Masalahnya, bila peserta didik diajar oleh guru yang berbahagia mungkin tak jadi persoalan. Tetapi bagi mereka yang dididik oleh guru yang pengeluh dan super cuek dengan anak didiknya, maka UN menjadi sebuah persoalan besar. UN menjadi ditakuti, dan bukan lagi sebagai alat evaluasi yang mengukur kemampuan siswa secara akademisi.
Dalam buku membangkitkan gairah anak untuk berprestasi yang ditulis oleh Amir Faisal dan Zulfanah (2011) disebutkan guru harus menjadi pendidik dan pembimbing belajar yang sukses. Siswa dan guru menemukan kebahagiaan dan kegairahan hidup serta menemukan konsep diri dalam kehidupannya. Oleh karena itu diperlukan penyamaan visi, mengapresiasi peserta didik, mengenali cara kerja otak dalam menemukan tujuan bersama dan mengapresiasi anak-anak. Gurupun dituntut untuk melakukan tindakan yang efektif, produktif, dan menggairahkan suasana belajar. Dengan begitu belajar menjadi mengasyikkan. Peserta didikpun menjadi tahu seni menjual, melakukan persuasi, dan berkomunikasi secara efektif. Para guru merubah diri menjadi seorang motivator ala Mario Teguh dan Tung Desem Waringin.
Begitulah kira-kira pemahaman saya setelah membaca buku membangkitkan gairah anak untuk berprestasi yang diterbitkan oleh penerbit elex media komputindo. Dengan demikian mendidik berarti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk membuat dirinya mencapai prestasi tinggi.
Akhirnya, saya hanya bisa tersenyum semoga pelaksanaan UN berjalan tertib dan lancar. Sebuah kalimat yang selalu saya tuliskan di berita acara sebelum saya tanda tangani sebagai seorang pengawas UN. Saya pun tersenyum bila sudah melaksanakan tugas negara dengan baik. Anda boleh tak setuju pelaksanaan UN, tapi faktanya UN masih menjadi makhluk Tuhan yang paling seksi di negeri ini.
salam Blogger Persahabatan
Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H