Mohon tunggu...
Wilda Maulidia Ramadhani
Wilda Maulidia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai menulis karya fiksi maupun non fiksi. Ketika ada waktu luang, saya selalu mengisinya dengan menulis karena menurut saya menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerilya Demi Medali Emas Kehidupan

14 September 2024   15:40 Diperbarui: 14 September 2024   15:43 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah mendengar nasehat Ibu, bara api dari semangat Lidia semakin meluluh lantakkan pikiran Lidia tentang cacian Bibinya. Semakin hari, Lidia semakin bersemangat belajar. Hingga pada akhirnya, saat yang dinantikan tiba. Kini, tiba saatnya pendaftaran mahasiswa baru lewat SNBP. Lidia dengan semangat yang berapi-api itu mempercepat langkahnya untuk bergegas mendaftarkan dirinya. Hari-hari berlalu, kini tiba saatnya membuka lentera biru yang sangat diharapkan oleh sejuta kalbu. Dan syukur Alhamdulillah, Lidia telah dinyatakan diterima di salah satu universitas ternama di Surabaya. Impian Lidia menjadi seorang perawat akan segera terwujud. Ia sangat bersyukur dan terlebih lagi Lidia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah disana. Karena Lidia merupakan siswi terbaik di angkatannya. Dengan penuh haru, Ayah dan Ibu mengucap syukur kepada Allah. Lidia semakin membulatkan tekadnya untuk mengangkat derajat orang tuanya.

Selama ini, Lidia dan orang tua Lidia sudah diinjak-injak. Seolah sampah yang tidak memiliki harga diri. Kini saatnya, Lidia tampil untuk menjadi peri kecil Ayah dan Ibu membahagiakan beliau adalah tujuan utamaku. Aku bangga memiliki beliau, tulis Lidia dalam diari nya. Lidia mulai melangkahkan kakinya ke jenjang perguruan tinggi. Di dalamnya, ia sumbangkan prestasi-prestasi terbaiknya. Lidia yang pandai menulis, berhasil menjuarai beberapa perlombaan dan meraih medali yang sangat membanggakan.

Tak terasa, 4 tahun sudah Lidia menempuh pendidikan di Kota Pahlawan ini. Sekarang Lidia tampil dengan balutan seragam putih yang menghiasi hari-harinya. Ayah dan Ibu yang mengetahui hal itu mengukir senyuman yang sungguh diimpikan Lidia. Lidia tak hanya mampu menjadi perawat yang sukses, tapi Lidia juga mampu menjadi peri kecil yang hadir untuk menjadi pelita bagi Ayah dan Ibunya.

Pada suatu hari, Lidia yang kini bekerja di salah satu rumah sakit ternama di Kota Pahlawan tidak sengaja bertemu dengan Pamannya. Mengetahui hal itu, Lidia bertanya-tanya sedang apa Pamannya kesini. Lidia pun menghampiri Paman.

“Paman!.” Sapa Lidia sambil mencium tangan Pamannya. “Loh, Lidia. Kamu sedang apa disini, Nak?.” tanya Paman dengan wajah yang kebingungan. “Alhamdulillah, Paman. Lidia bekerja di sini sebagai perawat.” jawab Lidia. “Subhanallah, sekarang kamu sukses ya, Nak.” Ucap Paman bahagia.

Tiba-tiba.. terdengar suara dari salah satu ruang rawat inap yang memanggil nama Paman. Paman berlari bergegas menuju ruangan itu. Lidia langsung mengikuti Paman untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Pak, istri Bapak harus segera di operasi. Karena kondisinya semakin memburuk. Apakah Bapak sudah menyelesaikan urusan administrasinya?.” tanya salah satu perawat di rumah sakit itu. Mengetahui hal itu, Lidia langsung tampil menjadi garda terdepan. “Sebenarnya ada apa ini, Paman?.” Tanya Lidia kebingungan. “Bibimu, mengalami kecelakaan sehingga terjadi pendarahan di kepalanya dan harus segera melakukan operasi. Tetapi, Paman sudah di PHK dari kantor tempat Paman bekerja. Kami sudah tidak punya apa-apa.” ucap Paman sambil merintihkan air mata.

“Sus, biar saya yang menanggung biaya operasi beliau.” ucap Lidia dengan tegas. “Baiklah, Bu.” jawab perawat tadi. “Lid, apakah kamu serius ingin membayar operasi Bibi?. Setelah apa yang Bibi lakukan kepadamu?.” tanya Paman. “Paman, jika air tuba dibalas air tuba apa arti persaudaraan ini, Paman?. Kita adalah keluarga, yang jika salah satunya membutuhkan maka yang lain akan membantu.” Ucap Lidia dengan penuh kelembutan.

Tanpa menaruh dendam, Lidia menanggung semua biaya operasi Bibinya. Hingga pada akhirnya Bibi Lidia sadar dan bebas dari masa kritisnya.

“Siapa yang telah menanggung biaya operasiku, Mas. Bukankah kita sudah tidak punya apa-apa?.” tanya Bibi. “Apakah kamu masih ingat dengan anak kecil yang selalu kamu injak-injak harga dirinya?. Anak kecil yang telah kamu hajar habis-habisan dengan perkataan yang sungguh menyakitkan?.” tanya Paman sambil menangis. “Siapa?. Anak kuli bangunan itu?. Tidak mungkin, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?.” Ucap Bibi dengan nada mengejek.

“Assalamualaikum.” salam dari Lidia. “Loh, kamu ngapain disini?. Oh jadi cleaning service, ya?. Pasti kamu pinjem seragam perawat biar Bibi gak ngejek kamu lagi. Iya kan?.” tanya Bibi dengan ketus. “Kamu ini, jaga bicaramu!.” bentak Paman tegas. “Sudah, Paman. Bibi baru sadar dari masa kritisnya. Jangan bertengkar, kasihan Bibi.” pinta Lidia dengan lirih. “Sus, suruh anak pembantu itu untuk melepas seragamnya. Nanti seragam itu ternodai olehnya.” ucap Bibi meneruskan ejekannya kepada perawat yang menangani Bibi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun