"One story about rape is one story too many." -UN Women-
"Ah paling perempuan yang diperkosa merasa keenakan," seloroh orang-orang nggak punya otak pada perempuan korban kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan. Kujamin bahwa pernyataan itu nggak akan pernah ditujukan pada korban pembunuhan yang menikmati perasaan sakit saat dibacok, dimutilasi, digergaji atau bahkan ditembak.
Pernyataan itu juga nggak akan pernah kita sampaikan pada mereka yang jadi korban perampokan bahwa kehilangan harta benda paling berharga merupakan kenikmatan tak terhingga. Mereka mengira pemerkosaan sama dengan bercinta. Hello! Jika pemerkosaan serupa kenikmatan bercinta, maka para Nabi dan Rasul dan orang cerdik pandai yang akan mengajarkannya kepada umat manusia.
Pemerkosaan adalah tindakan kanibalisme di mana si pemerkosa memangsa tubuh korbannya, menyeruput kehormatannya dengan paksa dan menghabisi martabatnya di dalam masyarakat dan bangsanya.
Orang-orang yang bebal terhadap rasa keadilan bahkan seringkali menjadikan kekerasan seksual sebagai bahan candaan. Bahkan yang lebih parah menunjuk perempuan sebagai sumber segala kejahatan yang dilakukan kaum lelaki yang memerkosanya, mulai dari soal pakaiannya, bentuk tubuhnya, jam kerjanya, jabatan di pekerjaannya, suaranya, wajahnya, bentuk bibirnya, warna lipstiknya, pancaran matanya, bentuk bokongnya dan sebagainya.
Mungkin, para penghina itu lupa bahwa mereka lahir dari rahim ibu melalui selongsong vagina dalam sistem reproduksi perempuan. Maka memerkosa seorang perempuan apakah tak ubahnya memerkosa ibu sendiri? Bukankah menjadikan isu kekerasan seksual sebagian bahan candaan dan tertawaan serupa dengan menghina dan merendahkan ibu sendiri?
Pada akhir 2019, keributan soal kekerasan seksual datang dari wilayah timur pulau Jawa. Kabarnya, seorang lelaki yang merupakan anak Kyai terpandang sekaligus pemilik sebuah pesantren dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual kepada sejumlah santri perempuan.
Korban yang melapor didampingi sejumlah lembaga yang peduli pada isu kekerasan perempuan, karena rasa takut dengan kekuasaan yang dimiliki sang pelaku. Boleh dibilang pelaku pemerkosaan ini merupakan lelaki dengan status sosial tinggi, kaya raya dan punya banyak pengikut.
Korban yang tidak berdaya jelas berusaha melawan dengan diam-diam, alih-alih menunjukkan dirinya ke publik dengan gagah berani dan percaya diri, sebab kita sangat paham bahwa korban kekerasan seksual justru seringkali menjadi korban perundungan oleh kaum yang menganggap bahwa kekerasan seksual sama dengan bercinta dengan gembira.
Kasus tersebut menyita banyak perhatian sebab sang pemerkosa, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Jombang mencoba melakukan penggiringan opini publik, bahwa tuduhan pemerkosaan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang hendak menghancurkan kerajaan bisnisnya.
Para pengikut setia sang pelaku bahkan dengan suka cita menyerukan 'jihad' membela pelaku dan melakukan aksi lapangan dengan tema 'kriminalisasi ulama' dan mengatakan bahwa polisi sebagai PKI sebab dianggap mengganggu kehidupan tenang pesantren. Mereka juga sangat percaya bahwa snag pelaku merupakan orang sakti sehingga nggak bisa disentuh hukum dan nggak mungkin melakukan kekerasan seksual kepada santri.
Di lain pihak, publik semakin erat bergandengan tangan, menyerukan keberanian bagi siapapun yang menjadi korban untuk melapor ke polisi dan menekan orangtua sang pelaku untuk menyerahkan anaknya ke pihak berwenang sebab ia selalu mangkir atas panggilan polisi. Pelaku selalu beralasan sedang merawat ayahandanya yang sedang sakit keras.
"Saya orang sakti. Saya bisa memperistri siapa saja. Saya pun akan memperistri kamu. Sekarang, kamu harus membuka pakaianmu agar saya bisa menyalurkan ilmu saya kepadamu," begitulah kira-kira trik super culas yang digunakan pelaku untuk menjebak korbannya.
Ia tidak memaksa apalagi menyiksa sebagaimana pelaku kekerasan seksual menerkam korbannya. Sebagai orang 'sakti' yang mendalami 'pseudo sains' ia menggunakan trik yang bisa melemahkan psikologi korban sehingga korban menurut. Dengan demikian, terjadilan pemerkosaan tanpa perlawanan dari korban.
"Hadirkan 4 saksi untuk membuktikan kebenaran pemerkosaan itu," adalah seruan lain para pembela pelaku, di mana hukum membawa 4 saksi adalah hadis tentang pencarian bukti atas dugaan perzinahan. Pemerkosaan tanpa perlawanan dari korban memang sulit dibuktikan dengan visum, sebagaimana sejumlah kasus pemerkosaan yang dilakukan saat korban dalam keadaan pingsan.
Terlebih jika kita dengan tololnya meminta korban pemerkosaan menghadirkan 4 saksi untuk membuktikan pemerkosaan itu. Coba pikir, gimana caranya korban bisa melawan pemerkosa yang menerkam tubuhnya dalam keadaan terhipnotis? Bagaimana pula ia bisa memberikan bukti jika di lokasi tak ada CCTV? Sebab kita semua tahu bahwa awan, rerumputan, tiang, batu dan udara nggak bisa dipanggil buat menjadi saksi untuk kasus pemerkosaan yang dilakukan dalam senyap.
Jika pemerkosaan harus dibuktikan dengan 4 saksi, yaitu manusia baligh dan berakal sehat, ya namanya bukan pemerkosaan, melainkan syuting film porno. Mana ada korban pemerkosaan mempersiapkan saksi untuk mendokumentasikan tindakan kriminal pemerkosanya!Â
Lagipula, sungguh bodoh jika kita menyamakan perzinahan dengan pemerkosaan hanya karena alasan penis bertemu vagina secara tidak sah.
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak Kyai di Jombang ini menjadi alot karena tersangka selalu mangkir dari panggilan polisi, padahal kasusnya sudah dilimpahkan ke Polda Jawa Timur. Kasus yang alot ini menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang berkuasa secara sosial dan kekayaan membuat hukum seakan menjadi tumpul. Pihak berwenang selalu mengatakan akan menjemput paksa pelaku, namun tak kunjung dilakukan.
Apakah benar pelaku begitu sakti mandraguna sehingga alat negara berupa polisi tak mampu menangkapnya? Atau apakah karena korban hanya anak dari orang biasa sehingga ia tak memiliki pelindung dari kalangan orang berpengaruh secara sosial dan kekayaan, sehingga ia harus menunggu begitu lama agar proses hukum berjalan sebagaimana mestinya?
Bayangkan jika korban adalah anak Gubernur atau Bupati atau Kapolda atau konglomerat, apakah mungkin kasusnya bisa sealot ini? Ah, susah memang melawan orang berkuasa yang jahat. Tapi, harus dilawan!
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra seorang Kyai di Jombang tersebut merupakan satu dari banyak sekali kasus yang sedang dalam proses penyidikan oleh pihak berwenang. Kasus ini semakin memperlihatkan bahwa di institusi seperti pesantren aja perempuan masih tidak aman.
Selain itu, ketakutan korban untuk melapor merupakan api dalam sekam yang membakar kemanusiaan dalam diam. Kita punya banyak produk hukum yang melindungi warga negara dari kejahatan, juga lembaga penegak hukum yang berjenjang dari level kabupaten hingga ibu kota negara. Tapi, jika perempuan korban kekerasan seksual merasa begitu takut melaporkan apa yang dialaminya, maka bagaimana kita bisa tahu sebanyak apa kasus kekerasan seksual yang terjadi, dan dipendam dalam diam oleh korban.
Kita pun berhak bertanya sejauh mana korban menolong dirinya sendiri dalam menjalani trauma yang parah karena kekerasan seksual yang dialaminya, sebab seringkali kekerasan seksual tidak meninggalkan jejak luka di tubuh korban sebagaimana yang terjadi pada korban perampokan, pembegalan atau pembunuhan.
Luka yang dialami korban kekerasan seksual ada di dalam dirinya dan itu akan membakar psikologinya jika tidak segera mendapatkan pertolongan, termasuk tidak lagi percaya bahwa dunia bisa menolong perempuan mendapatkan perlindungan dan keadilan.
HASIL RISET: 1 DARI 3 PEREMPUAN DI SELURUH DUNIA MENGALAMI KEKERASAN Â SEKSUAL
Kekerasan seksual sebenarnya kejahatan yang tua sebagaimana pembunuhan. Namun, saat seluruh manusia di dunia sepakat bahwa pembunuhan merupakan tindakan kriminal yang kejam dan mengerikan, hanya sedikit orang yang menganggap kekerasan seksual seperti pemerkosaan sebagai kejahatan kriminal yang mengerikan.
Kadangkala kekerasan seksual dianggap sebagai cara lelaki mendisiplinkan perempuan, menundukkan lawan yang kalah dalam peperangan, dan sebagai cara meraih kepuasan seksual bagi para psikopat. Bahkan mereka bilang korban menikmati pemerkosaan.
Kasus-kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan memang mengerikan. Tapi, mengapa bisa prevalensinya 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual? Apakah data ini mengada-ada atau bagaimana?
Apakah separah itu kondisi dunia dalam memperlakukan perempuan, seakan-akan kita ada di medan perang yang sama sekali tanpa perlindungan, bahkan untuk mendapatkan rasa aman atas tubuh sendiri?
Begini datanya secara global:
51% perempuan menjadi korban perdagangan orang (human trafficking)
2 dari 3 korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah perempuan
1Â dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual sepanjang hidupnya
35% perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangan
120Â juta anak perempuan dipaksa melakukan hubungan seksual
125 juta anak perempuan dan perempuan dewasa mengalami mutilasi alat genital
11% perempuan mengalami kekerasan seksual sejak berusia 15 tahun oleh pasangan dan orang asing
Saat membaca tulisan ini, mungkin pembaca akan mengerutkan kening dan mengingat-ingat keadaan sekitar, lalu bertanya: ah, masa iya perempuan mengalami penindasan sekejam itu? Perasaan di lingkungan tempat tinggalku semuanya baik-baik saja.
Hmm, kekerasan fisik dan seksual pada perempuan nggak terjadi di ruang publik secara terbuka, melainkan sebagian besar terjadi dalam tembok rumah, baik oleh pacar maupun suami atau anggota keluarga lelaki yang lain. Terutama dalam masyarakat yang sangat peduli dengan kehormatan dan nama baik keluarga, korban kekerasan seksual biasanya memilih tutup mulut, karena paham nggak akan ada orang percaya.
Misalnya, masa iya sih seorang suami melakukan kekerasan seksual pada istrinya sendiri. Kalau cerita ke bu RT malah bisa jadi bahan tertawaan. Makanya, data-data seperti ini hanya dimiliki oleh lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan kepada perempuan korban kekerasan seksual.
Mungkin dalam benak kita meyakini bahwa kekerasan seksual pada perempuan di Indonesia nggak separah yang terjadi di India atau negara lain. Data hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 menunjukkan adanya bahwa 1 dari 3 perempuan berusia antara 15-65 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik dan seksual.
Survei ini melibatkan 9000 responden dari seluruh Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa kekerasan seksual rentan dialami perempuan di perkotaan (36,3%) daripada di pedesaan (29,8%). Data juga memperlihatkan bahwa 39,4% korban memiliki latar pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 35,1% korban merupakan perempuan yang tidak bekerja.
Bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan berdasarkan survei tersebut adalah ditampar, didorong/dijambak, dipukul, ditendang/diseret, hingga benar-benar dihajar. Sementara kekerasan seksual yang dialami korban adalah menjalani hubungan seksual karena takut, dipaksa berhubungan seksual padahal sedang tidak ingin melakukannya, serta dipaksa melakukan sesuatu tindakan seksual yang merendahkan harga diri perempuan.
Kekerasan seksual bentuk lain yang dilami korban adalah komentar bernada mesum di media sosial, chat mesum, rabaan dan sentuhan, dikirimi gambar/foto porno, hingga ajakan paksa melakukan hubungan seksual. Nah, pelakunya bukan hanya pasangan seperti pacar atau suami; melainkan juga ayah, mertua, tetangga, kakek, paman, sepupu, guru, teman dan orang yang tak dikenal.
Kekerasan fisik dan seksual pada perempuan di seluruh dunia yang statusnya parah inilah yang menjadi pendorong lahirnya Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan Internasional setiap tanggal 25 November.
Sejak 2003, kampanye ini dijalankan serentak selama 16 hari hingga 10 Desember, sehingga seluruh dunia memiliki waktu yang cukup untuk berkampanye dan melakukan penyadaran tentang status kekerasan fisik dan seksual pada perempuan, yaitu dengan cara:
- Menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
- Mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan),Â
- Mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Nah, kampanye 16 hari Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan yang dilakukan pada 25 November-10 Desember ternyata memiliki filosofi tersendiri, yang menjadi semacam sejarah bersama warga dunia. Tanggal 25 November dipilih sebagai hari pertama untuk mengenang Mirabal bersaudara (Patria, Minerva dan Maria teresa) yang meninggal pada 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh diktator Republik Dominika.
Mirabel bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Tanggal 1 Desember merupakan Hari AIDS sedunia; 2 Desember merupakan Hari Penghapusan Perbudakan; 3 Desember merupakan Hari Penyandang Cacat; 5 Desember merupakan Hari Internasional bagi Sukarelawan; 6 desember adalah Hari Tidak ada Toleransi bagi Kekerasan pada Perempuan; dan 10 Desember merupakan Hari HAM Internasional. Itulah 16 hari yang penting bagi kemanusiaan.
KEKERASAN SEKSUAL MERUSAK KESEHATAN REPRODUKSI
Pada November 2017, WHO mengeluarkan laporan mengenai situasi kekerasan seksual pada perempuan di seluruh dunia. Dari laporan tersebut, terdapat sejumlah kata kunci yang harus kita ketahui dan pahami mengenai kekerasan seksual pada perempuan, dilihat dari sejumlah isu yang menyertainya seperti soal kesehatan publik, yaitu:
Kekerasan terhadap perempuan - terutama kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual- adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan.
Perkiraan global yang diterbitkan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 (35%) perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan oleh pasangan intim baik fisik maupun seksual atau kekerasan seksual non-pasangan dalam hidup mereka.
Sebagian besar kekerasan ini adalah kekerasan oleh pasangan intim. Di seluruh dunia, hampir sepertiga (30%) wanita yang pernah berhubungan melaporkan bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan intim mereka di masa hidup mereka.
Secara global, sebanyak 38% pembunuhan perempuan dilakukan oleh pasangan intim pria.
Kekerasan dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik, mental, seksual, dan reproduksi wanita, dan dapat meningkatkan risiko tertular HIV di beberapa rangkaian.
Laki-laki yang paling berkemungkinan melakukan kekerasan jika mereka memiliki pendidikan yang rendah, riwayat penganiayaan anak, paparan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ibu mereka, pengguna alkohol, norma gender yang tidak setara termasuk sikap menerima kekerasan, dan perasaan berhak atau kepemilikan atas perempuan.
Perempuan yang berkemungkinan mengalami kekerasan oleh pasangan intim jika mereka memiliki pendidikan rendah, melihat ibu yang dilecehkan oleh pasangan, mengalami pelecehan selama masa kanak-kanak, dan sikap menerima kekerasan, menerima hak istimewa pria, dan berstatus sebagai bawahan dalam lingkup pekerjaan.
Ada bukti bahwa intervensi advokasi dan konseling pemberdayaan, serta kunjungan rumah menjanjikan dalam mencegah atau mengurangi kekerasan oleh pasangan intim terhadap perempuan.
Situasi konflik, pasca konflik dan pemindahan dapat memperburuk kekerasan yang ada, seperti oleh mitra intim, serta dan kekerasan seksual non-mitra, dan juga dapat menyebabkan bentuk-bentuk baru kekerasan terhadap perempuan.
Mengapa kekerasan seksual masuk ke dalam ranah kesehatan publik? Sebab sasaran dari kekerasan seksual seperti pemerkosaan adalah alat genital perempuan seperti vagina dan payudara, yang merupakan sistem reproduksi perempuan.
Sehingga, sungguh logis jika sistem reproduksi perempuan diserang maka ia akan mengalami masalah kesehatan, yang kemudian diperparah dengan masalah kesehatan mental karena korban kekerasan seksual khususnya pemerkosaan berkemungkinan besar mengalami trauma berkepanjangan yang turut merusak kehidupannya, yang juga berpengaruh pada masalah pendidikan, ekonomi, hingga hubungan dengan keluarga, teman, lingkungan dan tempat bekerja.
Dalam konteks kesehatan, kekerasan seksual terlebih pemerkosaan menimbulkan akibat-akibat lanjutan yang sangat fatal bagi korban:
- Kekerasan seksual berdampak fatal seperti pembunuhan atau bunuh diri.
- Menyebabkan cedera, dengan 42% perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan intim melaporkan cedera sebagai akibat dari kekerasan ini.
- Menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang diinduksi, masalah ginekologis, dan infeksi menular seksual, termasuk HIV. Analisis pada 2013 menemukan bahwa perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual 1,5 kali lebih mungkin mengalami infeksi menular seksual dan di beberapa daerah bahkan tertulari HIV, dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan pasangan. Mereka juga dua kali lebih mungkin melakukan aborsi.
- Kekerasan seksual oleh pasangan intim dalam kehamilan juga meningkatkan kemungkinan keguguran, lahir mati, persalinan prematur dan bayi berat lahir rendah. Studi pada 2013 yang sama menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual oleh pasangan intim 16% lebih mungkin menderita keguguran dan 41% lebih mungkin untuk memiliki kelahiran prematur.
- Bentuk-bentuk kekerasan ini dapat menyebabkan depresi, stres atau trauma pasca melahirkan dan gangguan kecemasan lainnya, kesulitan tidur, gangguan makan, dan upaya bunuh diri. Analisis pada 2013 menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual oleh pasangan intim hampir dua kali lebih mungkin mengalami depresi dan masalah minum alkohol.
- Efek kesehatan juga dapat mencakup sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, gangguan pencernaan, mobilitas terbatas dan kesehatan keseluruhan yang buruk.
- Kekerasan seksual, khususnya selama masa kanak-kanak, dapat menyebabkan peningkatan kebiasaan merokok, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan perilaku seksual berisiko di kemudian hari. Ini juga terkait dengan tindak kekerasan (untuk laki-laki) dan menjadi korban kekerasan (untuk perempuan).
Hmmm, dalam kerangka medis dampak kekerasan seksual sangat mengerikan ya. Oleh karena itu, cara paling mudah bagi kita untuk menerima bahwa kekerasan seksual itu berbahaya dan merugikan adalah dengan menyadari dampaknya dalam konteks kesehatan.
Oleh karena kesehatan adalah hak setiap orang, maka kita harus berupaya keras melawan segala bentuk kekerasan seksual kepada perempuan, bahkan jika itu dilakukan oleh pasangan. Sebab, dengan menikahi seorang perempuan, seorang lelaki tidak berhak menyiksanya secara seksual karena perempuan pasangannya bukan barang.
NB: Tulisan ini pertama kali dimuat di blog pribadi di: www.wijatnikaika.id sebagai bentuk dukungan pengesahan RUU PKS oleh DPR RI.Â
________________
Baca juga tulisan berikut seputar Kekerasan Seksual:Â
1. Merindukan Indonesia Terbebas dari Kekerasan Seksual
2. Bambang Swinger dan Kekerasan Seksual Berkedok Penelitian
3. Kekerasan Seksual Selalu Meningkat, Bagaimana Bisa?Â
4. Jihad Melawan Kekerasan Seksual sejak dalam Pikiran
5. Menghormati Vagina Perempuan, Seperti milik Ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H