Mohon tunggu...
Wilda Maulidia Ramadhani
Wilda Maulidia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai menulis karya fiksi maupun non fiksi. Ketika ada waktu luang, saya selalu mengisinya dengan menulis karena menurut saya menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerilya Demi Medali Emas Kehidupan

14 September 2024   15:40 Diperbarui: 14 September 2024   15:43 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang roda, tanpa kehadirannya kendaraan tak bisa berjalan. Karena roda ibarat kaki bagi mereka. Untuk berjalan, kaki akan terus melangkah. Sejalan dengan kaki, roda pun akan bergerak melangkah dengan berputar. Tak lain, roda akan berpusing yang mulanya dari atas, menjadi ke bawah begitu pula sebaliknya. Roda ini sama halnya dengan roda kehidupan. Banyak lisan yang berkata bahwa jikalau bermimpi jangan terlalu tinggi, nanti jika jatuh akan sakit. Tapi pendapat ini berbanding terbalik dengan persepsi Lidia.

Keceriaan selalu tergambar di wajah Lidia, yang tak pernah dilihat stress walaupun saat ini duduk di tingkatan akhir jenjang SMA. Bangku di mana semua rancangan harus sudah disusun matang, pilihan harus terpasang, dan masa depan sudah mulai terpampang. Lidia lahir dari keluarga yang luar biasa. Lidia suka sekali mengatakan bahwa ayahnya adalah ayah yang paling hebat di dunia. “Ayahku bekerja sebagai Menteri Pembangunan di wilayah rumahku." adalah gelitik dari Lidia yang setiap kali ia ucapkan saat orang menanyakan profesi sang Ayah. Tak lain Ayah Lidia adalah seorang kuli bangunan. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah teman sekelasnya, Sahara. Lidia selalu bangga menceritakan kehebatan orang tuanya dalam membesarkannya lewat buku diari miliknya. Menurut Lidia, orang tua adalah kunci dari kesuksesannya. Lidia dikenal sebagai anak yang penurut dan penyayang terlebih kepada kedua orang tuanya.

Hari ini, hari libur sekolah. Lidia selalu membantu Ibunya bekerja sembari menuangkan canda tawa dan senyum manis dari keduanya yang selalu terukir menghiasi wajah mereka. Saat di dapur, Lidia pun memberanikan diri untuk menanyakan masalah yang membuatnya gundah. "Ibu, saat lulus nanti Lidia ingin melanjutkan pendidikan Lidia ke perguruan tinggi. Bagaimana menurut Ibu?." sembari mencuci piring Lidia menuturkan pertanyaan dengan penuh semangat. "Ibu sangat ingin melihatmu kuliah, Nak. Do'akan saja semoga Ibu dan Ayah selalu diberikan kemudahan rezeki." ucap Ibu sambil menata piring. "Lah, gue gak salah denger?. Anak seorang kuli bangunan mau kuliah?. Gak usah ketinggian deh, toh juga buah jatuh gak jauh dari pohonnya terima aja deh nasib lu." ucap Sahara dengan penuh kebencian.

Kebetulan, siang ini teman sekelas Lidia sedang kerja kelompok di rumah Sahara. "Bi, tolong bikinin temen-temenku minum. Gak pake lama ya!." perintah Sahara. "Baik, Non." jawab Ibu. Ibu Lidia pun bergegas menyiapkan minuman dan camilan untuk teman-teman Sahara tentunya dengan bantuan tangan lembut Lidia. "Sudah, Bu. Biar Lidia saja yang mengantarkannya. Lagi pula, Lidia ingin bergabung bersama mereka." pinta Lidia. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, Nak." jawab Ibu.

Sambil memberi anggukan kecil, Lidia dengan tatanan gelas dan es teh manis ditangannya mulai melangkahkan kakinya yang mungil ruang tamu. "Ini es teh nya, Ra. Emm.. aku gabung ya." seru Lidia sambil tersenyum. "Loh, loh siapa yang nyuruh lo kesini. Sana ke dapur!. Lo bau keringet, harusnya lo tuh sadar diri lo tuh gak selevel sama kita. Tempat lo tuh di dapur!. Sana pergi!." bentak Sahara. "Lo tuh kudunya sadar diri, lo tuh siapa dan kita siapa. Ga selevel kali', ngaca dong!." tambah Widya. "Hahahahah..." ejek teman-teman yang lain kompak.

Mendengar anaknya direndahkan, Ibu langsung memanggil Lidia untuk kembali ke dapur. Sembari menghela nafas panjang, Lidia berusaha tidak menggubris hinaan dari Sahara. Walaupun, di dalam hati kecil Lidia, Lidia sangat ingin menangis. Namun berkat Ibu, Lidia mampu kuat untuk tidak menjatuhkan air matanya.

"Kamu yang sabar ya, Nak. Kita ini orang susah, tapi Ibu yakin kamu akan sukses lebih dari Ibu. Sudah tidak usah dihiraukan." ucap Ibu dengan penuh kasih sayang. "Ibu, Lidia akan terus berjuang dan kuat untuk Ibu. Ibu dan Ayah adalah alasan Lidia berdiri dengan kokoh saat ini. Jadi, Lidia akan terus berjuang demi Ayah dan Ibu." jawab Lidia dengan semangat yang membara.

Lidia memang sering diejek dan direndahkan oleh teman-temannya di sekolah. Tetapi, Lidia tidak menghiraukan ucapan mereka. Karena Lidia menjadikan ejekan mereka sebagai bahan bakar untuk Lidia agar terus melaju. Memutar roda kehidupannya, melaju untuk jauh lebih baik, dan mengangkat derajat dan martabat keluarganya. Ucapan Sahara bak asah yang membuat tekad Lidia semakin tajam.

Seusai semua pekerjaan Ibu selesai, Lidia dan Ibu pun memutuskan untuk pulang.

Sesampainya dirumah...

"Ibu, Lidia masuk ke kamar dulu ya." pamit Lidia. "Baiklah, Nak." jawab Ibu. Setiap ada waktu luang, Lidia selalu mengisinya untuk latihan soal. Ia yakin, bahwa tak ada pisau yang jika diasah akan patah justru ia akan semakin tajam. Tak mampu membeli buku soal UTBK, ia membeli buku dari pasar loak dengan uang hasil menabung dari uang sakunya. "Aku akan usahakan bagaimanapun caranya, aku harus bisa masuk PTN." ucap Lidia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun