Buku ini terinspirasi dari perjuangan kaum perempuan masyarakat adat Tiga Batu Tungku: Mollo, Amanatun dan Amanuban di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.Â
Para perempuan penenun menggunakan tenun dan kegiatan menenun untuk menghalau masuknya perusahaan tambang marmer yang dianggap kehadirannya dapat merusak kawasan karst yang merupakan sumber kehidupan warga.Â
Tenun dan perlawanan perempuan penenun atas aktivitas tambang merupakan bukti bahwa perempuan memiliki pandangan khusus terkait tanah tempat hidupnya, yang tak bisa dipisahkan dari tubuhnya sendiri sebagai arsip kehidupan.
Tenun dan perempuan TTS sendiri memiliki sejarah panjang, sejak mereka dilahirkan dan mengapa setiap anak perempuan diwajibkan memiliki keterampilan menenun. Bahkan kecakapan membuat tenun menjadi salah satu indikator penting apakah seorang perempuan muda sudah layak memasuki dunia pernikahan atau belum.Â
Sebab, tenun bukan hanya sehelai kain, melainkan arsip kehidupan perempuan dengan konteks sosial yang terjalin di dalamnya. Misalnya, tentang mengapa motif tenun untuk laki-laki lebih sederhana dengan warna hitam-putih. Sementara motif tenun untuk perempuan cenderung beragam, dengan warna-warna tertentu, seperti memindahkan kekayaan alam semesta ke dalam selembar kain atau sarung atau selendang.
Terlebih, generasi muda yang melanjutkan pendidikan atau bekerja di kota, sepertinya nyaris melupakan kewajiban menenun sebelum menikah. Dalam semangat kebangsaan dan kebanggaan kita akan tenun sebagai salah satu warisan budaya, kita juga harus menghadapi situasi bahwa jumlah generasi penenun mulai berkurang dan mungkin hanya menyisakan generasi tua. -
Tenun memang bukan hanya sehelai kain, melainkan cerita yang mengalami pergeseran sebagaimana zaman mengendalikan dinamika kehidupan seluruh umat manusia.-Diakui atau tidak, pendidikan konvensional yang dialami seluruh warga negara Indonesia termasuk jenis pendidikan yang seakan 'menitahkan' kita untuk meninggalkan kampung halaman lengkap dengan kearifan lokal dan nilai-nilanya, untuk bekerja di sektor lain yang 'modern' demi mengumpulkan kekayaan.
Meski menjajah hanya 3.5 tahun, tentara Jepang dikenal kejam dan rakus pada perempuan. -Pada masa itu perempuan dirumahkan sehingga menggeluti aktivitas menenun. Sebab jika perempuan terlihat di luar rumah, mereka akan menjadi korban 'kerakusan seksual' tentara Jepang. Karenanya, sejak saat itu aktivitas menenun seakan menjadi pekerjaan utama dan khusus perempuan.