"Orang tua yang belum mendapat informasi mengenai perlindungan anak, Â mereka akan melihat anak sebagai beban ekonomi. Sehingga ketika dinikahkan, Â mereka akan melihat tanggung jawab ekonomi yang berkurang." -Owena Andra, Plan International Indonesia-
Suatu pagi, Ibu temanku bercerita bahwa malam sebelumnya ia menonton sebuah berita tentang anak lelaki berusia 13 tahun menikah dengan perempuan berusia 18 tahun. Sontak, aku dan temanku melongo mendengar itu. Sebagai generasi muda yang melek masalah sosial seperti ini, peristiwa itu merupakan satu dari sekian langkah mundur pembangunan bangsa.
Saat kami berusaha meng-counter dengan mengatakan bahwa pernikahan tersebut salah dalam konteks ekonomi, pendidikan dan sistem reproduksi, Ibu temanku mengatakan bahwa menikahkan anak remaja lebih baik daripada mereka pacaran dan melakukan dosa berzina. Beliau juga menambahkan bahwa zaman dulu pernikahan usia belasan tahun lazim terjadi dan semua baik-baik saja. Termasuk beliau adalah anak dari perempuan yang dinikahkan sebelum masa haid tiba.
Lagi-lagi aku dan temanku hanya bisa melongo, tak sanggup berdebat dengan beliau. Para ibu dan ayah yang berusia 60-70an tahun adalah generasi yang punya cara pandang berbeda dengan generasiku terkait relasi, pernikahan, rumah tangga, anak-anak dan ekonomi. Karena kami melihat perkara ini dari sudut pandang berbeda, aku dan temanku berusaha untuk tidak mendebat beliau. Para ayah dan ibu di generasi beliau memegang teguh nilai-nilai pada zamannya.
Masyarakat kita (dan mungkin dunia) TEROBSESI menjadikan 'pernikahan' sebagai 'sapu jagad' yang bisa mengobati segala macam persoalan dalam masyarakat. Sepasang remaja pacaran, dinikahkan. Orang tua nggak sanggup kasih makan, dinikahkan. Orang tua nggak sanggup sekolahkan anak, dinikahkan.
Anak bandel dan suka keluyuran, dinikahkan. Anak nggak lanjut kuliah, dinikahkan. Anak diperkosa, dinikahkan. Anak diinginkan pedofil, dinikahkan. Anak malas sekolah, dinikahkan. Anak malas belajar online, dinikahkan. Orang tua diPHK, anak dinikahkan. OH MY GOD!
Pagi tadi saat mencari informasi di Facebook, aku menemukan sebuah data mengejutkan tentang melonjaknya angka Perkawinan Usia Anak (PUA) selama pandemi Covid-19 (dari Maret-September 2020). Dalam catatan Pengadilan Agama terdapat 34.000 permohonan dispensasi menikah bagi anak-anak dibawah usia 19 tahun.
Meskipun UU No. 16/2019 sebagai Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa usia pernikahan minimal 19 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Pengadilan Agama mengabulkan 97% permohonan dispensasi menikah bagi anak dibawah umur.
Bagaimana bisa Pengadilan Agama sebagai lembaga negara melanggar UU yang dengan jelas mengatur batas minimal usia pernikahan baik bagi lelaki maupun perempuan sebagai bentuk perlindungan anak?
Berdasarkan temuan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan para orangtua memilih menikahkan anak-anak mereka, yaitu: kondisi ekonomi keluarga; takut anaknya hamil di luar nikah; minimnya pemahaman tentang dampak pernikahan usia anak; dorongan norma agama dan sosial di lingkungan tempat tinggal, dan minimnya aktivitas (selama pandemi).
Oke, pada masa pandemi begini semua orang dalam kesulitan ekonomi. Tapi, apakah menikahkan anak akan membantu kehidupan ekonomi si anak menjadi lebih baik dari orangtuanya? Jika menikahkan anak karena takut berzina sebab anak pacaran, lantas apa peran orangtua selama ini sampai nggak bisa mendidik, mengontrol, dan berdiskusi dengan anak sendiri terkait upaya mengendalikan hasrat seksual mereka?
Bahkan, jika menikahkan anak dijadikan obat mujarab untuk menghindari perzinahan, lantas mengapa nggak ada obat mujarab untuk menyembuhkan praktek perzinahan mereka yang sudah menikah? Mengapa para orangtua mudah menyerah, menghukumi halal-haram dan melemparkan tanggung jawab atas hidup anak mereka pada orang lain yang belum tentu mampu memberikan kehidupan yang baik pada anak-anaknya?
Menikah adalah hak setiap orang yang menginginkannya. Namun, perkawinan usia anak lain cerita. Jika menikah merupakan obat mujarab bagi setiap persoalan dalam dunia manusia, lantas mengapa bangsa kita begitu terbelakang dalam urusan kesehatan, ekonomi dan pendidikan?
Jika perkawinan bisa membuat seorang anak miskin otomatis kaya raya karena rezekinya melimpah, lantas mengapa masyarakat kita justru banyak tinggal di bantaran kali, lingkungan kumuh, susah makan dan bahkan jadi gelandangan? Tidakkah para orang tua mau menjadi 'orang tua' yang sejati yang tidak menjadikan anak-anaknya beban baik dalam konteks ekonomi dan moral?
Mengapa anak-anak itu dilahirkan jika kemudian dianggap beban yang menyusahkan? Mengapa anak-anak itu dibuat dengan percintaan yang hangat, romantis, penuh gairah dan harapan, jika kemudian mereka tak dijamin dari segala jenis ancaman termasuk perkawinan usia anak?
Praktek perkawinan anak selain melanggar hak-hak anak yang dilindungi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, juga rentan menimbulkan berbagai kerugian pada anak. Dalam Naskah Akademik Rancangan Perubahan UU Perkawinan, terdapat 4 hal besar hasil kajian dan penelitian atas dampak perkawinan anak di Indonesia, yaitu:
- Pelanggaran atas Hak Pendidikan: Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 28C ayat (1) di mana setiap orang berhak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika anak-anak melakukan perkawinan, maka mereka akan putus sekolah, khususnya perempuan yang mengalami kehamilan. Hidup mereka akan semakin sulit karena rendahnya pendidikan akan berpengaruh pada pekerjaan yang berupah rendah, dan mereka pun terjerat kemiskinan dan bisa menjadi korban perdagangan orang (human trafficking)
- Eksploitasi Anak: keluarga miskin cenderung memaksa anak untuk menikah saat usia sekolah dengan alasan mengurangi beban ekonomi keluarga. Padahal, hal ini justru menjerat si anak memasuki siklus baru kemiskinan keluarga dan lebih jauh terjerat dalam kekerasan dalam rumah tangga dan masalah lain.
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga: kekerasan dalam rumah tangga banyak dialami anak-anak yang menjalani praktek perkawinan anak, khususnya perempuan. KDRT yang dimaksud mulai dari kekerasan verbal, fisik, ekonomi dan seksual. Tingginya jumlah pekerja migran perempuan karena masalah ekonomi keluarga menunjukkan bahwa perkawinan anak membuat anak memasuki siklus ekonomi rentan. Padahal, dengan menjadi pekerja migran mereka bisa menjadi korban perdagangan orang dengan modus memberi pekerjaan, termasuk dijual untuk industri seks.
- Terganggunya Keadaan Kesehatan Perempuan: praktek perkawinan anak membawa konsekuensi kesehatan pada tubuh anak, khususnya perempuan. Kurangnya pemahaman soal sistem reproduksi dan seksualitas tak jarang membuat pasangan kawin anak terjerat masalah kesehatan, seperti komplikasi kehamilan dan kesehatan mental sang perempuan, hingga kematian ibu dan bayi.
Karena praktek perkawinan anak ini sesungguhnya melanggar hak-hak anak yang dilindungi hukum nasional dan internasional, maka upaya pencegahan pun dilakukan dengan berlapis. Di level nasional misalnya kita telah menyaksikan sendiri bagaimana upaya banyak pihak akhirnya berhasil membuat DPR RI merevisi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menjadi UU Perkawinan No. 16 tahun 2019. Revisi kebijakan ini tidak hanya menyoal batasan usia perkawinan lho, melainkan ada sejumlah hal lain, yaitu:
- Usia perkawinan: dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, batas usia perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi lelaki. Maka pada UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 diubah menjadi batas usia perkawinan bagi perempuan dan lelaki adalah 19 tahun. Perubahan ini didasarkan atas pengaduan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi.
- Syarat sahnya perkawinan: hal ini berkaitan dengan syarat sahnya perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan dengan beda agama, serta penganut kepercayaan.
- Anak anak diluar kawin: hal ini berkaitan dengan status anak yang lahir diluar pernikahan, bayi tabung hingga sewa rahim (surrogate mother).
- Status kepala keluarga: jika selama ini status kepala keluarga merupakan lelaki, maka berbagai pihak mengajukan keberatan, sebab di lapangan justru banyak perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
- Poligami: UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah dan diakui negara merupakan monogami, meski memperbolehkan praktek poligami. Hal ini menjadikan kebijakan ini bias, sebab di lapangan banyak lelaki yang menekan istrinya untuk menyetujui poligami yang dilakukannya melalui pengadilan.
Perkawinan Usia Anak (PUA) sangat berbeda dengan pernikahan dini sebagaimana yang selama ini salah dipahami banyak orang. PUA merupakan praktik pernikahan anak dibawah usia minimal yang ditetapkan Undang-Undang. Di Indonesia, batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun berbasis pada UU No. 16/2019 sebagai Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kita nggak mungkin berdiam diri dan menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga lain atas anak-anak mereka adalah urusan privat keluarga itu. Sebab, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keputusan yang diambil sebuah keluarga bisa berdampak pada kehidupan sebuah bangsa secara umum.
Perkawinan Usia Anak bagaimanapun juga akan menggiring bangsa kita pada masalah lain seperti soal kesehatan ibu dan anak; stunting dan kekurangan gizi; rendahnya sumber daya manusia. Nah, jika masyarakat kita kualitas SDMnya rendah, jangan harap bisa bersaing di pasar bebas tenaga kerja.
Yang ada, bangsa kita akan selalu dikenal sebagai bangsa babu, sebab tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri melulu untuk pekerjaan-pekerjaan berkualitas rendah. Mau selamanya disebut bangsa babu?
SANITA BERHASIL MELAWAN PERKAWINAN USIA ANAK
Percayalah, praktek Perkawinan Usia Anak bisa dilawan. Bukan hanya oleh orangtua, tokoh masyarakat setempat atau lembaga pendamping anak. Perkawinan usia anak bahkan bisa dilawan oleh si anak sendiri.
Banyak anak-anak muda Indonesia yang saat ini mungkin sedang menikmati masa-masa belajar dan berkarir adalah mereka yang bertahun-tahun sebelumnya berjuang keras melawan kehendak orang tua untuk menikahkan mereka di usia belasan tahun. Salah satunya perempuan muda bernama Sanita, yang perjuangan kerasnya menolak dinikahkan membuahkan hasil.
Saat berusia belasan tahun, Sanita hendak dinikahkah oleh kedua orang tuanya karena kondisi ekonomi. Bukan hanya sekali lho. Sanita nyaris dijebak takdir dengan dua tawaran pernikahan di usia anak.
Sanita juga pernah bekerja di Plan International Indonesia lho, yaitu sebuah NGO yang berfokus pada upaya memperjuangkan dunia yang adil & mengedepankan hak anak dan kesetaraan anak perempuan.
Saat ini, Sanita bekerja di sebuah lembaga yang berfokus melakukan advokasi kebijakan pembangunan. Sanita juga berencana melanjutkan pendidikannya ke level yang lebih tinggi.
Jika Sanita bisa melawan perkawinan usia anak, maka anak-anak lain dengan kondisi keluarga serupa pasti bisa!
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi: www.wijatnikaika.idÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H