Mohon tunggu...
Wike Atul Jannah
Wike Atul Jannah Mohon Tunggu... Jurnalis - mahasiswi

Ahlan Wa sahlan :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah Sosial Agama di Desa Sebrang Jalan Raya Jember-Bondowoso

19 Maret 2020   18:10 Diperbarui: 19 Maret 2020   19:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara strategis tempat tinggal penulis saat ini tepat berseberangan dengan jalan protokol Jember-BondowosoTepatnya, didesa Penanggungan RT 01 RW 01 Kecamatan Maesan Kab Bondowoso. 

Dengan kondisi alam yang masih sejuk namun sedikit panas akibat bising kendaraan yang sering berlalu lalang. Sehingga, bolehlah jika dikatakan sedikit bernuansa kota, karena selain letaknya  tepat bersebelahan jalan  raya dengan pemukiman yang bisa dikatakan cukup padat. 

Pemikiran- pemikiran warga sekitar pun menjadi kunci utamanya. Sebagai contoh, pemikiran tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, pemikiran untuk bekerja keras melangsungkan kehidupan, pemikiran akan hausnya ilmu agama terhadap pribadi sebagai Hamba Allah, serta pemikiran untuk selalu update terhadap perkembangan tekonologi.

Seiring perkembangan zaman yang rentan terhadap akulturasi budaya modern, kondisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa corak kehidupan masyarakat “desa pinggir jalan” masih memegang teguh nilai-nilai budaya yang menjadi tradisi keluarga. 

Banyak masih kegiatan-kegaiatan agamis yang menjadi kebiasaan warga sekitar, seperti rutinan pengajian malam jum’at untuk para bapak-bapak (ajien), pengajian malam senin untuk ibu-ibu (tiba’an), tahlil mulai hari ke 1,2,3 hingga hari ke 7, 40 hari, 100 hari,1000 hari, hingga acara-acara besar Islam lainnya.

Namun, Akibat pemikiran masyarakat yang telah menginjak era modern (berpendidikan). Baik itu acara-acara besar keagamaan, tradisi pengajian rutinan ibu-ibu, “ajien” bapak-bapak, tahlil yang dilakukan oleh keluarga yang ditimpa musibah, serta perayaan hari besar Islam lainnya, telah dikemas sedikit lebih modern namun tidak menghilangkan nilai tradisi, tidak pula terlalu mentradisikan hal-hal yang memang sudah bukan tabiatnya di era saat ini.

Contoh kecilnya, ketika ada acara pengajian baik itu untuk para bapak-bapak ataupun ibu-ibu, acara ini sudah sedikit bernuansa modern, tidak seperti desa yang begitu dalam menjoroknya. 

Di desa penulis, makanan yang disajikan tidak begitu di tonjolkan sehingga tidak memberatkan tuan rumah dalam menjamu. Berikutnya, ketika Acara Maulid Nabi atau pun Isra’ Mi’raj tiba, para warga yang antusias melaksanakannya pun tidak semena-mena terlalu menghambur-hamburkan uang dalam merayakan, jamuan yang seadanya, perayaan yang cukup sederhana tanpa adanya Buah-buahan, makanan, kue yang berlimpah ruah. Tidak seperti di desa-desa sebelah lainnya  dan selesainya pun tidak sampai larut malam.  

Begitupun, dengan tahlilan di desa ini, tradisi yang baru saja dibuat atau berkembang di desa penulis akhir-akhir ini yakni ketika ada salah satu warga yang terkena musibah, maka di dalam undangan walimah hari ke 40 atau 100 dan 1000 tidak menerima sumbangan dari warga sekitar, kecuali sanak family yang mau menyumbangkan sedekah. Dengan tulisan “tanpa muslimat” di Undangannya. 

Dengan harapan tidak memberatkan perekonomian warga. Selain itu, dalam pengajian rutinan hari ke satu, dua, tiga, sampai ketujuh kematian seseorang pun tidak serta merta dengan kue-kue (berkat) yang begitu lengkapnya. Terkadang makanan bagi mereka yang ikut membantu do’a pun tidak seribet dulu. Cukup diberi Nasi Kotakan yang nanti di makan dirumah masing-masing mereka yang ikut mendoakan.

Kelebihan lainnya, di desa namun berbau kota ini juga terlihat ketika hari Raya Idul Fitrih tiba. Bagi mereka yang hidup di desa dengan tradisi yang masih melekat kuat, ramainya pun Masya Allah. 

Di desa penulis selesai lebaran (salam salaman satu kampong) ya selesai juga kegiatannya, warga sekitar lebih banyak yang pulang kampung ke desa mereka masing-masing. Kecuali yang tanah kelahirannya memang di desa ini. Baru ramelah di halaman mereka.

Jika penulis simpulkan, tradisi dan Sosial keagamaan di desa penanggungan tempat penulis tinggal tidak Setradisonal kehidupan beragama di desa lainnya. Hal ini dikarenkan penduduk yang tinggal disekitar pinggir jalan raya Jember-Bondowoso memiliki beberapa Ormas serta kepribadian berbeda. Sehingga untuk mereka yang ber ormas Nu tetap dengan Ke NUannya, sedang mereka yang ber ormas Muhammadiyah dengan corak pemikirannya sendiiri. Sehingga diharapkan tidak ada perbedaan ormas yang menjadikan pro dan kontra antara pemikiran yang satu dengan lainnya.

Indah bukan, jika agama yang kita tanam dari dalam hati mampu menyatukan beberapa keragaman pendapat yang berbeda. Kita hormati mereka yang tidak sependapat dengan kita. Mereka tidak tahlil tidak apa-apa. Kita tak berjilbab panjang-panjang pun tidak apa-apa. Apapun ormas mu, kita satu agama. Islam. Biarkan Allah yang menilai ibadah kita.

Inilah wajah kehidupan beragama islam di desa penanggungan pinggir jalan raya Jember Bondowoso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun