Konsep partai dalam sejarahnya berawal pada abad ke-19 digunakan pada sisten politik yang kompetitif, partai ditujukan untuk kelompok-kelompok yang mengikuti kontestasi politik di suatu negara. Seiring berkembangnya basis keilmuan, partai dimaknai secara lebih rinci sebagai alternatif penyambung antara pemerintah dan masyarakat. Konsep partai menghasilkan sistem kepartaian yang merupakan partai politik sebagai produk pemilu. Artinya, sistem kepartaian adalah sistem dimana partai politik yang ada di parlemen. Dalam sistem kepartaian terdapat tipologi yang perlu diketahui, Giovanni Satori membagikan 4 pengelompokan sistem kepartaian, yaitu:
- Sistem partai tunggal, dapat diartikan bahwa partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen terdapat satu partai;
- Sistem dwi partai, dalam sistem ini partai politik hanya 2 partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen;
- Sistem pluralisme moderat, terdapat 3-5 partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen;
- Sistem pluralisme ekstrim, terdapat lebih dari 5 partai dalam suatu parlemen yang mendominasi (relevan) kursi.
Jika menilik teori dari Satori tersebut di Indonesia tergolong kepada sistem pluralism ekstrim, terdapat lebih dari 5 partai dominasi (relevan) kursi di parlemen, dengan kondisi tersebut beberapa ahli hukum dan pemerintah mengkaji mengenai sistem kepartaian yang akan berpengaruh terhadap stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah mengakui dengan sistem yang pluralism ekstrim perlu untuk disederhanakan. Dibuktikan dengan penerapan electoral threshold dan juga parliamentary threshold dalam dinamikannya, kedua tersebut memiliki makna yang sama untuk threshold sebagai ambang batas parlemen yang harus ditempuh oleh partai politik dalam perolehan kursi.
Electoral threshold awal mula digunakan di Indonesia pada tahun 1999, ketentuan electoral threshold dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 Pasal 39 Ayat (3) "Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum".
Kemudian mengalami perubahan regulasi mengenai threshold di Indonesia yang awalnya menggunakan konsep electoral bergeser menjadi parliamentary threshold yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 202 Ayat (1), dengan mencantumkan ketentuan minimal 2,5 % suara nasional bagi partai politik yang hendak menduduki kuota kursi di parlemen dengan catatan tidak untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Karena dirasa belum cukup untuk menyederhakan sistem kepartaian di parlemen, maka ambang batas tersebut ditambah persentasennya menjadi 3,5 % perolehan suara nasional partai politik dengan dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 208 Ayat (1). Serta, mengalami perubahan lagi dengan menentukan sekurang-kurangnya 4% suara nasional pada tahun 2017 sampai sekarang dimaktubkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 414 Ayat (1). Jelas sudah perjalanan ambang batas di parlemen mulai dari penerapan electoral threshold sampai parliamentary threshold.
Perubahan Ambang Batas Parlemen Dari Pemilu Tahun 1999 Sampai Pemilu 2024
Indonesia memakai konsep check and balances dengan membagi tiga Lembaga negara menjadi: eksekutif, legislatif, yudikatif. Yang menjadi pusat perhatian publik adalah eksekutif dan legislative, karena di Indonesia sendiri kedua lembaga tersebut merupakan dual legitimacy yang sering terbawa arus oleh kehendak masyarakat. Artinya, posisi partai politik yang notabenenya adalah hasil dari bentuk kebebasan berserikat masyarakat menggunakannya sebagai kendaraan untuk melimpahkan kehendaknya. Dari proses representatif suara/kehendak rakyat kepada partai politik akan berpengaruh signifikan bagi lembaga eksekutif (presiden) dan legislative (DPR).
Hal yang seperti itu harus kita coba ditilik lebih jauh, posisi DPR dan Presiden mempunyai kedudukan yang berbeda akan riskan adanya kesewenang-wenangan dari kedua lembaga itu. Bisa dilihat, pasca reformasi kondisi DPR memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga mampu mengontrol presiden sekaligus pemerintahan agar berjalan sesuai dengan hasrat politik DPR. Semua itu, didasari oleh sistem multi partai ekstrim yang membentuk banyaknya fragmentasi koalisi di parlemen.
Menurut Satori, sistem multi partai ekstrim bisa dicirikan dengan adanya 5 partai yang mendominasi suara (relevan) di parlemen, dan berdampak terhadap stabilitas politik di parlemen serta berujung terhadap stabilitas pemerintahan dalam negara yang menganut check and balances. Untuk menangani sistem multi partai ekstrim pemerintah menetapkan regulasi yang dikenal dengan electoral threshold, Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 bahwa partai politik bisa mendapati alokasi kursi apabila memenuhi syarat sekurang-kurangnya mendapatkan 2% dari jumlah kursi DPR, atau sekurang-kurangnya 3% dari jumlah DPRD I atau DPRD II yang sekurang-kurangnya tersebar di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten atau kota.
Apabila partai politik yang tidak lolos, maka tidak bisa ikut kontestasi pemilu selanjutnya kecuali mengubah nama partai politik. Hasil dari kebijakan tersebut, terindikasikan hanya 6 partai yang masuk ke tahap alokasi kursi di parlemen, yaitu: PDIP (31,12%), Golkar (25,97%), PPP (12,55%), PKB (11,03%), PAN (7,36%) dan PBB (2,81%). Â keenam partai ini, berhak juga secara otomatis lolos electoral threshold untuk menjadi peserta pemilu 2004. Namun, bagi partai politik yang tidak lolos electoral threshold sebelumnya dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 pasal 142 dapat mengikuti kontestasi pemilu 2004 dengan syarat:
- Merapat kepada partai politik yang lolos pada pemilu 1999:
- Bergabung dengan partai politik yang tidak lolos pemilu 1999, dengan ketentuan menggunakan nama dan logo salah satu partai politk:
- Bergabung dengan partai politik yang tidak lolos pemilu 1999, dengan ketentuan menggunakan logo dan nama baru partai politik.
Pemilu tahun 2004 terdapat 24 partai politik yang menjadi peserta pemilu, namun yang lolos ketentuan electoral threshold hanya 7 partai politik, yaitu: Partai Golkar (23,09%), PDI-P (19,82%), PPP (10,55%), Partai Demokrat (10,18%), PAN (9,64), PKB (9,45%), dan PKS (8,18). Pasca keberlakuan electoral threshold pemerintah menganggap masih kurang efektif untuk dijadikan mekanisme penyederhanaan partai politik karena bertentangan dengan konstitusi Indonesia.Â
Akhirnya, ketentuan Parliamentary Thereshold mulai diperkenalkan dan digunakan dalam pemilu tahun 2009. Secara nilai, parliamentary threshold dan electoral threshold memiliki kesamaan yang mirip sebagai persyaratan bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu dan mendapatkan alokasi kursi di parlemen. Perbedaanya parliamentary threshold memberikan kebebasan yang tidak diskriminatif kepada semua partai politik untuk ikut menjadi peserta pemilu tanpa ada batasan suara di pemilu sebelumnya.
Pertama kalinya parliamentary threshold dimaktubkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008 pasal 202 bahwa partai politik yang mengikuti kontestasi pemilu harus melampaui sekurang-kurangnya 2,5% suara nasional untuk lolos ke tahap alokasi kursi di parlemen. Namun, angka tersebut mengalami kontroversi di lingkup beberapa partai politik yang tidak sepakat atas batas 2,5% tersebut, sehingga terjadi pengujian Undang-Undang a quo oleh beberapa partai tersebut, yaitu: PDI-P, Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPPN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (PKP), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) dan Partai Merdeka (PM).
Namun, pengujian Undang-Undang a quo terdapat kecacatan legal standing karena ada penguji yang tidak memberikan bukti kartu keanggotaan partai politiknya. Selanjutnya, pendapat mahkamah dalam simpulannya bahwa ketentuan Parliamentary Threshold merupakan open legal policy. Dari beberapa partai yang mengajukan review kepada Mahkamah Konstitusi, kebijakan parliamentary threshold tetap konstitusional. Pada pemilu tahun 2009, 9 partai politik yang lolos ambang batas parlemen, yaitu: Partai Demokrat (20,85%), Partai Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), PKB (4,94%), Partai Gerindra (4,46%) dan Paartai Hanura (3,77%).
Ketika pemilu selanjutnya tahun 2014 Parliamentary Threshold mengalami kenaikan persentase menjadi 3,5%, ditandakan dengan adanya Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 208. Disamping kenaikan tersebut, Parliamentary Threshold dipergunakan untuk tingkatan DPRD I dan DPRD II. Ketentuan itu dilandaskan kepada hasil pengujian UU sebelumnya ke MK pada tahun 2012. Pemilu 2014 menghasilkan 10 partai politik yang lolos ketentuan ambang batas parlemen: NasDem (6,7%), PKB (9,04%), 3. PKS (6,7%), PDIP (18,95%), Golkar (14,75%) Gerindra (11,81%), Demokrat (10,19%), PAN (7,59%), PPP (6,53%), Hanura (5,26%).Â
Pada periode pemilu selanjutnya, regulasi Parliamentary Threshold terus mengalami kenaikan. Persentasenya mencapai 4%, angka tersebut merupakan hasil kesepakatan partai politik dengan bertujuan mencapai jalan tengah antara partai politik besar dan partai politik kecil. Dituangkan dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2014, pada kontestasi pemilu tahun 2019 terdapat 9 partai politik yang mampu memenuhi ketentuan 4%, yakni: PDIP (19,33 persen), Golkar (12,31 persen), Gerindra (12,57 persen), PKB (9,69 persen), Nasdem (9,05 persen), PKS (8,21persen), Partai Demokrat (7,77 persen), PAN (6,84 persen) dan PPP (4,52 persen).Â
Lebih lanjut pada pemilu 2024 yang menggunakan ketentuan Parliamentary Threshold sama dengan yang digunakan pemilu 2019 yaitu 4%, terdapat 9 partai politik yang cukup untuk mendapatkan alokasi kursi: PDIP (16,72%), Golkar (15,29%), Gerindra (13,22%), PKB (10,62%), Nasdem (9,66%), PKS (8,42%), Demokrat (7,43%), PAN (7,24%). Dari tahun ke tahun pemilu di Indonesia mengalami pasang surut ambang batas parlemen, hal itu terjadi karena tidak ada kejelasan landasan teoritis yang digunakan guna penetapan angka besaran Parliamentary Thereshold. Hanya landasan kesepakatan politik antara partai politik dengan partai politik lainnya, konsekuensi dari proses itu akan menghadirkan ketidakpastian hukum bagi partai politik.
Ambang Batas Parlemen yang Ideal di Indonesia
Jika menakar dengan teori Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP) yang dikenalkan oleh Laakso dan Taagepera, yang bertujuan untuk mengukur tipologi sistem kepartaian di suatu negara. Dengan rumus:
teori yang ditawarkan oleh Laakso dan Taagepera lebih terukur secara jelas, dengan minimbang keefektifan partai politik yang berada di dalam parlemen. Hal itu ditujukan untuk menjaga stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan agar berjalan beriringan dan menciptakan check and balences.Â
Dari pemaparan persentase partai politik pemilu 1999 sampai 2024 di atas, maka banyak partai politik yang berada di dalam parlemen bukan menjadi ukuran utama. Karena, jika menggunakan indeks ENPP pada pemilu 1999 yang notabenenya parlemen diisi oleh 21 partai politik diantaranya 6 partai politik yang lolos Electoral Threshold ternyata hasil perhitungan dari ENPP indeksnya adalah 4,7 sehingga bisa dikatakan parlemen mempunyai sistem multi partai sederhana. Berbeda dengan pemilu tahun 2004 yang diisi oleh 17 partai politik di parlemen diantaranya 7 partai politik yang lolos Electoral threshold jika diukur dengan ENPP, maka indeksnya adalah 7,1 atau bisa dikatakan parlemen memakai sistem multi partai ekstrim.
Juga, sama dengan pemilu 2009 partai politik yang ada di parlemen berjumlah 9 partai, namun jika diukur atas persentase dari perolehan kursi dari setiap partai politik menggunakan rumus ENPP indeksnya adalah 6,2. Dengan kata lain bisa disebut sistem multi partai ekstrim. Jumlah banyaknya partai politik yang berada di parlemen bukan menjadi ukuran utama, tetapi partai politik yang relevan di parlemen adalah ukuran utama dalam penentuan sistem kepartaian di Indonesia.
Pemilu tahun 2014 kursi di parlemen diisi oleh 10 partai politik yang memenuhi syarat ambang batas parlemen, dan indeks ENPP nya adalah 8,2. Selanjutnya pada pemilu 2019 alokasi kursi parlemen diisi oleh 9 partai politik yang indeks ENPPnya adalah 7,5. Dan pada pemilu yang terakhir 2024, 8 partai politik mampu menembus minimal ambang batas parlemen dengan indeks ENPP 6,25. Dari runtutan perjalanan ambang batas parlemen, apabila indeks ENPP di atas 5 menurut Taagepera tergolong tipologi sistem multi partai ekstrim. Di Indonesia hanya tahun 1999 yang memiliki indeks ENPP di bawah 5 yang tergolong sederhana, sehingga berpengaruh terhadap kinerja DPR dalam tugasnya terkhusus pembuatan Undang-Undang.
Berdasarkan tidak jelasnya regulasi ambang batas parlemen, yang awalnya bermaksud untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen bahwa dengan menaikan angka persentase Parliamentary threshold merupakan bukan solusi yang efektif. Jika kita berdasarkan teori yang jelas adanya, untuk memperoleh besaran persentase bukan hanya sekedar transaksi antara partai politik melainkan menggunakan rumus yang pasti dan teruji seperti teori dari Taagepera dengan rumus:
T = 75%/((M+1)* E)
atau T = 75%/((S/E)+1)* E)
atau T = 75%/((S+E)/E*E)
di mana, M rata-rata besaran daerah pemilihan, S jumlah kursi parlemen dan E jumlah daerah pemilihan.
Diejawantahkan dalam praktikalnya, dengan menghitung rata-rata besaran daerah pemilih, jumlah dapil, dan kuota kursi di DPR. Maka, apabila dibulatkan parliamentary threshold yang efektif dan ideal di Indonesia terletak dibesaran 1% suara nasional. Perolehan parliamentary threshold ini mampu memberikan jawaban atas penyaringan partai politik yang konseptual dan dan untuk yang tidak mendapatkan dukungan dari pemilih untuk pengalokasian kursi di DPR, serta mengikuti pemilu selanjutnya. Disamping itu, ketentuan 1% akan mampu menajaga stabilitas pemerintahan dan politik yang proporsional. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H