Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Memerkosa alias 'Rape Culture' Nyata Adanya di Sekitar Kita

26 September 2020   13:14 Diperbarui: 26 September 2020   16:25 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasus kekerasan seksual terbanyak terjadi dalam ranah personal. Sumber: Komnas Perempuan

Budaya memerkosa alias rape culture bukan kaleng-kaleng, apalagi sekadar tuduhan kemarahan kaum feminis garis keras. Budaya memerkosa ada tingkatannya mulai dari yang paling ringan dan cenderung disepelekan, sampai paling parah hingga menyebabkan depresi, cacat dan kematian korban.

Hmm, pembaca mungkin bosan dengan tulisan-tulisanku terkait kekerasan seksual. Masalahnya, aku dan banyak perempuan lain masih merasa nggak aman dan sering mendapat pelecehan termasuk pelecehan seksual. Aku berjilbab lho dan mendapat pelecehan seksual, salahku di mana? Apa aku harus mati aja supaya aman dari kekerasan seksual?

Eh, nggak juga ding soalnya ada kisah di Mesir kuno di mana para pembuat mumi suka memerkosa mayat perempuan yang masih segar sebelum diproses jadi mumi. Makanya orang Mesir kuno kadang membuat mayat perempuan membusuk beberapa waktu lamanya sebelum memanggil petugas pembuat mumi.

Pembaca pasti sudah sering mendengar nasehat agar perempuan tinggal di rumah saja agar aman dari segala gangguan termasuk kekerasan seksual. Kita juga sering sekali kepincut dengan istilah "Rumahku surgaku" yang merupakan mimpi nyaris setiap orang, bahwa rumah adalah surga kecil di dunia dan tempat paling aman di bumi.

Sayangnya, data justru menunjukan bahwa rumah dan lingkungan terdekat justru paling nggak aman, bahkan dari kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Merasa aneh? Tapi ini nyata.

Pembaca ingat kan kasus Y di Bengkulu? Ya merupakan siswa SMP yang diperkosa beramai-ramai di siang bolong saat pulang sekolah di kampung halamannya sendiri. Nah, Y ini bukan lagi kelayapan lho, melainkan dalam perjalanan dari sekolah ke rumahnya.

Pemerkosaan beramai-ramai alias gang rape itu bikin Y meninggal dunia, karena setelah pemerkosaan terjadi tubuh Y yang sekarat dna lemah dilempar ke jurang oleh para pemerkosa untuk menghilangkan jejak. Ya, remaja Y kehilangan nyawa di tangan pemerkosanya yang merupakan teman- teman sekolahnya.

Pembaca juga ingat kasus E di Tangerang kan? E adalah seorang perempuan muda yang bekerja sebagai buruh pabrik. E diperkosa di kontrakannya sendiri oleh pacarnya dan teman pacarnya, dan seorang siswa SMP. Saat E diperkosa, jelas dia nggak lagi kelayapan. Kemudian E meninggal dunia karena saat sekarat setelah diperkosa vaginanya dimasukin gagang pacul hingga menembus jantung.

Gila ya para pemerkosanya, urusan penis jadi pembunuhan sadis kayak gitu. Kemudian, kedua pelakunya dihukum dengan pasal pembunuhan berencana, sama sekali nggak dijerat atas pasal pemerkosaan karena kebijakan hukumnya belum ada. Padahal seharusnya kan bisa dijerat pasal berlapis karena ini kejahatan sadis.

Kasus terbaru tentang NF di Jakarta. Remaja 15 tahun ini pada awalnya bikin geger karena menyerahkan diri ke polisi setelah membunuh bocah berusia 5 tahun yang merupakan tetangganya sendiri. Orang kemudian berspekulasi bahwa NF mengalami gangguan jiwa hingga level psikopat dan itu ditunjukkan melalui gambar-gambar yang NF buat.

Setelah beberapa waktu lamanya, fakta baru terungkap bahwa NF hamil 14 minggu. Kok bisa? Ternyata NF diperkosa oleh dua orang pamannya sendiri dan pacarnya. Peristiwa pemerkosaan itu bahkan direkam oleh sang paman agar NF tutup mulut. NF menumpahkan kemarahan dan merekam peristiwa itu kedalam gambar-gambar yang semula disangka sebagai jawaban atas pembunuhan yang dilakukannya.

Tetapi rupanya, kemarahan NF yang nggak tertanggungkan bikin dia bunuh anak kecil dan menyerahkan diri ke polisi, adalah dia sengaja agar bisa melarikan diri dari pemerkosa yang tak lain pamannya sendiri.

Nah, kasus NF ini kalau disambungkan ke Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2019, kita akan paham bahwa ternyata kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di ranah rumah tangga. Bayangkan aja ayah perkosa anak kandung, paman perkosa keponakan, suami perkosa istri, sepupu perkosa sepupu, kakek perkosa cucu, bahkan para lelaki itu memerkosa bayi mereka sendiri. Bayi-bayi itu jadinya mati.

So, saat kita kekeh bilang bahwa rumah adalah tempat paling aman sehingga memaksa mengurung perempuan di rumah atas nama ketundukan pada orangtua atau suami, kita keliru. Nyatanya, tempat paling aman adalah di mana perempuan tidak mendapatkan perlakukan buruk apalagi diperkosa sampai mati.

Dimanakah tempat itu? Tidak ada.

Kasus kekerasan seksual terbanyak terjadi dalam ranah personal. Sumber: Komnas Perempuan
Kasus kekerasan seksual terbanyak terjadi dalam ranah personal. Sumber: Komnas Perempuan
Dalam kasus-kasus pemerkosaan biasanya pelaku nggak dijerat dengan pasal pemerkosaan melainkan pasal pencabulan. Bayangkan, seorang perempuan diperkosa sampai sekarat tapi pemerkosanya dijerat pasal pencabulan! Atau pelaku bisa dijerat pasal dalam UU Perlindungan Anak kalau korbannya manusia berusia antara 0-18 tahun.

Pelaku juga bisa dijerat pasal dalam UU Penghapusan KDRT kalau korban dan pelaku merupakan anggota keluarga, seperti kasus ayah perkosa anak kandung, atau paman perkosa keponakan. Ngenes kan ya, kasusnya pemerkosaan tapi pelaku dijerat pakai pasal yang nggak nyambung dengan kasusnya.

Lha, memangnya nggak ada kebijakan khusus untuk menjerat pelaku pemerkosaan? Nggak ada. Makanya para pegiat advokasi perlindungan pada perempuan dan anak memperjuangkan kebijakan khusus tentang kekerasan seksual. kebijakan ini masih digodok di DPR dan berproses sejak 2014.

Namanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Kenapa kebijakan ini lama banget diundangkan padahal kita butuh mendesak? Karena RUU PKS ini ditolak sebagian kalangan Muslim yang menganggap RUU PKS pro zina dan LGBT.

Sejumlah partai yang menolak misalnya PKS dan PPP, yang bahkan membuat kebijakan tandingan yaitu drat RUU Ketahanan Keluarga yang sama sekali nggak nyambung dengan kebutuhan penanganan kasus kekerasan seksual yang semakin tahun semakin meningkat.

Entah bagaimana bisa sebagian kelompok Muslim menganggap RUU PKS pro zina dan LGBT, padahal kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis Islam aja banyak, cuma ditutupi demi menjaga nama baik para ustadz pelaku kekerasan seksual. Salah satu contohnya kasus MSA, anak Kiai pemilik pesantren di Jombang yang memerkosa sejumlah santriwati.

Tapi, meski status MSA udah jadi tersangka dan kasusnya ditangani Polda Jatim, tetep aja tuh orang kebal hukum. Mau tahu kenapa MSA kebal hukum? Karena sebagian warga melindungi dia seakan-akan dia manusia kebal dosa. Sang Kiai sepuh sebagai orangtuanya juga nggak serahkan MSA ke polisi. Waktu polisi datang buat bawa MSA demi melakukan penyelidikan, warga pendukungnya jadi pagar betis dong.

Nah, budaya memerkosa dalam masyarakat kita levelnya udah separah itu. Lama-lama memerkosa dianggap biasa dan bukan dosa. Bahkan lembaga pendidikan Islam semacam pesantren pun nggak aman dari pemerkosa. Serem nggak tuh pemerkosa berkedok ustadz atau guru ngaji atau ulama? Atau kalau di lembaga agama lain tuh ada juga pendeta yang memerkosa murid-murid sekolah Minggu.

RAPE CULTURE ALIAS BUDAYA MEMERKOSA

Kembali ke budaya memerkosa: bahwa ini nyata adanya dan setiap kita kemungkinan besar adalah pelaku sekaligus korban. Bahkan saat di kepala kita terlintas pikiran untuk menghukum seorang perempuan dengan memerkosanya, maka kita sudah menjadi pelanggeng budaya memerkosa di dalam diri kita sendiri.

Atau saat mengomentari pakaian perempuan seolah mengundang memerkosanya, maka kita telah melanggengkan budaya memerkosa. Jadi, ingat-ingat saja dan jujur pada diri sendiri apakah termasuk yang melanggengkan budaya memerkosa atau bukan. Kalau bukan ya alhamdulillah.

Jika kita berdiam diri atau menggampangkan atau menganggap kekerasan seksual yang dialami orang lain tidak menjadi masalah bagi diri kita, maka kita telah menjadi bagian yang menghidupkan budaya pemerkosaan (rape culture).

Nah, candaan soal kekerasan seksual seperti pemerkosaan dalam pembuka artikel ini merupakan bentuk paling ringan dari piramida rape culture. Nah, jika candaan soal pemerkosaan dianggap sebagai hal biasa, maka kita akan kena tulah peribahasa 'ala bisa karena biasa' dimana kita akan menganggap hal tersebut bukan sebagai ancaman.

Piramida Budaya Memerkosa atau Rape Culture.
Piramida Budaya Memerkosa atau Rape Culture.
Jika kita baru menyadari bahaya kekerasan seksual setelah mendengar kasus pemerkosaan, pedophilia hingga pemerkosaan sadis setelah dicekoki obat terlarang atau alkohol, maka kita sudah ada di level 'lambat' alias berkemungkinan gagal menyelamatkan hidup korban.

Sehingga, semua pihak memang harus bersama-sama bertanggung jawab mulai dari pencegahan, advokasi terhadap korban hingga mengawal hukuman bagi pelaku. Mengapa kita semua harus bertanggung jawab meski saat ini hidup di zona nyaman?

Karena kita semua berkemungkinan menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Sehingga, memerangi kekerasan seksual adalah kewajiban sebagaimana memerangi pembunuhan.

Setiap orang berhak atas rasa aman dari kejahatan dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan seksual. Oleh karena itu, negara wajib memberikan perlindungan hukum. Selama ini, kebijakan terkait kasus kekerasan seksual masih sangat lemah dan seringkali menjadikan korban sebagai tersangka, hingga membebaskan pelaku karena lemahnya alat bukti.

Alat ukurnya sederhana saja, yaitu meningkatnya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Korban kekerasan seksual adalah pihak yang lemah sehingga harus mendapatkan perlindungan hukum yang adil dari negara, dan pelaku harus diganjar sesuai perbuatannya. Setiap warga negara berhak atas rasa aman.

"Pantas aja dia diperkosa...." Sekali saja kata ini keluar dari mulut kita, maka kita merupakan pelaku budaya memerkosa.

Pembaca mau tahu alasannya?

Karena kita nggak berhak mengatakan siapapun pantas diperkosa sebagaimana kita nggak berhak mengatakan seseorang pantas dibunuh. Kalau diri kita sendiri atau keluarga kita nggak layak diperkosa, bagaimana mungkin kita mengatakan orang lain layak diperkosa?

NB: tulisan ini dimuat pertama kali di blog pribadi: www.wijatnikaika.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun