Mau kurikulumnya ganti atau tidak sebenarnya tidak masalah, karena seperti apa pun kurikulumnya, anak pertama kali mendapat pendidikan dari kita, orang tua dan keluarga besarnya, bukan dari guru atau sekolah. (Yana Haudy)
Kita memang harus berpikir global dan bertindak lokal agar apa yang dilakukan tidak gagal. Nah, pemikiran dan sikap kita yang terbuka terhadap perkembangan zaman, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan lokal, akan membuat anak-anak kita mampu menjadi orang-orang yang bersaing di masa depan. Itulah juga yang pernah disampaikan bapak Dr. Suparno dalam webinar Kupas Tuntas Inovasi Juara Guru dan Kepala Sekolah Inspiratif Kemdikbudristek.Â
Beliau baru saja pulang dari Amerika Serikat dan membawa rombongan siswa SMA Labschool Jakarta ke Universitas Harvard di New York, Amerika Serikat. Beliau sudah berbagi ilmu dan pengalamannya kepada kami di APKS PGRI.
Kalau kita mencermati informasi yang tertuang di situs kurikulum.kemdikbud.go.id, Kurikulum Merdeka sebenarnya tidak menggantikan Kurikulum 2013 (K13) seperti yang dikira banyak orang berkaitan dengan ganti-menteri-ganti-kebijakan.Â
Kurikulum Merdeka justru menyederhanakan sekaligus menyempurnakan K13 dengan menyesuaikan pembelajaran dan penguatan karakter anak sesuai perkembangan zaman di dunia internasional. (Yana Haudy).
Terus terang Omjay kagum dengan pemilihan diksi dan tata bahasanya. Setiap kalimat yang dibuat mengandung makna yang membuat pembacanya terpesona dan tidak bisa menolak apa yang dituliskannya.Â
Jadi pantas saja dewan juri lomba blog memilihnya, karena penulisan kalimat demi kalimat tersusun rapih dan membuat pembaca tercerahkan. Hal yang beliau tuliskan juga telah disampaikan ibu Yati Suwartini, seorang kepala sekolah inspiratif kemdikbudristek di acara webinar PGRI beberapa waktu lalu.