Guru dapat membuat jurnal yang dapat menjadi sarana untuk menyadari emosi dan reaksi diri yang terjadi sepanjang pembelajaran sehingga guru dapat semakin mengenali diri sendiri.
Kegiatan refleksi itu seperti melihat orang bercermin di depan kaca yang bening atau bercermin di dalam air bersih. Pantulan baru dapat terlihat jelas jika permukaan air tenang dan jernih.Â
Ketika kondisi hati masih berkecamuk, sebaiknya kita menunggu dan mengendapkan pengalaman agar dapat berefleksi dengan mendalam. Jangan menulis dulu ketika hati anda sedang galau.
Refleksi diri perlu beranjak dari sekadar menuliskan kembali materi/pengetahuan yang sudah didapat. Lebih dari itu, materi tersebut perlu dikaitkan dengan proses yang terjadi dalam diri.Â
Misalnya, apa yang membuat materi tersebut membekas di pikiran saya sebagai guru? Apa peristiwa dalam hidup saya yang berhubungan dengannya? Apa kaitan materi ini dengan diri saya sebagai seorang penggerak? Bagaimana saya akan menggunakan materi ini untuk murid saya?
Refleksi adalah momen untuk berdialog dengan diri sendiri dalam memaknai peristiwa. Karena itu, ceritakanlah pengalaman dan pemikiran yang guru sendiri alami. Bukan apa yang dialami, dipikirkan, atau dikatakan oleh orang lain.
Refleksi bermakna adalah refleksi yang jujur dan mendalam. Tidak hanya pengalaman dan pemikiran positif yang bisa ditulis di laptop lalu disebarkan ke media sosial. Kuncinya, sertakan emosi dalam menuliskan refleksi.Â
Selama program pendidikan guru penggerak (PPGP), guru akan mendapat kesempatan untuk menuliskan refleksi setiap dua minggu sekali. Pada awalnya, guru mungkin tidak mudah untuk menuangkan gagasan reflektif ke dalam tulisan. Lama-lama akan menjadi kebiasaan bila guru penggerak ingin menjadi guru hebat dan berkarakter.
Menjadi guru penggerak "berlabel" kemdikbudristek adalah sebuah pilihan. Ojo dibanding-bandingke dengan guru penggerak lainnya. Sebab kita semua pada dasarnya adalah guru penggerak. Kita bergerak dengan hati untuk pulihkan pendidikan.
Salam blogger persahabatan