Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkawinan Usia Anak Melonjak Selama Pandemi, Mengapa Bisa?

24 September 2020   10:40 Diperbarui: 24 September 2020   17:55 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan, jika menikahkan anak dijadikan obat mujarab untuk menghindari perzinahan, lantas mengapa nggak ada obat mujarab untuk menyembuhkan praktek perzinahan mereka yang sudah menikah? Mengapa para orangtua mudah menyerah, menghukumi halal-haram dan melemparkan tanggung jawab atas hidup anak mereka pada orang lain yang belum tentu mampu memberikan kehidupan yang baik pada anak-anaknya?

Menikah adalah hak setiap orang yang menginginkannya. Namun, perkawinan usia anak lain cerita. Jika menikah merupakan obat mujarab bagi setiap persoalan dalam dunia manusia, lantas mengapa bangsa kita begitu terbelakang dalam urusan kesehatan, ekonomi dan pendidikan?

Jika perkawinan bisa membuat seorang anak miskin otomatis kaya raya karena rezekinya melimpah, lantas mengapa masyarakat kita justru banyak tinggal di bantaran kali, lingkungan kumuh, susah makan dan bahkan jadi gelandangan? Tidakkah para orang tua mau menjadi 'orang tua' yang sejati yang tidak menjadikan anak-anaknya beban baik dalam konteks ekonomi dan moral?

Mengapa anak-anak itu dilahirkan jika kemudian dianggap beban yang menyusahkan? Mengapa anak-anak itu dibuat dengan percintaan yang hangat, romantis, penuh gairah dan harapan, jika kemudian mereka tak dijamin dari segala jenis ancaman termasuk perkawinan usia anak?

Praktek perkawinan anak selain melanggar hak-hak anak yang dilindungi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, juga rentan menimbulkan berbagai kerugian pada anak. Dalam Naskah Akademik Rancangan Perubahan UU Perkawinan, terdapat 4 hal besar hasil kajian dan penelitian atas dampak perkawinan anak di Indonesia, yaitu:

  1. Pelanggaran atas Hak Pendidikan: Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 28C ayat (1) di mana setiap orang berhak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika anak-anak melakukan perkawinan, maka mereka akan putus sekolah, khususnya perempuan yang mengalami kehamilan. Hidup mereka akan semakin sulit karena rendahnya pendidikan akan berpengaruh pada pekerjaan yang berupah rendah, dan mereka pun terjerat kemiskinan dan bisa menjadi korban perdagangan orang (human trafficking)
  2. Eksploitasi Anak: keluarga miskin cenderung memaksa anak untuk menikah saat usia sekolah dengan alasan mengurangi beban ekonomi keluarga. Padahal, hal ini justru menjerat si anak memasuki siklus baru kemiskinan keluarga dan lebih jauh terjerat dalam kekerasan dalam rumah tangga dan masalah lain.
  3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: kekerasan dalam rumah tangga banyak dialami anak-anak yang menjalani praktek perkawinan anak, khususnya perempuan. KDRT yang dimaksud mulai dari kekerasan verbal, fisik, ekonomi dan seksual. Tingginya jumlah pekerja migran perempuan karena masalah ekonomi keluarga menunjukkan bahwa perkawinan anak membuat anak memasuki siklus ekonomi rentan. Padahal, dengan menjadi pekerja migran mereka bisa menjadi korban perdagangan orang dengan modus memberi pekerjaan, termasuk dijual untuk industri seks.
  4. Terganggunya Keadaan Kesehatan Perempuan: praktek perkawinan anak membawa konsekuensi kesehatan pada tubuh anak, khususnya perempuan. Kurangnya pemahaman soal sistem reproduksi dan seksualitas tak jarang membuat pasangan kawin anak terjerat masalah kesehatan, seperti komplikasi kehamilan dan kesehatan mental sang perempuan, hingga kematian ibu dan bayi.

Karena praktek perkawinan anak ini sesungguhnya melanggar hak-hak anak yang dilindungi hukum nasional dan internasional, maka upaya pencegahan pun dilakukan dengan berlapis. Di level nasional misalnya kita telah menyaksikan sendiri bagaimana upaya banyak pihak akhirnya berhasil membuat DPR RI merevisi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menjadi UU Perkawinan No. 16 tahun 2019. Revisi kebijakan ini tidak hanya menyoal batasan usia perkawinan lho, melainkan ada sejumlah hal lain, yaitu:

  1. Usia perkawinan: dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, batas usia perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi lelaki. Maka pada UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 diubah menjadi batas usia perkawinan bagi perempuan dan lelaki adalah 19 tahun. Perubahan ini didasarkan atas pengaduan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi.
  2. Syarat sahnya perkawinan: hal ini berkaitan dengan syarat sahnya perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan dengan beda agama, serta penganut kepercayaan.
  3. Anak anak diluar kawin: hal ini berkaitan dengan status anak yang lahir diluar pernikahan, bayi tabung hingga sewa rahim (surrogate mother).
  4. Status kepala keluarga: jika selama ini status kepala keluarga merupakan lelaki, maka berbagai pihak mengajukan keberatan, sebab di lapangan justru banyak perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
  5. Poligami: UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah dan diakui negara merupakan monogami, meski memperbolehkan praktek poligami. Hal ini menjadikan kebijakan ini bias, sebab di lapangan banyak lelaki yang menekan istrinya untuk menyetujui poligami yang dilakukannya melalui pengadilan.

Perkawinan Usia Anak (PUA) sangat berbeda dengan pernikahan dini sebagaimana yang selama ini salah dipahami banyak orang. PUA merupakan praktik pernikahan anak dibawah usia minimal yang ditetapkan Undang-Undang. Di Indonesia, batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun berbasis pada UU No. 16/2019 sebagai Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Jika selama pandemi, justru Pengadilan Agama sebagai lembaga negara mengabulkan dispensasi usia agar anak-anak dibawah umur bisa menikah, maka kita ada dalam kondisi lembaga negara melanggar produk kebijakan buatan lembaga negara yang lain yaitu DPR RI. Bagaimana sebaiknya kita fenomena menyikapi ini?

Kita nggak mungkin berdiam diri dan menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga lain atas anak-anak mereka adalah urusan privat keluarga itu. Sebab, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keputusan yang diambil sebuah keluarga bisa berdampak pada kehidupan sebuah bangsa secara umum.

Perkawinan Usia Anak bagaimanapun juga akan menggiring bangsa kita pada masalah lain seperti soal kesehatan ibu dan anak; stunting dan kekurangan gizi; rendahnya sumber daya manusia. Nah, jika masyarakat kita kualitas SDMnya rendah, jangan harap bisa bersaing di pasar bebas tenaga kerja.

Yang ada, bangsa kita akan selalu dikenal sebagai bangsa babu, sebab tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri melulu untuk pekerjaan-pekerjaan berkualitas rendah. Mau selamanya disebut bangsa babu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun