Aku merasa ceritaku tentang ibu selalu terasa kontroversial. Mungkin penyebabnya adalah karena aku dibesarkan oleh dua atau lebih ibu. Ada ibu yang melahirkanku dan ada tanteku yang merawat aku sejak TK sampai Kelas 5 SD.
Orang tuaku waktu aku akan masuk sekolah tinggal di kampung. Karena cita-cita ibu kandungku yang tinggi, aku dititipkan ke tanteku untuk tinggal di kota dan bersekolah di sana. Aku yakin pasti ibuku merasa berat menitipkan aku, tetapi karena cita-citanya yang tinggi untuk aku, akhirnya dia rela menitipkan aku ke tanteku.
Menurutku masa umur 5 sampai 11 tahunan merupakan masa yang sangat krusial dalam membentuk figur ideal yang dapat dijadikan hero atau panutan. Pada masa-masa itu, dan juga terbawa sampai sekarang, tidaklah penting bagiku seorang ibu itu merupakan ibu kandung atau bukan. Di renungan yang lain aku tuliskan bahwa aku merasakan kerahiman justru dari tanteku ini. Mungkin aku terasa mendramatisir, tetapi aku meyakini bahwa aku diterima apa adanya dan tanpa syarat justru oleh tanteku.
Sampai-sampai saat ini saat menyelesaikan masalah dalam rumah tanggaku, aku lebih memilih cara omku dan tanteku menyelesaikan masalah di antara mereka. Om dan tante yang kumaksud adalah kakak dan adik saudara kandung ayahku. Persisnya mereka berdua adalah adik-adik ayahku, yang aku ikuti sedari pertama kali sekolah sampai Kelas 5 SD.
Pengalaman seperti itulah yang kemudian membuatku memutuskan untuk meminta istriku berhenti bekerja dan full time mengurus anak kami satu-satunya. Aku ingin idola atau panutan bagi anakku adalah ibunya sendiri, bukan tantenya atau neneknya atau pengasuhnya. Aku tidak mau anak kami dititip-titipkan. Baik atau buruk anakku kelak itu adalah hasil didikan kami.
Apakah aku menyesal dengan pengalamanku ini? Tentu tidak. Aku justru merasa beruntung memiliki 'banyak' ibu. Pengalamanku lah yang dapat membentukku sampai saat ini.
Tetapi mungkin itu tidak terjadi pada orang selain aku, termasuk kemungkinannya untuk anakku. Bisa saja orang memiliki pengalaman atau memori buruk saat dia tinggal dengan ibunya atau apalagi dengan orang lain tempat dia dititipkan.
Belajar dari Maria dan Elisabet
Bacaan Injil Minggu 22 Desember 2024 diambil dari Lukas 1:39-45. Dari Bacaan Injil, aku belajar tentang keteladanan Maria dan Elisabet.
Elisabet adalah istri Nabi Zakaria. Dalam sejarahnya Elisabet termasuk wanita yang 'terkena aib' (frasa ini kontekstual pada jamannya, yang mungkin tidak kontekstual di jaman sekarang dengan feminisme dan keyakinan pada childfree) karena sampai usia lanjut Elisabet belum memiliki anak sampai kemudian Elisabet dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Yohanes Pembaptis.
Maria juga sama saja, termasuk wanita yang 'terkena aib' karena Maria mengandung Yesus saat Maria masih bertunangan dengan Yusuf (Matius 1:18). Maria adalah teladan iman bagiku. Meskipun Maria tahu bahwa adalah aib mengandung saat masih bertunangan, namun Maria taat kepada Allah. 'Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu' (Lukas 1:38). Itulah respon Maria saat diberitahu oleh malaikat Gabriel tentang rencana Allah ini.
Belajar dari Para Ibu
Aku yakin ada banyak cerita, pengalaman dan pembelajaran yang dapat kita peroleh dari para ibu kita. Bacaan tentang Maria dan Elisabet mengingatkanku tentang para ibuku.
Dari Elisabet aku belajar bahwa Allah bisa berkarya termasuk di masa yang secara nalar tidak mungkin. Elisabet tetap percaya pada Allah meskipun dia sudah tua dan secara nalar tidak mungkin memiliki anak. Allah ternyata berkarya memberikan dia anak di masa tuanya.
Doa dan percaya kepada karya Tuhan untuk diriku adalah pelajaran yang aku dapatkan. Di saat yang menurutku tidaklah mungkin, seharusnya aku tetap percaya kepada Allah dan tetap dalam doa. Satu ayat dalam Bacaan Injil yang dapat mewakili pembelajaranku adalah 'Berbahagialah ia yang percaya, sebab Firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana' (Lukas 1: 45).
Dari Maria aku belajar iman dan ketaatan kepada Allah. Karena imannya kepada Allah, Maria mau menerima 'aib' mengandung sebelum menikah, dan bahkan mau mengatakan 'jadilah padaku menurut kehendakMu'.
Lalu, darimana aku tahu itu kehendak Allah untuk aku? Menurut aku pribadi suara hatiku bisa menjadi penanda.
Mungkin bisa dianalogikan dengan pendapat salah satu Romo yang kukagumi, almarhum Romo J. Adi Wardaya SJ, saat aku dan teman-temanku di Sastra Inggris UGM tahun 1982-an berdebat tentang bagaimana kita tahu bahwa itu adalah panggilan Tuhan untuk kita ataukah bukan.
Romo Adi menjawab dengan sangat memuaskanku dan menghentikan perdebatan, saat beliau mengatakan bahwa saat itu panggilan beliau adalah sebagai Romo. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak tahu apakah lima menit lagi, setengah jam lagi atau sehari, sebulan berikutnya panggilan beliau masih menjadi Romo ataukah tidak.
Kehendak Allah aku analogikan dengan panggilan. Menurutku pribadi, kehendak Allah atau panggilan ditandai dengan kebahagiaan yang kurasakan saat menjalankannya. Meskipun pandanganku ini bisa diperdebatkan kebenarannya.
Sampai saat ini aku yakin dengan apa yang aku lakukan, selama aku merasa ada suka cita saat melakukannya. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang meskipun mendatangkan keuntungan bagiku, tetapi aku tidak dengan suka cita menjalankannya. Suka cita dan suara hati bagiku selalu berjalan beriringan.
Dari ibu kandungku aku belajar bahwa kewajiban dia tidak selesai begitu saja dengan melahirkanku. Ibuku merasa ada kewajiban yang lain yaitu merelakan aku untuk menggapai cita-cita yang tinggi, meskipun itu membuat dirinya menderita.
Dari tanteku, selain aku belajar tentang kerahiman, juga aku belajar kesediaan dia dengan rela dan penuh cinta merawat aku dan mengajariku berbagai macam hal yang membuatku dapat melakukan banyak hal sendiri.
Selamat hari Ibu. Yakinlah bahwa karya dan hidup seorang ibu sangat bermakna bukan hanya untuk dirinya dan anak-anaknya, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Para ibu dipenuhi oleh Roh Kudus dan dipanggil untuk bersaksi dalam perannya sebagai ibu. Selamat Hari Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H