MENGAPA REPOT-REPOT MELAWAN PATRIARKI?
Kukira, di era digital seperti sekarang mudah sekali menemukan ajakan untuk melawan patriarki. Juga respon sinis dari sejumlah pihak yang menganggap melawan patriarki sama saja dengan memusuhi lelaki. Informasi dalam bentuk kalimat pendek, meme, status di timeline Facebook, Twitter dan Instagram tentang patriarki bisa jadi bikin kita bingung.
Terutama, kalau kita MALAS mencari bahan bacaan untuk menyelamatkan kita dari kebingungan akibat informasi yang tidak lengkap. Bahkan, seringkali ada anggapan bahwa melawan patriarki sama dengan melawan supremasi Tuhan yang memang menciptakan lelaki dan perempuan sebagai dua jenis yang berbeda.
Banyak pihak yang masih belum bersedia dan belum mampu membedakan apa kodrat (biologis) dan peran dalam masyarakat. Kesalahpahaman ini harus diluruskan, agar kita secara terbuka mengerti apa tujuan baik melawan patriarki bagi masyarakat manusia.
Dalam memahami bagaimana patriarki telah mendarah daging dalam kehidupan kita bisa dilihat melalui sejumlah hal. Misalnya, saat lelaki disunat/khitan sebagai tanda menuju dewasa, maka dibuat perayaan untuknya.
Sementara saat perempuan mengalami haid pertamanya, tak ada perayaan sebagai penanda menuju kedewasaan. Patriarki juga tergambar jelas jika sebuah keluarga bergembira atas kelahiran bayi lelaki, tetapi sedih hingga merasa sial saat yang lahir adalah bayi perempuan. Bahkan, dalam konteks ekonomi banyak keluarga menjadikan anak perempuan sebagai beban sehingga si orangtua terburu-buru menikahkan anak perempuannya saat masih berusia dibawah sepuluh tahun atau belasan tahun.
Maraknya kasus perkawinan usia anak (terlebih anak perempuan) merupakan pertanda bahwa masyarakat kita adalah patriarki dan menganggap merawat anak perempuan sebagai beban, sehingga si anak harus secepat mungkin diserahkan kepada lelaki yang menjadi suaminya agar lepas beban ekonomi di keluarga perempuan.
Contoh patriarki yang paling kontroversial adalah terkait pelacuran alias bisnis lendir. Diakui atau nggak, seluruh mata masyarakat akan menghina dan menelanjangi perempuan yang melacur, namun tak menghina atau menelanjangi lelaki yang membeli jasa seksual sang pelacur.
Masyarakat akan menyalahkan korban pemerkosaan, tapi biasa saja pada pelaku pemerkosaan. Masyarakat akan menghabisi perempuan yang jadi selingkuhan, tapi bersikap biasa saja pada lelaki beristri yang punya banyak selingkuhan.
Bahkan, dalam konteks kehidupan bernegara semua bertepuk tangan jika lelaki naik jadi pemimpin, sementara itu pandangan curiga akan mengemuka jika seorang perempuan menjadi pemimpin. Patriarki selalu menginginkan perempuan ada dibawah kekuasaan lelaki dalam bentuk apapun, entah urusan tubuhnya, seksualnya, kecerdasannya, harta bendanya, hingga hidup dan matinya.
Bahkan, ketika agama Islam melakukan revolusi sosial dengan mengatakan bahwa surga ada dibawah telapak kaki ibu sebagai unjuk kemuliaan seorang perempuan diatas lelaki, tetap saja perempuan diharuskan patuh kepada ayah dan suaminya, dan terlarang bagi perempuan menyeret ayah atau suaminya ke neraka.
Dalam patriarki, perempuan selalu dipaksa bodoh, salah, kalah dan rendah.