Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perlu Malukah Kita Mengajak Anggota Keluarga Difabel ke Tempat Ibadah?

2 Desember 2024   05:23 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya selalu terharu jika bertemu anak-anak cacat ganda dari Panti Asuhan Cacat Ganda Bhakti Asih di gereja. Tampaknya mereka ke gereja sebulan sekali ditemani perawatnya. Biasanya ada empat anak yang ditemani oleh empat atau lima perawatnya.

Ada dua hal yang mengharukan saya. Pertama, tidak semua perawat beragama Katolik. Hal itu terlihat dari ada satu atau dua perawat yang tidak menerima komuni dan juga melakukan tanda salib. Menjadi perawat anak cacat ganda saja sudah bukan saja membuat saya terharu, tetapi juga salut atas kesediaan mereka menjalani profesi tersebut. Apalagi bagi perawat yang tidak beragama Katolik, mereka bersedia mengantar anak yang diasuhnya untuk beribadah.

Hal kedua yang mengharukan saya adalah saat anak cacat ganda tersebut diberkati. Tiga dari mereka menggunakan kursi roda khusus, sehingga lebih praktis jika Romo yang datang menghampiri mereka dan memberikan berkat. Mereka tidak mungkin ikut antri maju ke depan untuk menerima berkat. Saya terharu khususnya saat ada Romo yang memberkati mereka dengan riang, senang dan sepenuh hati.  

Tentu bagi sang perawat, tidak ada rasa malu atau sungkan saat mereka menemani anak asuhnya. Tetapi, saya bertanya-tanya bagaimana jika yang membawa mereka ke gereja adalah orang tua mereka sendiri. Malukah si orang tua?

Cucu yang Autis

Pertanyaan tentang perasaan malu orang tua atau saudara atau anak yang mengajak anggota keluarganya yang 'berbeda' muncul saat saya melihat sepasang kakek dan nenek yang mengajak tiga cucunya. Salah satunya, sepintas mendengar penjelasan sang nenek, menderita autis.

Sang cucu hanya bisa diam beberapa saat saja. Saat yang lain si cucu berteriak keras atau memukul kursi atau barang yang ada di depannya. Mereka duduk di deretan kursi yang khusus untuk orang tua, orang sakit atau difabel. Di sebelah sang cucu yang autis, duduk seorang nenek. Nenek ini sebenarnya tampaknya tidak terganggu, apalagi setelah nenek dari si cucu menjelaskan keadaan sang cucu kepadanya.

Si nenek yang membawa cucu tampak mulai tidak nyaman setelah nenek yang duduk di sebelah sang cucu (hehehe terlalu banyak nenek ya) diminta oleh menantunya yang duduk persis di belakangnya untuk pindah ke tempat duduk sang menantu. Saya hanya mengira-ira saja, bahwa dia adalah menantunya karena wajah si nenek tidak mirip dengan si menantu, tetapi lebih mirip dengan istrinya.

Nenek yang membawa cucu autis terlihat dari waktu ke waktu makin tidak nyaman, dan dia menjelaskan baik ke samping kanannya dan ke belakang bahwa cucunya autis. Dia tampak berkali-kali meminta maaf karena perilaku cucunya. Sampai-sampai saya yang duduk di dua baris di belakangnya bisa mendengar, bahwa ini kali pertama dia mengajak sang cucu ke gereja.

Mendengar penjelasan yang terakhir, saya jadi khawatir jangan-jangan karena sang nenek tidak nyaman, dia bisa saja tidak akan lagi mengajak sang cucu ke gereja. Tidak akan ada gantungan gambar gereja di lehernya, seperti gambar toilet, tempat tidur, dll. Saya baru menyadari ada beberapa gambar-gambar yang dikalungkan di leher sang cucu saat si cucu menunjuk satu gambar. Sang nenek kemudian menyampaikan kepada suaminya bahwa si cucu ingin ke kamar mandi.

Kebiasaan ke toilet saja bisa dipahami oleh sang cucu, sehingga dia mampu menunjuk gambar tersebut saat ingin buang air. Saya yakin di dalam benak sang cucu ada suatu gambaran tentang toilet. Jika sang cucu tidak pernah diajak lagi ke gereja karena sang nenek malu, lalu dapat dibayangkan, bahwa di benak sang cucu tidak akan ada gambaran tentang gereja dan juga mungkin gambaran tentang Tuhan. Menyedihkan membayangkan ada gambar toilet tetapi tidak ada gambar gereja atau Tuhan di benak sang cucu.

Ibu yang Demensia

Saya jadi membayangkan apa yang terjadi dengan saya jika Ibu saya masih hidup. Terakhir beliau mengalami demensia sebelum meninggalnya. Saat Ibu saya mengalami demensia yang semakin parah, Covid-19 sedang melanda Indonesia. Ibu saya sebelum Covid memilih menemani adik saya yang hidup sendiri di Jakarta. Semula Ibu saya banyak tinggal di Semarang dengan saya karena dokter yang merawat beliau ada di Semarang.

Covid-19 dan setelah Covid mereda saya sakit yang cukup parah yang tidak memungkinkan saya untuk menengok Ibu saya di Jakarta. Enam bulan setelah saya keluar dari rawat inap, Ibu saya meninggal.

Memang di gereja Katolik, umat berbeda perilakunya dengan di Gereja Kristen selain Katolik. Jemaat di Gereja Kristen selain Katolik biasanya lebih akrab satu sama lain. Saya pernah saat KKN kesulitan mencari gereja Katolik dan akhirnya beribadah di Gereja Betel. Di depan gereja saya disambut sang Pendeta. Pendeta banyak bertanya kepada saya karena mungkin saya jemaat yang baru pertama dia lihat. Yang mengagetkan saat dia kotbah, saya diminta berdiri dan dipuja-puji sebagai domba yang selalu mencari sang Gembala.

Mungkin kalau Ibu saya masih hidup dan saya berkesempatan mengajak Ibu ke gereja, saya mungkin tidak terlalu direpotkan dengan pertanyaan dari umat yang lain. Umat yang lain mungkin juga tidak terlalu peduli. Apalagi yang kenal secara pribadi dengan saya di gereja juga tidak banyak.

Saya membayangkan jika saya jemaat Gereja Betel yang Pendetanya mengenal jemaatnya satu per satu, dan jemaatnya saling mengenal satu dengan yang lain, barangkali saat awal-awal saya mengajak Ibu saya ke gereja mungkin saya juga perlu memberikan macam-macam penjelasan seperti sang nenek yang punya cucu autis. Apalagi jika karena demensianya, Ibu saya mengganggu peribadatan.

Perlu Malukah Kita?

Sayangnya saya tidak mampu menjawab pertanyaan saya sendiri, karena saya tidak memiliki pengalaman empirik. Jawaban saya pasti bersifat teoritis dan normatif. Tetapi pertanyaan itu selalu terbayang, bagaimana jika saya ada di posisi nenek yang punya cucu autis, bagaimana jika Ibu saya masih hidup dengan ke-demensiaan-nya, bagaimana jika saya menjadi perawat anak cacat ganda?

Bagaimana jika saya ada di posisi sang cucu autis, ada di posisi Ibu saya yang demensia, dan jika saya ada di posisi anak cacat ganda? Dan, ada banyak bagaimana yang lain yang muncul di benak saya yang sayangnya tidak mampu saya jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun