Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merindukan Indonesia Terbebas dari Kekerasan Seksual

3 Oktober 2020   16:10 Diperbarui: 3 Oktober 2020   16:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.

Sebelum adanya RUU PKS, istilah 'kekerasan seksual' tidak dikenal dalam produk hukum di Indonesia, melainkan pencabulan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai 'kejahatan terhadap kesusilaan' dan 'kejahatan terhadap kehormatan.' Istilah 'kejahatan seksual' baru disebut dalam UU No. 23 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Sementara istilah 'kekerasan seksual' baru disebut dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan dalam UU No. 24 tahun 2008 tentang Pornografi. Sedangkan dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) hanya mengatur istilah 'kekerasan' dalam konteks perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.

Karena produk hukum terkait kasus kekerasan seksual sangat tidak memadai sementara kasus kekerasan seksual semakin meningkat, maka pada akhir 2015 Komnas Perempuan menginisiasi RUU PKS. Pada November 2015, draft RUU PKS masuk ke dalam Prolegnas 2016 DPR RI dan Juni 2016 Komnas Perempuan menyerahkan draft RUU PKS pada Presiden Jokowi. 

Sejak 2016-2020, pembahasan RUU PKS ini memanas dan selalu menuai kontroversi. Sampai-sampai ada sejumlah pihak yang mengatakan bahwa RUU PKS ini pro zina dan LGBT. Puncaknya, pada Juni 2020, RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 oleh DPR RI dengan alasan pembahasannya 'agak sulit' padahal sudah berjalan 4 tahun lho. 

Bahkan, RUU PKS tidak masuk dalam Prolegnas 2020-2024 yang bermakna sampai 2024 RUU PKS nggak jelas nasibnya, sementara korban kekerasan seksual terus berjatuhan tanpa bisa mengakses keadilan. Silakan cek sendiri di situ resmi DPR RI. RUU PKS raib dan dibuang begitu saja!

RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.
RUU PKS masuk Prolegnas 2016, dibuang dari prolegnas 2020.
Dengan tidak jelasnya nasib RUU PKS, lantas payung hukum apa yang bisa kita gunakan dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terus saja terjadi? Jika kita mau mengingat kasus pemerkosaan terhadap E di Tangerang yang dalam keadaan sekarat kemaluannya ditusuk gagang pacul: para pelaku (2 dari 3 orang pelaku) pemerkosaan terhadap E didakwa dengan pasal pembunuhan berencana. 

Padahal disitu ada dua peristiwa kriminal besar yaitu PEMERKOSAAN dan PEMBUNUHAN. Kedua pelaku pemerkosaan dan pembunuhan itu dihukum mati atas dakwaan pembunuhan berencana. Bayangkan, keduanya nggak didakwa melakukan pemerkosaan karena memang kita belum memiliki produk hukum (UU) untuk menangani kasus kekerasan seksual yang salah satu bentuknya adalah pemerkosaan.

Sampai kapan kita harus menunggu keadilan bahwa pemerkosaan dijadikan 'dakwaan' dalam kasus pemerkosaan sebagaimana kejadian yang sebenarnya? Apakah kita harus menunggu sampai semua orang lemah menjadi korban pemerkosaan baru RUU PKS disahkan menjadi undang-undang? Separah inikah bangsa kita yang katanya negara hukum?

_______________

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi di: www.wijatnikaika.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun