'Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani'
[Ki Hadjar Dewantara]
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjadi profesional, guru diharuskan memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Dengan memiliki keempat kompetensi tersebut, guru diharapkan memiliki keterampilan yang baik dalam mengajar, berpengetahuan luas, bijaksana dalam membuat keputusan dan mampu menjalin hubungan sosial dengan baik.
Akan tetapi, dalam menjalankan tugas profesionalnya, guru seringkali menghadapi dilema moral yang terjadi terutama ketika harus memilih di antara dua pilihan yang secara moral benar tapi tampak bertentangan. Dilema moral tersebut muncul karena guru yang memiliki peran ganda (mis. sebagai pengusaha versus sebagai guru) berinteraksi bukan hanya dengan murid dan/atau orang tua saja, melainkan juga dengan pihak lain misalnya, rekan seprofesi, atasan, pemerintah, dan lain-lain.Â
Dalam tata-kehidupan yang kian kompleks, dilema moral ini akan selalu muncul karena kaidah moral-normatif yang dipegang oleh para guru membutuhkan kemampuan interpretasi yang cepat dan akurat di lapangan. Kaidah moral-normatif ketika dipraktikkan dalam situasi yang beragam akan melahirkan referensi tindakan yang beragam. Keragaman referensi tindakan, pada gilirannya memicu kebingungan untuk menentukan referensi dari pilihan dilematis tersebut.Â
Berdasarkan alasan tersebut, diperlukan panduan moral-normatif praktis bagi guru yang berupa Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) yang diharapkan menjadi panduan pendisiplinan diri (self-disciplinary guidance) dan standar moral dalam menjalankan tugas profesionalnya. Berbeda dengan hukum (have to) yang dalam penegakannya membutuhkan banyak intervensi penegak hukum, kode etik (ought to) justru bertumpu pada kesadaran individual tetapi tetap berlandaskan pada relasionalitas, mutualitas, resiprositas dan interaksi dengan pihak lain. Dalam menghadapi banyak dilema, guru dituntut untuk mampu secara cepat membuat putusan yang secara moral meyakinkan (morally sound), bukan untuk mencapai kebenaran itu sendiri (correctness atau truth).
Kode Etik Guru Indonesia ini bersumber dari dan menyerap nilai-nilai universal yang berlaku di seluruh dunia yang diperkaya dengan Pancasila yang merupakan dasar filsafat (philosofische grondslag)Â bagi bangsa Indonesia.Â
Nilai universal tersebut meliputi kejujuran, keadilan, kewajaran (fairness), perhatian, empati, integritas, hormat (respect) dan tanggung jawab. Sementara itu, Pancasila juga dijadikan sebagai sumber nilai untuk mengembangkan guru untuk menjadi toleran, humanis, nasionalis, demokratis dan adil. Kedua sumber nilai tersebut diolah secara komprehensif dengan harapan kode etik ini dapat menjadi panduan moral praktis bagi guru yang efektif dalam menjalankan profesinya