Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Sebuah Identitas

23 Agustus 2011   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ini cerita lain lagi dari pak tua yang pelihara burung perkutut.

ini adalah cerita tentang tamu-tamu

yang beberapa kesempatan luang menepi mampir ke gubukku, yang semestinya bisa dibangun dari batu, bukan anyaman bambu.

waktu itu, rumah kami memang sedang dibangun, bukan rumahku saja, seantero desa sedang alami pembangunan.

sana sini orang-orang bergotong royong bersingsing lengan dan bahu membahu menganyam, menganyam bambu. Ya, bambu untuk rumah kami. bambu untuk tempat berlindung kami. Maklum, ketika itu kami masihlah amat miskin. kami baru saja bebas dari intimidasi bandit merah-putih-biru selama ratusan tahun.

aku punya seorang idola, bukan, bukan orang-orang yang senang dengan baju gemerlap, gincu dipoles tebal-tebal hingga sulit minum, warna rambut yang dicelup, mereka semua itu menipu, setidaknya untuk dirinya sendiri. identitas kesederhanaan pakaian yang melekat, kemerahmudaan bibir yang diberikan Tuhan, dan gemerlap hitam rambut yang berpoles sejak tamat kandungan.

idolaku seorang yang gagah. menurutku dia gagah, karena dia bisa membuat orang lain gagah pula. semua orang di desaku, karena idolaku itu, bersatu ideologi melawan bandit, hingga akhirnya kami lepas seperti hari ini.

idolaku itu, memberikan kami masing-masing sebuah identitas yang padu. identitas persatuan diatas kearifan lokal.

beberapa lama, idolaku mesti berpindah desa. dari desa negeri sejuta hiburan dan konspirasi menuju panggung dengan gemerlap realita dan kebenaran. dia telah bertemu dengan Dia.

maka, seorang idola itu berganti dengan orang yang mukanya mirip tikus comberan sebelah pembuangan sampah sana.

sejak si tikus berkharisma di desa kami, banyak tamu berdatangan dari mana-mana. muka mereka tampak asing, bahasa mereka apalagi. kami diciptakan sesama manusia dengan jumlah lidah berkandung papila yang sama, tapi kenapa, ya, kami dan mereka sungguh berbeda?

perlahan, dari satu tamu, pendatang makin banyak bertandang jumlahnya. penduduk desa semakin akrab saja.

waktu semakin merambat naik, aku sudah lihat masa rembulan naik sudah datang dan pergi berkali-kali.

lama-lama, aku jadi muak, Selain karena burung perkutut berkemeja biru milik pak tua yang tak kunjung bawa berkah dengan keenambelas janji-palsu-nya,

belakangan aku mengetahui dari kertas-kertas yang disebarkan tukang ketik, koin-koin kami akan mulai dipunguti secara tidak langsung oleh pak tua--yang katanya sambil menangis, sudah tujuh tahun bergelora di tampuk kekuasaan--upahnya tak kunjung naik.

sadaralah pak tua, tetanggaku pernah dua kali makan tikus comberan sehari, dan aku juga demikian.

jika kami menengok lihat kesebelah timur dengan hatimu, ah, andai kamu tahu mereka makan apa, kamu akan mengerti kenapa aku begitu tak sanggup berkata mereka makan apa di forum ini.

iya, selain itu, aku sungguh muak, kini desaku semakin tidak beridentitas, lebih tepat ke sakit di penghulu hati. sakit.

teman-temanku itu, akan sungguh berbangga hari jika sudah melancong ke desa asal tamu-tamu itu.

teman-temanku itu, akan sungguh berbahagia jika suatu hari berkesempatan lancar mengemukakan pendapatnya dengan bahasa-bahasa milik tamu itu.

sungguh! kita punya bahasa ibu kita sendiri, kawan!!!!!!

sungguh! kita ini kaya!!!

hanya saja tamu itu mulai kurang ajar mulai berani mencopet!

ibuku pernah bilang untuk kita mesti teguh dan setia melayani tamu dengan pelayanan prima,

tapi apakah itu berarti kita akan lepas dari identitas diri sendiri?!!

harusnya, tamu itu yang belajar bahasa kita, identitas kita!

biar mereka jangan kurang ajar pada kita!

aku menangis, tersedu-sedu, penuh meluap hingga menjangkau rembulan,

orang tua-orang tua yang menyorongkan parangnya mengusir bandit, nyawanya hilang sia-sia!

malu, aku malu!

jadi, orang Indonesia yang beridentitas orang lain!

sambil luput mata sedang dijarah harta dikantong milik sendiri!

dua koma satu milyar

karena dengan identitas mereka,

toh rumah-rumah kita masihlah dari anyaman bambu.

karena batu, pasir, pualam, dan air sedang asik dicolongi!
wilaga azman kharis, Januari 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun