Pada 2016, ditemukan data bahwa ada 59 negara yang secara hukum mengizinkan anak perempuan menikah lebih muda dari anak lelaki, asal dengan persetujuan kedua orangtua. Parahnya, 18 negara diantara mengizinkan anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun tanpa persetujuan dari kedua orangtua atau wali. Nah, saat ini ada 20 negara dengan ancaman perkawinan anak paling tinggi, dengan Nigeria setinggi 76% hingga Mauritania setinggi 37%.Â
Sementara itu, angka tertinggi perkawinan anak dipegang India. Bayangkan, pada 2017 saja ada 15 juta anak di India dinikahkan sebelum berusia 18 tahun. Di Indonesia angka perkawinan anak sangat tinggi, dengan prevalensi mencapai 14%, alias 1 dari 9 anak Indonesia menjalani praktek perkawinan anak dibawah usia 18 tahun dengan persetujuan kedua orangtua atau wali.
Berdasarkan berbagai penelitian, maka terdapat 5 faktor penyebab tingginya praktek perkawinan anak di seluruh dunia, yaitu:
Pertama, Gender inequality (ketidaksetaraan peran gender): perkawinan anak ini paling banyak terjadi di negara miskin dan berkembang, meski banyak juga terjadi di negara maju. Hal ini disebabkan oleh kesenjangan dalam memberikan hak-hak dasar manusia antara lelaki dan perempuan. Misal, ada sebuah keluarga saking miskinnya hanya mengizinkan anak lelaki saja yang sekolah kemudian bekerja, sementara anak perempuan justru dinikahkan dibawah usia 18 tahun dengan alasan bahwa peran perempuan ya menikah dan mengurus rumah, bukan sekolah apalagi bekerja.Â
Saat ini ada 59 negara di dunia yang bahkan mengizinkan anak-anak menikah dibawah usia 18 tahun dengan persetujuan keluarga, dan 18 negara diantaranya bahkan mengizinkan anak-anak menikah tanpa persetujuan keluarga.
Kedua, Poverty (kemiskinan): dalam masyarakat tertentu ada pandangan bahwa membesarkan anak perempuan itu lebih mahal daripada anak lelaki, sehingga demi membebaskan beban finansial keluarga, si anak perempuan dinikahkan. Hal ini diperkuat pandangan semakin muda usia mempelai perempuan, maka mas kawin yang akan diterima dari pihak lelaki akan semakin tinggi.Â
Selain itu, semakin cepat pula keluarga bisa mengurangi beban membesarkan anak. Tapi, ada juga keluarga yang menikahkan anak perempuannya di usia belia dengan tujuan agar kehidupan si anak terjamin di rumah suaminya, meski sebagian besar justru nggak demikian.
Ketiga, Education (pendidikan): nah, ini merupakan salah satu faktor penyebab yang palig mendasar. Jadi, anak-anak yang menjalani praktek perkawinan anak sebagian besarnya harus putus sekolah dengan alasan bekerja dan mengurus keluarga. Bahkan, jika misal mereka bercerai, mereka tidak kembali ke sekolah karena harus bekerja.Â
Maka hubungan antara praktek perkawinan anak dan angka putus sekolah sangat tinggi. Hal ini juga berpengaruh kepada kaulitas sumber daya manusia suatu masyarakat, karena rendahnya pendidikan dan keterampilan membuat mereka nggak bisa mendapatkan pekerjaan bagus dengan upah tinggi. Hasilnya, tentu saja mewariskan dan melanggengkan kemiskinan kronis.
Keempat, Social and Culture practice (Sosial-budaya): banyak orang masih memahami bahwa perkawinan anak merupakan bagian dari budaya bahkan ajaran agama. Khususnya terhadap perempuan yang dianggap sudah layak menjadi istri dan ibu jika telah mengalami haid. Sehingga, banyak negara menggunakan alasan ini untuk melanjutkan praktek perkawinan anak meski melanggar hukum nasional dan konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak tahun 1989.