Sejak September 2023 Pemerintah Indonesia menerapkan perdagangan karbon untuk mengatasi masalah emisi karbon. Artikel ini berusaha membedah apakah perdagangan karbon dapat menghasilkan perubahan struktural untuk mengatasi masalah perubahan iklim, ataukah tidak.
Perdagangan Karbon Menguntungkan Pihak yang Berdagang
Memang benar bahwa perdagangan karbon, baik yang dilakukan dalam satu negara maupun yang dilakukan antar negara seperti carbon offset, menguntungkan pihak-pihak yang berdagang, seperti yang terjadi antara Fiat Chrysler dan Tesla (CNBC, 3/3/2021). Tetapi, apakah perdagangan karbon benar-benar mampu mengurangi emisi karbon kedua pihak yang berdagang?
Untuk menghindari denda, Fiat Chrysler 'terpaksa' membeli sertifikat hak pembuangan limbah karbon dari Tesla. Denda akan dikenakan kepada Fiat Chrysler karena Fiat Chrysler tidak mampu memproduksi kendaraan yang menghasilkan emisi karbon di bawah standar yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Sementara Tesla karena memproduksi kendaraan yang 'tidak' menghasilkan emisi karbon, maka Tesla memiliki sertifikat hak pembuangan limbah karbon yang dapat mereka jual.
Secara logika bisnis, Fiat Chrysler tentunya akan membeli sertifikat hak membuang limbah karbon dari Tesla dengan harga (jauh) di bawah denda yang ditanggung Fiat Chrysler. Fiat Chrsyler memperoleh 'keuntungan', karena dapat 'pura-pura' menurunkan emisi karbonnya dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan denda yang harus mereka bayarkan, dan tentunya jauh lebih rendah di bawah investasi yang harus mereka keluarkan untuk mengganti teknologinya menjadi lebih ramah lingkungan.
Tesla juga memperoleh keuntungan dari pendapatan mereka menjual sertifikat hak membuang limbah karbon. Jadi, baik Fiat Chrysler maupun Tesla keduanya diuntungkan dalam perdagangan karbon.
Masalah 'Baru' Perdagangan Karbon
Jika keduanya diuntungkan dari perdagangan karbon, lalu apa masalahnya? Dapatkah perdagangan karbon mereduksi emisi karbon? Secara logika berpikir jangka panjang, jawabannya 'ya'. Ketika harga jual sertifikat hak membuang limbah karbon lebih mahal dibanding dengan mengganti teknologi yang lebih ramah lingkungan, maka Fiat Chrysler pasti lebih memilih mengganti teknologi dibanding membeli sertifikat hak membuang limbah karbon.
Bagaimana mungkin harga sertifikat hak membuang limbah karbon akan meningkat harganya? Ada dua kemungkinan. Pertama, jika lebih banyak permintaan dari pembeli sertifikat hak membuang limbah karbon dibandingkan dengan penawaran dari penjual sertifikat, tanpa perlu ada campur tangan pemerintah. Kapan hal ini terjadi? Wallahu a'lam bishawab. Â
Kedua, jika Pemerintah ikut 'bermain' dalam perdagangan karbon. Pemerintah membeli sertifikat hak membuang limbah yang ada di pasar karbon. Tujuannya agar permintaan sertifikat menjadi lebih besar dibanding dengan penawaran. Masalahnya maukah Pemerintah Indonesia mengalokasikan APBN-nya untuk membeli sertifikat hak membuang limbah karbon?
Jika kedua hal tersebut di atas belum atau tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah emisi karbon akan makin meningkat. Logikanya? Fiat Chrysler akan tetap membeli sertifikat hak membuang limbah karbon dengan biaya yang lebih murah dibanding pesaing yang mengembangkan teknologi ramah lingkungan. Akibatnya permintaan mobil Fiat Chrysler akan meningkat, dan emisi karbonnya pun akan meningkat pula. Logika yang sama terjadi pada LCGC di Indonesia. Harga mobil LCGC yang murah mengakibatkan jumlah mobil meningkat. Emisi karbon yang dihasilkan dari meningkatnya jumlah mobil LCGC, tidak seimbang dengan 'reduksi' karbon per satu mobil LCGC.
Artinya perdagangan karbon justru akan meningkatkan emisi karbon.
Perdagangan Karbon dan Etika Lingkungan
Perdagangan karbon memunculkan masalah etika lingkungan. Limbah karbon yang sejatinya buruk bagi lingkungan dan kehidupan, justru melalui perdagangan karbon berubah menjadi hak. Dasar perdagangan karbon adalah bahwa membuang limbah karbon adalah hak. Menghalangi pebisnis untuk membuang limbah karbon sama saja dengan melanggar hak. Hak membuang limbah karbon ini yang kemudian disertikatkan dan sertifikat hak membuang limbah karbon inilah yang diperjualbelikan.
Perdagangan karbon berupa carbon offset yang pernah diperkenalkan Pemerintah Indonesia jaman SBY juga sama saja masalahnya dengan contoh Fiat Chrysler dan Tesla. Jaman SBY, Pemerintah Norwegia membeli jasa karbon hutan Indonesia. Harga yang dibayarkan sudah barang tentu lebih murah dibandingkan Pemerintah Norwegia menurunkan emisi karbonnya sendiri.
Hutan di Indonesia yang sudah dibeli jasa karbonnya, tentunya harus dijaga kelestariannya. Bagi pendukung perdagangan karbon, mereka berpendapat bahwa perdagangan karbon seperti ini menghasilkan dua manfaat: hutan Indonesia lestari dan sekaligus juga menghasilkan dana. Masalah etisnya adalah negara yang membeli jasa karbon sudah merusak hutan dan lingkungan hidupnya sendiri, sementara untuk 'memperbaikinya' negara pembeli jasa karbon 'melarang' negara pemilik hutan untuk memanfaatkan hutannya dan hanya memberikan kompensasi dengan harga yang murah. Belum lagi masalah etis yang muncul terkait dengan masyarakat miskin di Indonesia yang hidupnya tergantung pada hutan. Setelah jasa karbon hutan dibeli, masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan tersebut akan dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan, karena dikhawatirkan akan merusak hutan tersebut.
Sebagai penutup, kita tunggu langkah konkrit Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi masalah tersebut di atas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI