Senang rasanya karena mendapatkan panggilan untuk mengikuti sertifikasi guru. Namun, perasaan senang itu hanya sebentar. Mengapa? Karena kami harus mengumpulan berkas portofolio untuk sertifikasi hanya dalam waktu 2 (dua) hari saja. Coba anda bayangkan! Dalam waktu hanya dua hari kami harus mengumpulkan dokumen portofolio yang merupakan kumpulan kinerja kami selama menjadi guru di sekolah.
Kami mencoba menginventarisasi dokumen portofolio, mulai dari sertifikat sampai dengan modul pembelajaran yang telah kami buat. Di internet tertulis: kelulusan guru dalam program sertifikasi guru nasional akan dititikberatkan pada penilaian portofolio atau riwayat hidup guru tersebut. Jika penilaian portofolio masih dirasa kurang, baru diberi pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan portofolio guru tersebut.
Ternyata, mengumpulkan dokumen portofolio tidak semudah yang kami bayangkan. Perlu kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja tuntas. Kita sering melupakan hal-hal kecil. Kita letakkan begitu saja sertifikat yang telah kita dapatkan, baik dalam mengikuti seminar maupun pelatihan. Guru belum memiliki kemampuan untuk mengumpulkan berkas portofolionya dengan manajemen yang baik.
Alhasil, sistim kebut semalam (SKS) itulah yang sering dikerjakan oleh para sebagian guru. Pusing rasanya mencari dokumen yang kita sendiri lupa meletakkannya. Mulai dari ijazah S1, sertifikat pelatihan, surat-surat tugas, SK pengangkatan guru, rencana pelaksanaan pembelajaran dan lain-lain.
Portofolio adalah bukti dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial).
Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Hampir saja saya terjebak dalam memenuhi berkas penilaian portofolio. Teman saya yang menjadi asesor mengingatkan "guru-guru dalam mengikuti uji sertifikasi jangan terjebak pada upaya memenuhi penilaian portofolio semata. Sebab, penilaian portofolio yang kurang masih bisa diatasi dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat). Untuk memenuhi portofolio jangan sampai guru itu mengada-adakan apa yang tidak ada. Sekarang ini, kesannya banyak guru yang panik. Karena merasa seolah-olah kelengkapan portofolio sebagai satu-satunya jalan untuk lulus".
Saya jadi tertawa geli sendiri kalau ingat itu. Teman-teman yang ikut sertifikasi sudah tidak berkonsentrasi lagi dalam mengajar. Mereka semua mengakui itu dengan jujur. Termasuk saya. Belum banyaknya dokumen yang diperlukan membuat kami panik, dan kepikiran terus, dimana kami menyimpan berkas itu. Belum lagi ijazah yang belum dilegalisir, tanda tangan pengawas, dan lain-lain yang sangat memusingkan. Sertifikasi guru dengan penilaian portofolio telah mengunci pikiran kami. Dalam otak kami adalah bagaimana caranya agar dapat lulus sertifikasi, sehingga tidak perlu lagi ikut diklat.
Mulailah kami bergotong royong sesama guru. Kebetulan ada 20 orang disekolah kami yang dipanggil untuk mengikuti sertifikasi. Kami mulai berbagi tugas. Ada yang kebagian mengumpulkan kegiatan-kegiatan pelatihan yang telah dilakukan, mengumpulkan surat tugas, Â SK pengangkatan guru sampai mengumpulkan foto dan sertifikat teman-teman yang hilang atau tercecer karena lupa. Semua itu kita lakukan dengan penuh ketekunan, kejujuran, dan keikhlasan.
Kami saling melengkapi, dan tidak mementingkan diri sendiri. Bila dari kami banyak yang lulus, maka kredibilitas sekolah pun akan terangkat. Kami pun sangat bersemangat dalam mengumpulkan berkas. Bahkan sampai menginap di sekolah. Tak ada yang santai. Semua bekerja, dan saling mengingatkan kalau ada diantara kami yang kurang dalam mengumpulkan point yang harus dilampaui agar mendapat nilai 850 sebagai syarat kelulusan.
Sertifikasi guru sungguh melelahkan. Semua mencoba berbagi tugas. Kepala TU pergi ke rumah pengawas untuk meminta tanda tangan. Kepala sekolah, dengan penuh kesabaran menanda tangani berkas-berkas kami sebagai syarat legalisasi. Ketua MPO (Majelis Pembina Osis) membagikan surat tugas kegiatan. Ketua MPE (Majelis Pembina Ekskul) memberikan surat keterangan bagi guru yang mendampingi siswa dalam berbagai perlombaan. Tak ada yang tertidur pulas. Point demi point kami kumpulkan. Kami baca kembali buku panduan portofolio berulang-ulang agar tak ada bagian yang terlewatkan.
Sayangnya, kami lemah dalam pembuatan media pembelajaran dan kurang melakukan kegiatan sosial di luar, karena waktu kami sudah habis di sekolah. Kemampuan menulis karya tulis pun lemah. Dari 20 orang guru itu hanya ada satu orang yang sudah mengikuti lomba karya tulis guru tingkat nasional. Padahal setiap tahun depdiknas (kemendiknas) melaksanakan lomba karya tulis, baik lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran, karya inovasi guru, lomba karya tulis imtak, dan lomba karya tulis untuk siswa akselerasi. Kemampuan guru juga sangat lemah dalam membuat buku. Hanya beberapa guru saja yang membuat sendiri buku pelajarannya. Belum ada diantara kami yang mendapatkan penghargaan sebagai guru teladan tingkat nasional. Kalaupun ada baru tingkat sekolah dimana tempat kami bekerja dan berkarya.
Portofolio berfungsi untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.
Sertifikasi guru memang melelahkan. Tetapi kalau kita sudah menyiapkan diri dari jauh-jauh hari, maka kelelahan itu akan menjadi kegembiraan. Dari teman yang telah lulus sertifikasi di gelombang pertama mengatakan," perlu waktu enam bulan untuk mengumpulkan berkas-berkas portofolionya". Sebenarnya masalah sertifikasi itu berakar pada masalah kualitas guru dan kesejahteraan guru. Bila guru berkualitas, maka kesejahteraan pun akan datang menghampirinya.
Dalam bulan Januari 2008, kami berdoa agar lulus dan tertulis di website sertifikasiguru.org. Kalau ternyata tidak lulus, harus siap ikut diklat PLPG. Walaupun akhirnya waktu untuk keluarga terkurangi, karena dilakukan pada hari Sabtu-Minggu.
Namun, saya agak sedikit kecewa. Ketika saya mendapatkan telepon dari sudin jakarta timur kalau berkas saya hilang dan tercecer entah kemana. Padahal saya mengumpulkan berkas itu bersama dengan teman-teman yang lain. Jengkel dan kecewa menjadi satu. Saya pun menjadi teringat dengan teman saya yang sudah menjadi guru berprestasi tingkat nasional. Berkasnya hilang dan dia harus ikut PLPG.
Sertifikasi guru sungguh melelahkan. Tapi buat dosen sebagai asesor sangat membahagiakan. Banyak dosen yang kebagian rezeki menjadi asesor. Semoga pemerintah kita selalu memperhatikan terus nasib para guru. Itulah sedikit pengalaman saya mengikuti sertfikasi guru yang melelahkan. Pada akhirnya, saya pun harus mengikuti PLPG, karena berkas yang tercecer itu terselip oleh panitia sertifikasi. Sampai saat ini tidak jelas dokumen saya hilang dimana, dan justru saya bersyukur, karena bisa ikut PLPG. Saya menjadi tahu kekurangan-kekurangan saya menjadi guru setelah mengikuti PLPG.
Sertifikasi guru memang melelahkan. Kelelahan itu juga terlihat dari pencairan tunjangan sertifikasi yang seringkali terlambat. Lemahnya sumber daya manusia dalam pengelolaan sistem administrasi sertfikasi guru membuat sertifikasi guru ini menjadi melelahkan. Seharusnya, pengelolaan dan penanganan sertifikasi guru menjadi mudah bila SDM yang mengelola juga unggul. Seringkali kita temui ada kesalahan pemasukan data yang berakibat banyak guru yang belum cair tunjangan sertifikasinya. Saya pun akhirnya menulis sertifikasi guru itu menguntungkan atau merugikan guru?
[caption id="attachment_126015" align="aligncenter" width="465" caption="Foto kenangan mengikuti PLPG diUNJ bersama teman-teman guru"][/caption]
Salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H