"Let's imagine a day without sexual violence"Â -Unknown-
Bulan Februari 2019 lalu kita dikejutkan oleh sebuah berita dari Pringsewu, Lampung. Seorang ayah bersama dua anak lelakinya berkomplot memerkosa satu-satunya anggota keluarga perempuan mereka, alias anak kandungnya sendiri.Â
Perkosaan kepada gadis berusia 18 tahun tersebut terjadi selama bertahun-tahun dan sebanyak lebih dari 120 kali.Â
Pada awal Juli 2019 kita kembali dikejutkan oleh berita dari Garut, Jawa Barat di mana seorang ayah memerkosa anak perempuannya sendiri sejak 2015. Saat itu sang anak perempuan masih berusia 12 tahun.Â
Bahkan, pada 2017 si anak hamil dam melahirkan anak hasil dari perkosaan tersebut. Kepada polisi, pelaku mengaku khilaf dan berniat bertanggung jawab dengan menikahi anaknya sekaligus korban pemerkosaan tersebut.Â
Kita mungkin bertanya demikian: kok bisa sih pemerkosaan terjadi di dalam rumah dan dilakukan anggota keluarga sendiri? Bukankah seharusnya rumah menjadi tempat yang paling aman bagi seorang manusia, terlebih perempuan?Â
Ternyata berdasarkan keterangan para pelaku menyebutkan bahwa mereka mengancam korban yang notebene lebih muda, lebih lemah dan tidak memiliki kekuatan finansial untuk melarikan diri.Â
Selain itu, kurangnya kontrol sosial menyebabkan orang enggan mencampuri masalah rumah tangga orang lain karena merupakan privasi.Â
Jadi, kejahatan berupa kekerasan seksual dalam keluarga ini terjadi karena adanya kesempatan bagi pelaku melancarkan kejahatannya dan ketidakberdayaan korban untuk membela dirinya sendiri.Â
Kedua kasus pemerkosaan tersebut kemudian di sanksi oleh pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun.Â