Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merindukan Indonesia Terbebas dari Kekerasan Seksual

3 Oktober 2020   16:10 Diperbarui: 3 Oktober 2020   16:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.

"Mari membayangkan satu hari saja tanpa kekerasan seksual." -Anonim-

Kapan kekerasan seksual pertama kali terjadi? Hmm, pasti tidak ada dari kalangan manusia yang bisa menjawabnya. Hanya Tuhan, malaikat dan iblis yang tahu. Namun demikian, kekerasan seksual merupakan tindakan kriminal yang berusia setua peradaban manusia. Ia hadir dalam banyak bentuk, berbasis banyak alasan, dan pelaku pun korbannya bisa siapa saja (dalam konteks jenis kelamin, kelas sosial, tingkat pendidikan, usia, agama, dan sebagainya). 

Sebagaimana tindakan kriminal lainnya, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang polanya selalu berulang, umpama lingkaran setan yang terus menerus berputar-berputar-berputar, tanpa ujung dan pangkal. Di era modern yang berbasis teknologi informasi (digital), kekerasan seksual seakan-akan muncul dengan format baru (dan anggapan korban semakin melimpah), meski sebenarnya hanya 'berbeda' dalam kontek pemanfaatan 'alat' dalam menyerang korban. 

Namun bisa jadi, apa yang kita saksikan saat ini hanyalah bom waktu. Sebab, hanya di era sekarang korban 'berani' terang-terangan bersuara.

Bahkan, beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh berita-berita seputar kekerasan seksual yang bikin geleng-geleng kepala saking memuakkan. Ada lelaki bernama Dedy yang 'memanipulasi' pikiran puluhan klien perempuan yang mengikuti training terapi psikologi miliknya agar dia bisa melakukan kekerasan seksual pada mereka. 

Ada lelaki muda bernama Nicholas yang melakukan perbudakan seksual kepada kekasihnya sendiri dengan menghamilinya lalu menitahkan sang pacar menggugurkan kandungannya sampai 4 kali hanya dalam kurun waktu 2 tahun! Ada lelaki muda bernama Ibrahim yang cerdas, hafal Al-Qur'an, penceramah di banyak masjid dan dikenal sebagai ustadz muda, dilaporkan puluhan perempuan karena melakukan kekerasan seksual. 

Ada lelaki bernama Bambang (dosen lhoooo) yang melakukan kekerasan seksual via sexting kepada sekitar 300 perempuan dengan modus melakukan penelitian swinger alias tukar pasangan seksual. Lalu ada lelaki bernama Gilang yang melakukan kekerasan seksual berkedok penelitian tentang teknik pembungkusan jenazah menggunakan kain batik dan lakban. Semua kasus ini weird, memuakkan dan sinting!

Sebelum kita membahas hal lain yang lebih serius terkait isu ini, marilah kita memahami dulu apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual. Definisi kekerasan seksual dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) adalah sebagai berikut: 

"Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik."

Jika merasa tidak puas, mari kita pelajari definisinya dari berbagai sudut pandang lain, seperti dari WHO berikut ini, di mana definisinya dipandang dari sudut kesehatan: 

"Sexual violence is a serious public health and human rights problem with both short-and-long term consequences on women's physical, mental and sexual and reproductive health. Shether sexual violence occurs in the context of an intimate partnership, within the larger family or community structure, or during times of conflict, it is deeply violating and painful experience for the survivor."

Kita juga dapat mengacu pada definisi internasional berikut ini: 

"Sexual violence, but not limited in rape. Although there is no agreed upon definition of sexual violence, commonly applied ones encompass any act of a sexual nature or attempt to obtain a sexual act carried out through coercion. Sexual violence also includes physical and psychological violence directed at a person sexuality, including unwanted comment or advances, or acts of traffic such as forced prostitution and sexual slavery."

Intinya: kekerasan seksual, apalagi kalau sampai pemerkosaan dan pedofilia tidak hanya merupakan tindakan kriminal dan moral. Namun, sudah masuk ke dalam isu kesehatan masyarakat (public health) dan HAM. Alasannya masuk akal, karena yang dirusak pelaku merupakan sistem reproduksi (reproductive system) dan mental (mental health). 

Banyak sekali korban pemerkosaan yang mengalami pendarahan, kehamilan tidak diinginkan, kehilangan ingatan, stress, depresi, tertular penyakit menular seksual, rahim yang membusuk, hingga kehilangan nyawa baik bunuh diri maupun dibunuh pemerkosa. Sok atuh lah bayangin aja kalau misalnya lelaki diperkosa perempuan trus penisnya mengalami pendarahan atau malah membusuk atau buntung, pasti stress, marah pada diri sendiri, malu, merasa kotor, dan mau bunuh diri kan?

Lebih jauh lagi, kekerasan seksual terutama pemerkosaan berdampak pada pendidikan dan ekonomi korban. Korban pemerkosaan sebagian besar perempuan. Banyak korban pemerkosaan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap kotor dan sampah; banyak korban pemerkosaan dinikahkan paksa dengan pemerkosanya dengan alasan menjaga nama baik keluarga; banyak pula korban pemerkosaan yang harus mengalami kehamilan tidak diinginkan dan tidak memiliki akses menggugurkan kandungan. 

Saat seorang perempuan mengalami hal ini, sebagian besar mereka akan putus sekolah dan harus bekerja. Dengan itu pula, lenyap kesempatan dia untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan mendapat pekerjaan dengan penghasilan bagus. Kalau yang bernasib sial harus menikah dengan pemerkosanya, hidupnya akan lebih mengenaskan, sebab dia telah kehilangan kemerdekaan. Btw Pembaca, kalau kamu diperkosa, rela kah kamu menikah dengan si pemerkosa hanya demi menjaga nama baik keluarga besarmu dan keluarga besar si pemerkosa?

MENGAPA KEKERASAN SEKSUAL BISA TERJADI DAN SEMAKIN PARAH?
Pada tanggal 6 Maret 2020, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2019. Dokumen Catahu tersebut berjudul "Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan" yang seketika membuatku bergidik ngeri dengan kata 'kekerasan meningkat' yang bermakna kekerasan terhadap perempuan di Indonesia kondisinya menjadi super darurat atau mungkin krisis. 

Bagaimana negara membiarkan semua ini terjadi? Catahu tahun 2019 ini merupakan hasil analisa data yang dikumpulkan dari sebanyak 239 lembaga pengada layanan di seluruh Indonesia baik itu LBH, Organisasi Perempuan, Pengadilan Negeri, Polres, Rumah Sakit, RSUD, P2TP2A, UPT, Yayasan, Polda, hingga lembaga perhimpunan jurnalis. 

Lembaga-lembaga tersebut tentulah yang menerima laporan korban, memberitakan kasus yang dialami korban, yang menangani korban, yang mendampingi korban hingga yang mengurus proses peradilan atas kasus yang menimpa korban. Jumlah lembaga yang banyak ini menjadi justifikasi bahwa laporan ini valid secara akademis dan data yang terdapat didalamnya dapat dipertanggung jawabkan.

Angka kekerasan seksual naik setiap tahun. Sumber: Komnas Perempuan.
Angka kekerasan seksual naik setiap tahun. Sumber: Komnas Perempuan.
Sepanjang tahun 2019, jenis kekerasan terhadap perempuan paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai ranah personal yang mencapai 11.105 kasus (75%), termasuk diantaranya kekerasan seksual oleh pasangan. Sementara kekerasan terhadap perempuan di ranah publik mencapai 3.602 kasus (24%) dan yang terjadi di ranah negara mencapai 12 kasus (0,1%). 

Pada ranah KDRT, kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik sebanyak 4.783 kasus (43%), kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), kekerasan psikis sebanyak 2.056 kasus (19%), dan kekerasan ekonomi sebanyak 1.459 kasus (13%). Menurutku, data ini lumayan mengerikan karena sepanjang 5 tahun (2015-2019) jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat secara signifikan sebanyak 109.719 kasus.

DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL PADA KORBAN
Kekerasan seksual memiliki dampak yang kompleks kepada korban. Bahkan secara medis, korban kekerasan seksual berpotensi mengalami depresi, disosiasi, kehilangan hasrat seksual hingga diabetes tipe 2 (baca DISINI). 

Sebuah artikel di situs WHO bahkan menjelaskan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak hebat terhadap kesehatan reproduksi, kesehatan mental, perubahan perilaku hingga dampak fatal seperti komplikasi kehamilan, bunuh diri, aborsi, HIV/AIDS, pembunuhan oleh keluarga (honor killing) hingga bullying pada anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan.

Dampak kekerasan seksual pada korban secara medis dan psikologis. Sumber: WHO
Dampak kekerasan seksual pada korban secara medis dan psikologis. Sumber: WHO
Kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat kompleks kepada korban. Terutama jika kekerasan seksual yang terjadi sangat ekstrim seperti dilakukan oleh banyak orang, atau disertai dengan berbagai bentuk siksaan fisik yang benar-benar membuat korban trauma bahkan mengalami kematian, atau korban memilih bunuh diri karena depresi, atau justru dibunuh oleh keluarganya sendiri atas nama kehormatan keluarga (honor killing).

MEDIA DAN PARA JURNALIS TURUT MELANGGENGKAN KEKERASAN SEKSUAL
Selama ini kita mendapat informasi mengenai kasus kekerasan seksual dari media massa, baik cetak maupun online. Nyaris setiap hari ada saja berita tentang kasus kekerasan seksual di pelosok negeri. Bahkan, kini beritanya gampang sekali tersebar di media sosial. Bagus sih, sebab jadinya mudah sekali kita mengakses informasi dan tahu apa yang terjadi di negeri ini terkait isu kekerasan seksual yang sebelumnya mungkin biasa dianggap kabar burung belaka. 

Namun demikian, banyak sekali pemberitaan kasus kekerasan seksual di media massa yang justru melanggengkan budaya memerkosa alias rape culture. Bahkan, tak jarang judul tulisan dalam kasus pemerkosaan cenderung memberatkan, merendahkan dan menyalahkan korban: khas patriarki, di mana korban sudah jatuh ditimpa tangga (menyalahkan korban sebagai pelaku).

Banyak sekali jurnalis yang menuliskan judul berita dengan merendahkan korban atau bahkan mengolok-olok, sebagaimana gambar diatas (sebagai contoh). Misalnya, ada kasus perempuan sedang menstruasi diperkosa 4 lelaki secara bergiliran alias gang rape, tapi media menyebut pemerkosaan sebagai 'mengobok-obok' (sinting nggak sih ini?). 

Ada seorang siswa SMA yang sudah menolak berhubungan seksual dengan pacarnya, tapi kemudian diperkosa, eh beritanya malah disebut 'ditusuk' seakan-akan pemerkosaan dalam pacaran merupakan seks suka sama suka. Atau sebuah berita tentang sebuah tindakan kekerasan seksual yang berhasil digagalkan oleh korban, namun pemberitaan justru seakan-akan pemerkosaan gagal karena kelemahan si pelaku. 

Atau kasus seorang lelaki tua yang memerkosa remaja demi pesugihan, malah disebut 'disetubuhi' atau seorang istri pejabat yang menyalahkan vagian para perempuan (berstatus istri) sebagai penyebab para suami mereka menjadi gay (homoseksual). Ini kelewat sinting! Mengapa media massa ikutan sinting kayak predator seks?

Sejak kapan media massa dan para jurnalisnya berhak menyatakan bahwa kekerasan seksual sama dengan aktivitas seksual suka sama suka (berbasis consent)? Sejak kapan media dan para jurnalisnya berhak melepaskan etika jurnalisme dengan mudahnya dalam meliput kasus kekerasan seksual? Apakah karena korbannya perempuan makanya media dan para jurnalisnya bisa seenaknya menganggap kekerasan seksual sebagai olok-olok dan bahan tertawaan?

LALU, PERAN PEMERINTAH SAMPAI DI MANA?
Terkait peran pemerintah, kita tahu sama tahu bahwa sampai saat ini pemerintah 'lelet' alias 'lamban' alias 'nggak memprioritaskan' terciptanya produk hukum atau kebijakan yang adil dalam kasus kekerasan seksual. Jika selama ini pemerintah Indonesia mampu melindungi warganya melalui berbagai kebijakan yang adil, tentulah angka kekerasan seksual di Indonesia nggak akan naik setiap tahun, bahkan kasus-kasus yang terjadi semakin mengerikan (hampir di luar nalar). 

Mungkin, pemerintah beranggapan bahwa urusan ini nggak prioritas bagi pembangunan mental, ekonomi dan sosial bangsa karena nggak masuk dalam hitungan GDP dll. Namun, pemerintah lupa bahwa sebuah bangsa yang besar, maju dan bermartabat harus terlebih dahulu mengutamakan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga untuk mendapat rasa aman dari kekerasan seksual. 

Bagaimana bangsa kita mau maju kalau sebagian warga yang powerful sibuk melakukan kekerasan seksual dimana-mana sampai korbannya ratusan orang, sementara sebagian warga yang lemah selalu ketakutan dan sibuk berhitung agar tidak jadi korban kekerasan seksual.

Sebelum adanya RUU PKS, istilah 'kekerasan seksual' tidak dikenal dalam produk hukum di Indonesia, melainkan pencabulan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai 'kejahatan terhadap kesusilaan' dan 'kejahatan terhadap kehormatan.' Istilah 'kejahatan seksual' baru disebut dalam UU No. 23 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Sementara istilah 'kekerasan seksual' baru disebut dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan dalam UU No. 24 tahun 2008 tentang Pornografi. Sedangkan dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) hanya mengatur istilah 'kekerasan' dalam konteks perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.

Karena produk hukum terkait kasus kekerasan seksual sangat tidak memadai sementara kasus kekerasan seksual semakin meningkat, maka pada akhir 2015 Komnas Perempuan menginisiasi RUU PKS. Pada November 2015, draft RUU PKS masuk ke dalam Prolegnas 2016 DPR RI dan Juni 2016 Komnas Perempuan menyerahkan draft RUU PKS pada Presiden Jokowi. 

Sejak 2016-2020, pembahasan RUU PKS ini memanas dan selalu menuai kontroversi. Sampai-sampai ada sejumlah pihak yang mengatakan bahwa RUU PKS ini pro zina dan LGBT. Puncaknya, pada Juni 2020, RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 oleh DPR RI dengan alasan pembahasannya 'agak sulit' padahal sudah berjalan 4 tahun lho. 

Bahkan, RUU PKS tidak masuk dalam Prolegnas 2020-2024 yang bermakna sampai 2024 RUU PKS nggak jelas nasibnya, sementara korban kekerasan seksual terus berjatuhan tanpa bisa mengakses keadilan. Silakan cek sendiri di situ resmi DPR RI. RUU PKS raib dan dibuang begitu saja!

RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.
RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.
Dengan tidak jelasnya nasib RUU PKS, lantas payung hukum apa yang bisa kita gunakan dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terus saja terjadi? Jika kita mau mengingat kasus pemerkosaan terhadap E di Tangerang yang dalam keadaan sekarat kemaluannya ditusuk gagang pacul: para pelaku (2 dari 3 orang pelaku) pemerkosaan terhadap E didakwa dengan pasal pembunuhan berencana. 

Padahal disitu ada dua peristiwa kriminal besar yaitu PEMERKOSAAN dan PEMBUNUHAN. Kedua pelaku pemerkosaan dan pembunuhan itu dihukum mati atas dakwaan pembunuhan berencana. Bayangkan, keduanya nggak didakwa melakukan pemerkosaan karena memang kita belum memiliki produk hukum (UU) untuk menangani kasus kekerasan seksual yang salah satu bentuknya adalah pemerkosaan.

Sampai kapan kita harus menunggu keadilan bahwa pemerkosaan dijadikan 'dakwaan' dalam kasus pemerkosaan sebagaimana kejadian yang sebenarnya? Apakah kita harus menunggu sampai semua orang lemah menjadi korban pemerkosaan baru RUU PKS disahkan menjadi undang-undang? Separah inikah bangsa kita yang katanya negara hukum?

_______________

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi di: www.wijatnikaika.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun