Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Film featured

Sang Pencerah, Rekonstruksi Heroisme KH Ahmad Dahlan

24 September 2010   07:03 Diperbarui: 23 Februari 2021   07:49 4290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film perjuangan biasanya berisi adegan-adegan pertempuran yang melibatkan para pejuang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan penjajah Belanda maupun Jepang. 

Tanpa disadari, fakta ini menanamkan suatu persepsi dalam diri masyarakat bahwa suatu film akan disebut sebagai film perjuangan jika mengandung unsur-unsur seperti pertempuran, senjata dan mesiu. 

Pada sisi lain, keberadaan film-film semacam itu juga sekaligus turut menciptakan suatu pandangan bahwa hanya perjuangan bersenjatalah yang paling berperan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Padahal sejarah juga mencatat bahwa kemerdekaan yang bisa kita nikmati pada saat ini juga berkat perjuangan para pahlawan melawan penjajahan yang dilakukan tidak dengan jalan mengangkat senjata. 

KH Ahmad Dahlan adalah salah satu sosok Pahlawan Nasional yang berjuang melawan penjajah dengan jalan memperhatikan kesejahteraan anak yatim dan orang miskin serta memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan. 

Gambaran seperti itulah yang ditampilkan oleh Sutradara Hanung Bramantyo melalui film Sang Pencerah. 

Rekonstruksi kehidupan Ahmad Dahlan sejak lahir pada tahun 1868 hingga masa awal pendirian Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 yang dapat dilihat dalam film tersebut memang membuat Sang Pencerah masuk dalam genre biopic (biographical pictures) atau film biografi. 

Namun jika dilihat dari konteks ruang dan waktu, yaitu Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda serta konteks idealisme maupun kiprah Sang Kiai dalam perjuangannya untuk mengangkat nasib rakyat jelata dari kebodohan dan kemiskinan akibat segala kebijakan kolonialisme, film ini patut dikategorikan ke dalam genre film perjuangan.

Terlahir dari keluarga ulama terpandang dan lumayan berada, Ahmad Dahlan sejak muda tidak terbuai dalam sangkar emas. Karena adanya darah saudagar yang mengalir dalam tubuhnya serta jaringan rekanan sang ayah, beliau bisa saja memilih hidup untuk menjadi pengusaha. 

Namun Kiai yang pada masa kecilnya memiliki nama Muhammad Darwis tersebut lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama Islam. Setelah belajar di Mekkah selama kurang lebih lima tahun, Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta ketika berusia dua puluh tahun. 

Pada saat itu, dalam diri Ahmad Dahlan sudah terbentuk suatu determinasi kuat untuk membersihkan ajaran Islam dari unsur-unsur yang mengkontaminasi, seperti animisme dan praktek-praktek kultural yang bertentangan dengan ajaran Islam. 

Kepekaan sosial beliau yang dilandasi oleh ajaran Islam juga semakin tajam dan ini ditularkan kepada para murid-muridnya seperti KH Muhammad Sudjak dan KH Fakhruddin.

Dengan berlandaskan pada Surat Al Maa’uun, beliau menanamkan nilai pentingnya memperhatikan nasib orang-orang miskin dan anak-anak yatim. 

Dalam salah satu adegan Sang Pencerah, seorang murid sempat bertanya kepada Ahmad Dahlan tentang mengapa Surat Al Maa’uun terus menerus menjadi topik bahasan dalam pengajian. 

Sang Kiai dengan lugas menjawab bahwa memperhatikan nasib orang miskin dan anak yatim merupakan kewajiban bagi para pemeluk agama Islam. Dengan memahami ayat-ayat dalam Surat Al Maa'uun tersebut diharapkan para murid Sang Kiai tidak melalaikan kewajiban mereka.

Adegan Film Sang Pencerah via sangpencerahthemovie.com
Adegan Film Sang Pencerah via sangpencerahthemovie.com
Dari adegan tersebut dapat dipahami bagaimana Sang Pencerah berupaya merekonstruksi modus perjuangan KH Ahmad Dahlan sekaligus menyampaikan nasehat bagi kita semua. 

Perjuangan untuk menciptakan keadaan yang lebih baik diawali dengan kepedulian kita terhadap nasib orang-orang yang tidak beruntung di sekitar kita. Nasehat ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat pada jaman sekarang. 

Banyak orang-orang memiliki kekayaan berlebih, namun mereka lebih memilih mempergunakan harta yang dimilikinya guna memperoleh kedudukan politik yang dikemas lewat jargon-jargon populis. 

Namun ketika mereka berkuasa, mereka lupa terhadap rakyat yang telah rela menjadi konstituen dan memberikan dukungan. 

Seandainya kekayaan berlebih tersebut disalurkan untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin tentunya lebih mulia dibandingkan dengan penggunaan untuk kompetisi perebutan kedudukan politik demi keuntungan pribadi serta kroni-kroni terdekat.

Selain mengajak murid-muridnya untuk lebih peduli terhadap anak-anak yatim dan orang miskin, rangkaian adegan menarik dari film Sang Pencerah adalah bagaimana KH Ahmad Dahlan bertekad memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui pendidikan. 

Dengan mempergunakan sebagian ruangan dari kediamannya, Sang Kiai mendirikan Madrasah Diniyah bagi rakyat jelata. Kiai Dahlan benar-benar menyadari bahwa kebodohan masyarakat yang kronis akan semakin memperkuat cengkeraman kuku penjajah. 

Bagaimanapun juga orang bodoh akan mudah ditipu dan dipermainkan oleh kaum penjajah yang lebih berpendidikan. Di Madrasah yang didirikannya, Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan pelajaran agama Islam, tetapi juga pelajaran-pelajaran umum termasuk Bahasa Belanda dan kesenian.

Pada masa sekarang kita tidak lagi berada di bawah cengkeraman penjajah yang membatasi kesempatan bagi masyarakat untuk bersekolah. Meskipun demikian tidak berarti perjuangan KH Ahmad Dahlan di bidang pendidikan kehilangan relevansinya. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dewasa ini timbul fenomena komersialisasi pendidikan yang membatasi akses pendidikan bagi golongan tak berpunya. Seyogyanya otoritas penyelenggara pendidikan benar-benar menyadari bahwa pendidikan memiliki peran strategis bagi kemajuan negara. 

Dengan demikian tidak perlu ada anak-anak usia sekolah yang tidak dapat bersekolah karena alasan kekurangan biaya. Jika dulu Kiai Haji Ahmad Dahlan menugaskan santri-santrinya agar mencari dan mengajak anak-anak miskin di Yogyakarta untuk bersekolah di Madrasah yang didirikan beliau, apakah pada saat ini otoritas pendidikan tidak perlu melakukan upaya serupa? 

Banyak anak-anak dari kalangan miskin yang tidak bersekolah karena tidak punya uang untuk membeli seragam dan perlengkapan belajar. Banyak anak-anak yang putus sekolah karena kekurangan biaya. Sampai sejauh mana otoritas pendidikan benar-benar tanggap terhadap fenomena tersebut?

Sebagai penutup kiranya patut diingat bahwa heroisme KH Ahmad Dahlan diwujudkan dalam tindakan beliau untuk menyantuni anak yatim dan orang miskin serta membuka kesempatan pendidikan yang seluasnya bagi rakyat. 

Heroisme ini terekonstruksi secara jelas dalam film Sang Pencerah. Dengan kata lain, film Sang Pencerah berupaya menyampaikan nasehat KH Ahmad Dahlan yang mesti dihayati dan diwujudkan, yakni kemakmuran masyarakat ditentukan oleh terciptanya kesejahteraan sosial dan kemajuan pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun