kemerdekaan Timor Leste yang menuntut agar Timor Leste dapat merdeka dari Indoneisa. Salah satu peristiwa yang memicu semangat kemerdekaan di masyarakat Timor Leste adalah adanya tragedi “Santa Cruz”, yaitu pembantaian oleh militer Indonesia terhadap para demontran pro kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1991.
Upaya kemerdekaan yang dilakukan oleh para aktifis pro kemerdekaan Timor Leste juga mendapat angin segar ketika Presiden B.J. Habibie memutuskan untuk menyelenggarakan referendum di Timor Leste pada tahun 1999. Presiden Habibie yakin bahwasanya masyarakat Timor Leste akan memilih untuk tetap memihak kepada Indonesia atas apa yang telah Indonesia lakukan di Timor Leste, khususnya dalam hal pembangunan infrastruktur, pedidikan, dan kesehatan masyarakat.
Namun hasil referendum yang dipantau dan diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya melalui Australia yang dijadikan sebagai wakil PBB menunjukan bahwa mayoritas peduduk Timor Leste menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Dengan adanya hasil tersebut maka Timor Leste akhirnya merdeka dari Indonesia dan secara resmi menjadi sebuah negara pada 20 Mei 2002.