Berprofesi sebagai seorang dosen di perguruan tinggi adalah hal yang lumrah bagi saya untuk sering mengupdate referensi. Salah satunya dengan membaca artikel penelitian yang terpublikasi di jurnal. Namun ternyata, timbul sebuah uneg-uneg (keresahan) ketika saya berselancar di beberapa laman jurnal ilmiah.
Suatu ketika saya membuka beberapa jurnal untuk mendapatkan beberapa artikel mutakhir yang dibutuhkan sebagai pendukung rujukan penelitian. Beberapa portal yang saya buka awalnya adalah jurnal-jurnal yang memiliki peringkat akreditasi 4 sampai dengan 6 skala nasional (kalau dosen dan mahasiswa biasanya lebih familiar dengan sebutan Sinta 4 sampai Sinta 6). Disitu saya mulai heran dan timbul uneg-uneg yang bikin muneg-muneg di perut.
Lah gimana nggak muneg-muneg coba, hampir sebagian jurnal yang saya kunjungi menyajikan artikel dengan bahasa Inggris. Arek ndeso (anak desa) seperti saya ini sudah tidak diragukan lagi kapasitas berbahasa Inggris-nya, jelas tidak terlalu bagus. Saya mengira bahwa yang disajikan dalam Bahasa Inggris hanya judul dan abstraknya saja. Namun ternyata, setelah saya telusur lebih jauh, beberapa artikel yang saya dapat di tulis penuh dalam Bahasa Inggris (full-text). Tentu, sayapun hanya membaca sekilas saja. Daripada tambah muneg-muneg nggak karuan.
Hadirnya artikel di jurnal nasional yang tersaji menggunakan Bahasa Inggris, membuat saya bertanya, “apakah mungkin artikel-artikel itu terbaca secara masif dan dijadikan rujukan oleh masyarakat akademik Indonesia?” Jangan-jangan angka sitasi beberapa akademisi cenderung rendah karena artikelnya sering dialihbahasakan. Lebih bahaya lagi jika artikel dialihbahasakan tanpa bantuan penerjemah profesional, apa ya gak tambah ambyar bahasanya? Jelas tidak sesuai dengan Grammar dan tentu di bawah standar standar Academic Writing.
Lalu ada pertanyaan lagi, kenapa ya jurnal nasional terkesan kurang percaya diri mempublikasikan artikel dalam Bahasa Indonesia? Apakah karena regulasi tertentu yang mengikat? Atau biar terlihat keren saja? Atau jangan-jangan syndrome internasionalisasi jurnal masih mewabah di kalangan pengelola jurnal? Kalau tidak berbahasa Inggris nanti dikira gak keren, padahal saya yakin bahwa konsumen terbesarnya adalah orang Indonesia. Apakah beberapa dosen di Indonesia masih banyak yang nggak pede kalau tulisannya berbahasa Indonesia? Takut dikira kurang bereputasi.
Mungkin dari sini kita semua dapat menyepakati bahwa Bahasa Indonesia adalah produk kebudayaan otentik bangsa ini. Bagi saya Bahasa Indonesia perlu dipublikasikan secara internasional juga. Tidak perlu gengsi dan malu berbicara Bahasa Indonesia, wong wisatawan asal Portugal saja nggak malu bicara Bahasa Portugis dengan teman se-negaranya saat berkunjung ke Indonesia. Salah satu cara melakukan internasionalisasi Bahasa Indonesia yaitu melalui jalur akademik berupa jurnal. Saya yakin bahwa artikel ilmiah yang terpublikasi di jurnal nasional akan dibaca dan dirujuk banyak orang ketika ditulis menggunakan Bahasa Indonesia. Beberapa alasannya adalah, (1) tulisan akan lebih mudah dipahami; (2) tidak perlu ada mekanisme kerja yang kurang efektif dan efisien dengan cara mengalihbasakan artikel bahasa Inggris ke Indonesia terlebih dahulu; (3) Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat.