Mohon tunggu...
Wilda Maulidia Ramadhani
Wilda Maulidia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai menulis karya fiksi maupun non fiksi. Ketika ada waktu luang, saya selalu mengisinya dengan menulis karena menurut saya menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerilya Demi Medali Emas Kehidupan

14 September 2024   15:40 Diperbarui: 14 September 2024   15:43 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hitungan hari, Lidia akan lulus dari SMA. Maka dari itu, Lidia mempersiapkan diri untuk melaksanakan UTBK. Karena Lidia belum mengerti ia termasuk siswa eligible atau tidak, maka ia berusaha sekuat tenaga bagaimana cara masuk PTN kebanggaannya. Siapa sangka, Lidia adalah seorang siswi berprestasi di sekolahnya. Beberapa medali kejuaraan akademik berhasil di kantonginya. Tak terasa hari semakin malam, akhirnya Lidia memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya...

"Lidia, ayo bangun sholat subuh." tutur Ibu. "Baik, Ibu." jawab Lidia. Lidia bergegas mengambil air wudhu dan sholat berjamaah bersama Ayah dan Ibu.

Saat selesai sholat...

“Nak, apakah benar yang dikatakan Ibumu bahwa kamu ingin melanjutkan kuliah?." tanya Ayah. "Emmm.. Iya Ayah." jawab Lidia penuh ragu. "Apakah kau telah memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi di depan?." tanya Ayah dengan serius. "Apa itu, Yah?." ucap bingung Lidia. "Ayah dan Ibu semakin lama semakin tua sedangkan semakin lama kamu kuliah semakin besar pula yang harus dikeluarkan, bukan?." tanya ayah dengan jelas dan tegas. "Akan kupikirkan nanti, Yah." jawab Lidia dengan penuh sedih.

Lidia kembali ke kamar dipagari dengan kebingungan. Didengarnya dari bilik tamu, suara sang Bibi dan Pamannya dari luar kota. Lidia pun segera bergegas menemui mereka. “Assalamualaikum, Paman." sapa Lidia. "Waalaikumussalam. Sehat, Nduk?." balas Paman dengan senyuman. "Alhamdulillah sehat, Paman." sahut Lidia. "Kamu sekarang kelas berapa?." tanya Paman. "Alhamdulillah mau lulus, Paman. Sekarang sudah kelas 12." tutur Lidia. "Alhamdulillah, anak kecil yang dulu Paman gendong udah mau kuliah aja." gurau Paman.

"Insya..." belum selesai tutur Lidia menjawab pertanyaan Pamannya, Bibi Lidia dari luar rumahnya menghampiri mereka, "Halah, anak gadis itu jangan sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula lihat itu Ayah dan Ibumu mampukah mereka membiayaimu sampai selesai?. Jangankan untuk membiayaimu kuliah, untuk makan saja penghasilan Ayahmu pas-pasan. Orang miskin ga usah mimpi tinggi-tinggi, deh." sahut Bibi dengan nada mengejek. "Kamu ini apa-apaan, sih!" sahut Paman dengan tegas. "Memang betul kok, Mas. Gadis itu ujung-ujungnya juga di dapur terus buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya juga bau asap. Lagi pula buah jatuh tidak jauh dari pohonnya lihat saja nanti, pasti juga ga jauh-jauh dari PEMBANTU!" lanjut Bibi dengan tega.

Mendengar hal itu, Lidia menangis seraya mengusap air mata Lidia tak kuasa menahan amarah karena keluarganya telah direndahkan. "Lalu, apakah menurut Bibi seorang anak kuli bangunan sepertiku tidak bisa sukses?. Begitukah, Bi?." jawab Lidia dengan tangis yang tersedu-sedu. "Sudahlah, Nak. Beliau Bibimu sopankah seperti itu?." tutur Ibu dengan penuh kelembutan. Lidia sedih dan berlari mengurung dirinya di dalam kamar. "Apakah perkataan Bibi itu benar?. Jikalau gadis tidak perlu berpendidikan?. Apalagi aku hanyalah seorang kuli bangunan?." gumam Lidia dengan isak tangis yang masih menyelimutinya.

Hati Lidia bergemuruh tak karuan. Akhirnya, Lidia memutuskan untuk mengambil air wudhu dan sholat Dhuha. Seraya menengadahkan tangan, Lidia pun mencurahkan segala isi hati dan pikirannya serta menyerahkan segala urusannya kepada Sang Maha Kuasa. Setelah menunaikan sholat, hati Lidia sedikit tenang.

Kemudian terdengar ketukan dari pintu kamar Lidia. Ternyata Ibu, Lidia pun bercerita keluh kesahnya.

"Nak, di dunia ini banyak sekali ragam manusia. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, tidak seorang pun tahu tentang takdirnya di hari esok. Sama seperti halnya Lidia, Bibi bukan Allah yang bisa mengatur takdir seseorang. Lidia percaya Allah kan?. Allah Maha Segalanya, percayakan semua urusan Lidia kepada Allah. Selagi ada niat, Insyaallah Allah perlancar. Karena do'a tanpa usaha, bagai pedang tanpa asahannya." jelas Ibu dengan penuh kasih sayangnya. "Baik, Ibu. Terima kasih sudah menjadi penyemangat Lidia selama ini." jawab Lidia. Lidia memeluk erat Ibunya, sambil merintihkan air mata dipundak yang selama ini menghangatkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun