Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anda Menerima E-Mail dari Gojek: Mengubah Lanskap Penelitian Sosial

21 Desember 2024   13:09 Diperbarui: 21 Desember 2024   13:12 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tanggal 20 Desember 2024 saya menerima e-mail dari Gojek. Isinya tentang siapa saya sepanjang tahun 2024 versi Gojek. Apakah saya termasuk si paling royal, bolang, mewah, baik hatinya, paling berbagi, atau si paling hemat. E-mail Gojek ini berisikan jumpa pertama saya dengan Gojek sampai warna-warni keseharian saya bersama Gojek.

Saya semula tidak ingat, bahwa pertama kali saya menggunakan Gojek adalah pada tahun 2019. Maklum, sebelumnya saya menggunakan HP jadul, sehingga jika saya ingin menggunakan jasa Gojek, saya meminta bantuan istri saya untuk memesankannya dari Semarang, termasuk untuk kebutuhan jasa transportasi saya di luar kota Semarang. Sampai dengan awal tahun 2019 masih dimungkinkan istri saya memesan Gojek dari Semarang untuk keperluan transportasi lokal saya di luar kota Semarang. Jika tidak diingatkan oleh Gojek melalui e-mail-nya, saya tidak ingat persis bahwa setelah itu saya berganti HP menjadi lebih canggih dan memesan jasa Gojek sendiri pada tahun 2019.

Dalam e-mail-nya disebutkan berapa kali saya menggunakan jasa GoRide dan GoCar di kota mana saja serta jarak tempuhnya, berapa kali saya membeli makanan menggunakan jasa GoFood dan juga resto favorit saya, pada bulan apa saya paling banyak menggunakan jasa Gojek, berapa kali saya memberikan tip ke pengemudi, dan berapa rupiah saya berhemat karena menggunakan promo Gojek.

Aplikasi dan Kecerdasan Buatan

Aplikasi seperti GoJek memungkinkan pebisnis untuk memperoleh data secara presisi dan detil tentang profil seseorang, seperti profil saya saat menggunakan Gojek. Karena Gojek memiliki data kebiasaan makan saya melalui pesanan makanan melalui GoFood, Gojek bahkan dapat menawarkan restoran terdekat yang menjual makanan tersebut saat saya ada di kota lain.

Gojek juga tahu persis pengemudi mana yang memiliki kinerja yang baik yang selalu memperoleh lima bintang, dan juga penumpang mana yang selalu memberikan penilaian jelek. Data-data seperti ini dapat digunakan untuk berbagai keputusan manajerial, seperti pembinaan kepada pengemudi yang buruk kinerjanya dan juga untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari pengguna jasa yang memberikan nilai buruk.

Barangkali yang paling lengkap memiliki profil pribadi kita adalah Google. Google tahu persis hobby kita, bacaan yang kita sukai, tempat yang kita minati, dan lain-lain dari kata kunci yang kita gunakan saat kita mencari sesuatu di Google dan situs yang kita kunjungi. Yang paling fenomenal adalah penggunaan data Facebook pada pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 (Bofa, Budi dan Sudirman, 2022), tanpa sepengetahuan pemilik akun Facebook. Data yang digunakan tersebut meliputi nama, jenis kelamin, umur, lokasi, status updates, kesukaan, pertemanan, dan bahkan informasi pribadi yang kemudian diubah menjadi data perilaku. Data tersebut digunakan Donald Trump untuk kampanye digital-nya di tahun 2016.

Di Filipina aplikasi sejenis menjadi salah satu sumber data yang digunakan untuk memprediksi penyebaran penyakit campak (Montalan, dkk., 2019). Penyebaran satu penyakit menular tertentu dapat diprediksi melalui data mobilitas penduduk yang menggunakan transportasi umum. Tentunya transportasi umum tersebut menggunakan cara menempelkan kartu elektronik saat masuk dan keluar halte. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan kecerdasan buatan.

Di Jakarta dan kota lain yang transportasi umumnya menggunakan sistem tapping kartu elektronik, penutupan dan pembukaan rute baru dimungkinkan dilakukan secara lebih akurat dengan melihat kebiasaan pengguna jasa masuk dan keluar halte. Yang paling baru adalah keputusan untuk menutup jasa Transjakarta Koridor 1 dan 2 karena bersinggungan dengan jalur MRT (Kompas.com, 20/12/2024). Keputusan ini akan akurat jika dilakukan analisis terhadap data pengguna koridor tersebut, termasuk keputusan tentang kapasitas MRT di jalur tersebut pada satu waktu tertentu setelah penutupan kedua koridor.

Aplikasi Shopee juga memungkinkan melihat dampak promosi yang dilakukan secara lebih akurat. Berapa pengguna baru yang mengunduh aplikasi Shopee saat promosi dilakukan, produk apa dan siapa yang membeli produk saat promosi dilakukan, adalah beberapa informasi yang dapat diperoleh dari data-data Shopee yang diolah dengan menggunakan kecerdasan buatan.

Peran kecerdasan buatan menjadi semakin nyata saat data-data yang diperoleh dari penggunaan aplikasi dianalisis untuk pengambilan keputusan. Melihat 'bahaya' eksploitasi data seperti ini yang dianalisis dengan kecerdasan buatan, Pemerintah Singapura didorong untuk mengembangkan platform jasa keuangan untuk mengimbangi platform yang dibuat oleh pebisnis swasta (Woods, Bunnell dan Kong, 2023).

Di Indonesia, ironisnya, pemerintah justru mendorong dan melegalkan penggabungan Tiktok Shop, Gojek dan Tokopedia. Jika data dari ketiga aplikasi digabungkan dan dianalisis dengan kecerdasan buatan, bukankah semua data profil warga masyarakat ada di tangan mereka dan dapat digunakan untuk berbagai hal, baik keputusan bisnis dan manajerial maupun untuk kepentingan politik seperti yang dilakukan oleh Trump tahun 2016.

Lanskap Penelitian Sosial yang Berubah

Dengan big data yang bersumber dari aplikasi seperti Gojek, Tiktok, atau Shopee, ditambah dengan penggunaan kecerdasan buatan, maka banyak penelitian sosial terkait dengan persepsi menjadi tidak lagi diperlukan.

Penelitian seperti pengaruh kualitas layanan jasa terhadap kepuasan konsumen sudah digantikan oleh berapa bintang yang kita berikan kepada pengemudi ojol. Bahkan jika penelitian persepsional tidak merujuk nama dan kejadiannya, aplikasi ojol dan kecerdasan buatannya bisa merujuk nama pengemudi ojol, penumpangnya dan kapan terjadiannya. Demikian pula penelitian tentang pengaruh iklan Shopee terhadap jumlah unduhan aplikasi Shopee, juga sudah tidak diperlukan lagi dengan argumen yang sama.

Banyak penelitian kuantitatif tentang persepsi sudah digantikan dengan lebih akurat oleh kombinasi big data dan kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh pemilik aplikasi. Ke depannya justru perlu diantisipasi pengembangan penelitian kualitatif tentang mengapa dan bagaimana tindak lanjut dari hasil penelitian kombinasi big data dan kecerdasan buatan. Misalnya, mengapa Harbolnas yang diselenggarakan tanggal 12 Desember lalu sukses atau gagal, dan bagaimana tindak lanjut untuk pengemudi ojek online yang cenderung terus mendapatkan bintang kurang dari tiga.

Lanskap penelitian sosial yang bersifat kuantitatif sudah ditinggalkan akibat data aplikasi yang diolah dengan menggunakan kecerdasan buatan. Kini saatnya kita semua lebih fokus mengembangkan penelitian sosial yang bersifat kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun