Hujan terus mendera kota Jogja. Tak kenal waktu. Kadang di tengah terik, tetiba turun hujan deras. Kadang jelang malam, hujan mengguyur tak henti hingga pagi menjelang. Jogja, tidaklah seromantis yang ornag-orang sering katakan, Terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Jogja yang katanya berhati nyaman. Yang selalu mengundang siapapun yang pernah tinggal disini, untuk kembali. Dan kembali lagi. Jogja, tidak seindah dan senyaman yang digambarkan orang-orang. Paling tidak, itu yang dirasakan Mela.
Sudah  4 tahun Mela tinggal di Jogja, meninggalkan kampungnya di Jawa Barat, yang penuh derita, kelaparan, kekurangan, dengan harapan, dia akan bisa mendapatkan kehidupan yangs edikit lebih baik.Â
Sedikit saja. Dia tinggalkan kampungnya, karena merasa ngeri dengan pakde bude nya yang hidup berlimpah namun membuat perjanjian dengan setan. Mela menyaksikan sendiri,betapa berat perjuangan budenya menjelang sakaratul maut, berhari-hari merteriak-teriak, kelimpungan, kesakitan, yang sangat memgerikan bagi yang melihatnya.Â
Tak kurang-kurang bacaan ayat-ayat suci Al Quran dibcakan siang dan malam untuk mengurangi penderitaan budenya. Perjuangan yang luar biasa dan sangat melelahkan.Â
Mela, tak henti membacakan AL Quran, berganti-ganti dengan saudara-saudaranya yang lain. Kadang, dalam samar, dia melihat penampakan sosok yang mengerikan sedang menginjak Budenya, kadang dalam samar, dia melihat sosok yang mengerikan menyeringai penuh kepuasan. Yang lalu lenyap ketika ayat-ayat suci dibacakan. Ketika pada akhirnya budenya meninggal, semua keluarga telah kelelahan, terkuras fisik dan emosinya.Â
Saat itulah Mela memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya, menjemput masa depan dan kehidupan yang lebih tenang. Jogja adalah harapannya.
Mela, menghabiskan tahun pertama dan keduanya nya di sebuah pesantren di Jogja, lalu ketika masa nyantri mondoknya selesai, dia keluar, mencari kosan, dan sambil terus nyantri lepas, dia mengajar mengaji di beberapa keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Membayar kos, makan dan berbagai keperluann lainnya.Â
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Meski tidak berlebihan, namun penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kadang mampu membeli baju dan keperluan perempuan lainnya. Lalu tetiba, covid19 menyerbu.Â
Dunia menjadi porak poranda. Semua orangtua yang mengeleskan anaknya berhenti, takut kena covid. Tak ada kegiatan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Kosan menunggak sampai 2 tahun lamanya. Mela lebih banyak makan di masjid, dan dimanapun dia mendapatkan makanan. Beruntung bahwa ibu kos nya baik dan sering memberinya makan. Terkadang ada kiriman dari bapaknya di kampung. Hanya sedikit, tapi lumayan untuk menambah uang makannya.
2 tahun dalam kesempitan karena covid, Mela merasa sangat lelah. Dia lelah hidup serba kekurangan, dia lelah hidup dalam kesempitan. Dalam tangis-tangis malamnya, dia memohon untuk bisa lepas dari kesulitannya, memohon agar segera mendapatkan jodohnya, agar terbebas dari kemiskinan dan kekurangan yang belum enggan meninggalkannya.Â
Dia ingin mendapat bahu untuk ebrsandar, bahu tempat dia bisa melepas semua beban-bebannya. Bahu tempat dia menaruh harap dan mimpi-mimpinya. Kapankah akan datang? Ksatria berbaju putih yang akan mengangkatnya dari gelap menuju terang. Ksatrai berbaju putih yang akan menyulap hidupnya seperti cinderella?