Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Generasi yang (di)lenyap(kan)

23 Agustus 2011   02:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sebelum kematian saya yang tinggal beberapa jengkal saja, izinkan saya sedikit mengenang perjalanan hidup saya, elegi.

saya dilahirkan ketika manusia mulai mengenal bahasa, sebenarnya lebih purba lagi, yaitu ketika manusia sudah lebih dari satu yang hidup.

diperkembangannya, ketika saya lahir, tidak ada gegap gempita dari bidan yang menyeret saya dari rahim ibu, tidak ada ucapan selamat dari kepala rumah sakit tempat saya dilahirkan, tidak ada kata sambutan ketika saya diperbolehkan hidup membaur dirumah orang tua saya. Yang ada hanya ada cemooh, gunjing, dan tidak ada satupun doa baik yang keluar dari publik. semua bahkan tidak percaya keberadaan saya. bahkan, para beberapa golongan berpendapat, saya tidak akan bertahan lama.kata mereka, aku adalah bayi yang seharusnya tidak pernah terlahir.

kemudian, saat saya tumbuh, saat saya mulai bisa berjalan, mulai bisa berbicara, mulai bisa bertingkah, bahaya adalah kawan saya. kawan yang sewaktu-waktu dapat menancapkan sebilang pisau dapur berukuran sepuluh sentimeter dipunggung saya ketika dia ada dibelakang saya. atau bukan tidak mungkin kawan saya itu dapat menumpas saya ke jurang, kemudian saya tenggelam dan mati selamanya. tidak diketahui dunia, tercium bau bangkai saya pun tidak.

dewasa, saya mencoba bertahan dari argumentasi persuasif diri sendiri yang kadang membujuk saya untuk tenggelam diarus-arus kewajaran masyarakat, sama seperti yang lain. belakangan saya ketahui dorongan dari diri sendiri itu ternyata adalah surat-surat politis yang dikirmkan kepada saya bukan lewat kotak pos dihalaman rumah saya, bukan juga diselipkan dibawah pintu saya, melainkan dikirim langsung ke otak saya.

saya terang-terangan menolak!

maka, habislah saya berkawan dengan bahaya. saya dipaksa keluar dari rumah perlindungan saya sambil ditutup matanya. beberapa kali tamparan dan tendangan dialamatkan dulu sebelum mereka menutup mata saya dengan selembar kain perca berwarna hitam. kemudian orang-orang kekar--dan dicelananya tampak menyembul beberapa lembar mata uang--menyeret saya kasar, mencampakkan saya ke sebuah  kursi. salah satu dari mereka kemudian berteriak pada saya,

"kita berkawan saja, boy! tidak ada keuntungannya kamu keras kepala seperti ini terus! jika kamu menolak kamu akan diperlakukan sedemikian sehingga kamu akan berpikir kamu tidak pernah dilahirkan! Huahahaha!"

dari deru nafas dan detak jantung orang barusan, jelas dia tidak main-main. bisa saja dia, sementara mata saya tertutup seperti ini, bersama temannya membawa satu buah drum berisi air keras dan satu buah sedotan. kemudian dia minumkan paksa kepada saya. atau dilain perkiraan bisa saja ditangannya telah tersedia satu ember semen basah yang cepat kering. dengan semen itu, jika dia mau, bisa saja dia merendam kaki saya dengan hal itu kemudian setelah mengeras saya dilempar ke laut Jawa, akhirnya saya mati tenggelam. dan yang paling saya takutkan bisa saja saya sedang ditempatkan didalam penjara, kemudian, jika dia mau, bisa saja dia memasukkan sekelompok ular berbisa dan menjadikan saya sebagai nutrisi bagi peliharaannya itu.

tapi, biar. sepanjang hidup saya, ibu saya tidak pernah mengajarkan saya bermental pecundang. biar saya mati, saya mati dalam keadaan teguh.

"TIDAK!", kata saya keras-keras seakan-akan mereka tidak punya kuping! dan memang tidak.

dan semua yang saya banyangkan terjadilah. segera setelah saya menjawab, saya rasakan mulut saya dijejali cairan tidak enak yang membakar lambung dan usus saya, kemudian, badan saya kecuali kepala terasa dingin dan beberapa lama kemudian mengeras, setelah itu saya merasa dilempar sambil saya rasakan daun telingsaya digigit makhluk yang mendesis, dan byur! inilah saya kini. tinggal menunggu mati.

baiklah, setelah napak tilas saya berakhir, izinkan saya mengenalkan saya dan ibu saya.

Nama saya kejujuran,

ibu saya bernama nurani.

dan mereka yang menenggelamkanku adalah tahta, dana, dan wanita.
wilaga azman kharis, Febuari 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun