Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlukah Kurikulum Gempa di Sekolah Kita?

10 Februari 2023   07:44 Diperbarui: 10 Februari 2023   07:53 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan menulis di WA Group Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Beliau bertanya APA YANG SALAH DENGAN PENDIDIKAN KITA? Mengapa belum ada kurikulum gempa di sekolah kita?

Menurut Omjay tidak ada yang salah. Kita akan bersalah ketika tidak pernah memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia. Dalam hal ini kementrian pendidikan dan kebudayaan serta riset dan teknologi.

Musibah gempa bumi di negara Turki, Suriah, dan Libanon mestinya menjadi perhatian Mas Menteri, Nadiem Makarim. Bahkan seharusnya menjadi prioritas mengingat Indonesia berada di ring of fire. Banyak sekali berita di tanah air tentang musibah gempa. Baru saja kita dengar ada gempa di Jayapura, Papua.

dokpri
dokpri

Kita harus menyadari sebagai bangsa yang sering terkena gempa bumi. Puluhan, bahkan ratusan gunung berapi tersebar merata. Indonesia berada di atas lempeng Asia dan Australia. Lempeng bumi itu termasuk yang paling tinggi frekuensi aktivitasnya.

Contoh terbaru adalah gempa Cianjur di Jawa Barat. Bagaimana daerah itu bisa hancur dalam sekejap. Korban berjatuhan akibat gempa. Musibah itu berulang-ulang terjadi dengan berpindah-pindah lokasi.

Hal ini mestinya Mas Menteri Nadiem Makarim paham. Ada yang salah dengan pendidikan kita. Mumpung Kurikulum Merdeka baru berjalan beberapa semester, mengapa kurikulum kebencanaan tidak dimasukkan?

Penggabungan Dikbud dan Ristek semestinya menghasilkan kurikulum yang holistik yang mencakup perilaku antisipasi jangka panjang. Mengapa itu tidak dihasilkan?

Sebagai guru, Omjay sangat berharap agar peserta didik mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi masa depannya. Bukan sekadar mendapatkan selembar kertas bernama ijazah.

Kurikulum dengan nomenklatur Merdeka seyogyanya mengakomodasi kepentingan lokal. Sayangnya, justru lebih kepada kebijakan top down. Tidak memperhatikan keperluan yang mendesak bagi generasi masa depan atau penerus bangsa. 

Sebenarnya dalam mata pelajaran Geografi materi kebencanaan dan evakuasinya sudah masuk sejak lama dalam kurikulum 2013, hanya saja, mapel ini cuma ada di kelas IPS SMA.

Hal ini seharusnya dimasukkan dalam semua mata pelajaran. Cuma wawasan tentang gempa bumi dan penyebabnya. Kata seorang kawan guru, "Nggak ada substansi resque-nya". 

Seorang kawan mengajar juga di kelas IPS. Beliau sedang berencana membuat acara nobar dokumenter NHK tentang 10 tahun gempa Tohoku bersama mahasiswa pecinta alam. Keren banget acaranya.

Harapannya siswa bisa paham, negara sekelas Jepang yang kesiapsiagaan dan mitigasinya sudah luar biasa, butuh waktu 10 tahun lebih untuk recover. Lalu Bagaimana dengan kita?

Seorang kawan menulis di WA Group Mafindo, "Itu tantangan buat anak muda sekarang. Mereka banyak yang witness kejadian-kejadian alam destruktif (saya tidak sepaham dengan "bencana alam") dan kudu mulai mikir kritis tentang planning dan respon".

dokpri
dokpri
Nah, program seperti ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Di kelas 12 itu nggak ada materinya. Materinya masuk ke keterampilan. Itu jadinya semacam muatan lokal berbasis life skill. Kelas rendah nggak ada. Begitulah seorang kawan menyarankan.

Seperti Nyanyian anak TK itu apik untuk dipraktikkan. Kita bisa pakai pedoman SPAB - Satuan Pendidikan Aman Bencana. Dengan kondisi geografi dan geologi negara kita yang begini,  ini sangat urgent.

Seorang kawan baik memberikan komentar di WA Group.

Saya dari Sipil  menyeberang ke Komunikasi karena merasa kita memang kurang di situ. Baik komunikasi reisiko, apalagi komunikasi krisis. Padahal yang bisa membuat orang berpartisipasi aktif adalah ketika komunikasinya lancar dan dipahami.

Kita melihat visualisasi gempa, di Palu dan Lombok bahkan kejadian itu terulang kembali. Namun, ketika komunikasinya kurang efektif, kebiasaan keliru tetep saja dilakukan. Kita sering terjebak dengan birokrasi sehingga lambat dalam bergerak.

Beberapa warga kembali membangun rumahnya seadanya. Padahal bangunan rumah mereka yang bisa melukai sendiri. Akhirnya, ketika terjadi gempa susulan, maka tamatlah riwayat mereka. Hal ini menjadi perbincangan hangat di Radio Elshinta pagi ini. Omjay mendengarnya di dalam mobil menuju perjalanan ke sekolah.

Turki contoh sedih ketika banyak yang bermukim di hunian vertikal, terkena gempa saat masih tidur. Mereka tinggal dengan kualitas bangunan yang minim. Ngeri sekali melihat apartemen rubuh. Innalillahi winnailaihi rojiun. Ribuan nyawa meninggal dengan cepat.


Di Palu, Sulawesi Tengah, banyak sekali korban keruntuhan di lantai 1 bangunan bertingkat. Jelas ini bertentangan bila ada informasi berlindung di bawah meja. Sering kita dengar dan bilang, "silahkan berlindung di bawah meja".

Anak teknik biasanya sudah punya intusi untuk melihat model keruntuhan. Di papua ada gempa beruntun meski intensitas relatif rendah. Waspadalah, Waspadalah! Berikut ini info beritanya.

https://tekno.tempo.co/read/1689320/sedikitnya-15-kali-gempa-menggoyang-kota-jayapura-sepanjang-hari-ini

Gempa beruntun walau kecil-kecil pasti akan mengubah deformasi batuan. Jika di lokasi yang berbukit-bukit kapur seperti Pacitan, Trenggalek, Pesisir Jawa Selatan, perlu diwaspadai longsor, sink hole, gerakan tanah...

Secara alami wajar. Hal yang diperlukan adalah sebanyak-banyaknya pelaporan apabila ada yang mengamati deformasi ini secara visual. Semakin banyak laporan, semakin banyak data. Ini yang sayangnya, belum didokumentasikan... Model Crowd sourcing. Ini biasanya yang dituliskan untuk kawan-kawan relawan.

Hal yang penting dari kata "Waspada" adalah 5 W+1H
- Apa yang harus dilakukan
- Kapan harus melakukan
- Mengapa harus sekarang
- Siapa saja yang harus melakukan
- Kemana kudu evakuasi
- Bagaimana proses evakuasinya

Kalau 1 RT saja sudah bisa punya jawaban itu dan sepakat (nanti disesuaikan dengan rencana kontigensi) berarti awareness-nya bagus. Namun, kenyataannya tidaklah seperti itu. Kita memang perlu kurikulum gempa agar anak-anak sudah tahu informasinya.

Seorang kawan bercerita kepada Omjay.

Ketika masih kerja dulu, saya terbiasa ikut simulasi bencana yang dilakukan kantor, salah satunya adalah "Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke tempat evakuasi?" Kebetulan posisi kantor saya diapit pantai dan bukit. Jadi setelah gempa, dalam 15 menit harus sudah berada di titik kumpul di atas bukit yang sudah ditentukan tidak terjangkau tsunami.

Ini sebuah kisah nyata. Ketika tsunami Banten karena runtuhan Anak Krakatau, PJB sedang mengadakan acara di tepi pantai, yang sayangnya panggungnya membelakangi pantai sehingga saat tsunami senyap (tsunami yang tidak diawali gempa besar) banyak korban berjatuhan akibat terlambat merespon.

Ini diluar kondisi EWS yang tidak berfungsi.Juga jangan sampai EWS yang tidak disertai rencana kedaruratan malah menjadi pemicu banyaknya korban.

Di Banten kala itu, banyak korban akibat kecelakaan. Orang panik berlarian kesana kemari, tertabrak mobil dan kendaraan yang juga hilang arah.

Khusus aktivitas Anak Krakatau, biasanya sebelumnya sudah ada himbauan untuk menjauhi area pantai selama kondisi siaga, karena aktivitas Anak Krakatau itu aktif terus.

Kejadian di Banten itu awalnya gempa-gempa kecil, lalu merontokkan sebagian dinding kawah, mendorong longsorannya ke laut sehingga terjadi tsunami kecil (itu ukurannya kecil kalo dari ilmu seismologi. Jadi bukan dari aktivitas vulkaniknya.

Sehingga kurang terdeteksi seismograf dan TWS. Biasanya selama aktivitas Anak Krakatau mulai aktif dan naik, biasanya sudah ada woro dulu untuk pelayaran, penyebrangan dan aktivitas warga di sekitar pantai. Posisi kantor saya dulu kan di daerah Panjang - Bandar Lampung jadi biasanya seluruh perusahaan di daerah seputaran pantai diberikan info waspada oleh pemda Lampung.

Sebuah sudut pandang tentang gempa turki dan suriah 

https://theconversation.com/video-gempa-tunjukkan-bangunan-turki-runtuh-seperti-tumpukan-kue-dadar-ahli-menjelaskan-penyebabnya-199503?fbclid=IwAR2_tgUf7r2L56LL5TYwPtqh56G7B9InUDDH0KsvKM6akNIPCBonaD7VOY8

Ini kadang yang menjadi masalah adalah tempat wisata. Orang yang datang ke situ dari berbagai lokasi, kadang ngga tahu ada ancaman bahaya. Kemenparekraf bisa didorong untuk melakukan safety induction terutama untuk lokasi wisata alam yang ekstrim.

Dari BNPB sendiri sudah ada aplikasi inarisk yang bisa digunakan untuk cek potensi bencana saat kita berada di suatu lokasi. Cuma sistemnya sebaiknya tidak berhenti sampai situ saja.

Saat tsunami Aceh, ada seorang anak bernama Tilly Smith yang berasal dari USA dan kebetulan lagi liburan sekeluarga di Thailand. Dia berhasil menyelamatkan penduduk sekitar dari tsunami karena guru geografinya mengajarkan tanda-tanda tsunami, yang biasanya justru "membahagiakan", seperti air pantai surut  banyak ikan terdampar.Padahal setelah itu gelombangnya tinggi.

Kita ingin banyak Tilly Smiths lain. Walaupun di negaranya tidak ada ancaman tsunami, tapi dia mampu menerapkan ilmu dari gurunya di lokasi lain. Semoga siswa di Indonesia juga seperti itu, bila ada kurikulum gempa di sekolah.

Seorang kawan berkomentar, "Mestinya penduduk lokal lebih jago ya membaca kondisi alam, tapi ya tergantung juga apakah tipikal ignorance atau tidak".

Ini kejadian nyata di Pulau Simeulue. Pelajaran mengenai tsunami dan cara menyelamatkan dirinya dibentuk menjadi lagu daerah dan diajarkan turun temurun. Pas tsunami Aceh, semua waspada langsung lari ke tanah yang tinggi. 

Jadi korban meninggalnya sangat amat sedikit untuk ukuran pulau kecil yang tidak punya penghalang apa-apa dari samudera.
Kalau tidak salah sampai dijadikan bahan karya tulis ilmiah juga. Namanya Smong.

Palu pun, pada saat kejadian gempa itu sebenernya sedang merayakan upacara tradisional yang menurut sejarahnya, tentang peringatan gempa, tsunami masa lalu, Nomoni.

Berkat kurangnya literasi bencana, Nomoni bergeser jadi sekedar festival. Parahnya juga, lokasi yang dari turun temurun dianggap berbahaya, yang kemudian diamini oleh penelitian Badan Geologi tahun 2012. Semoga Palu, Sulawesi Tengah juga semakin meningkat kesadaran bencananya sekarang.

dokpri
dokpri

Demikianlah kisah Omjay hari ini dan sedikit informasi yang omjay simpulkan dari diskusi di WA Group Mafindo. Semoga bermanfaat buat pembaca kompasiana. Kita sudah harus berani memulai membuat kurikulum gempa di sekolah kita. Berikan draftnya kepada kemdikbudristek.

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

Guru Blogger Indonesia

Blog https://wijayalabs.com

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun