Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perlu Malukah Kita Mengajak Anggota Keluarga Difabel ke Tempat Ibadah?

2 Desember 2024   05:23 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu yang Demensia

Saya jadi membayangkan apa yang terjadi dengan saya jika Ibu saya masih hidup. Terakhir beliau mengalami demensia sebelum meninggalnya. Saat Ibu saya mengalami demensia yang semakin parah, Covid-19 sedang melanda Indonesia. Ibu saya sebelum Covid memilih menemani adik saya yang hidup sendiri di Jakarta. Semula Ibu saya banyak tinggal di Semarang dengan saya karena dokter yang merawat beliau ada di Semarang.

Covid-19 dan setelah Covid mereda saya sakit yang cukup parah yang tidak memungkinkan saya untuk menengok Ibu saya di Jakarta. Enam bulan setelah saya keluar dari rawat inap, Ibu saya meninggal.

Memang di gereja Katolik, umat berbeda perilakunya dengan di Gereja Kristen selain Katolik. Jemaat di Gereja Kristen selain Katolik biasanya lebih akrab satu sama lain. Saya pernah saat KKN kesulitan mencari gereja Katolik dan akhirnya beribadah di Gereja Betel. Di depan gereja saya disambut sang Pendeta. Pendeta banyak bertanya kepada saya karena mungkin saya jemaat yang baru pertama dia lihat. Yang mengagetkan saat dia kotbah, saya diminta berdiri dan dipuja-puji sebagai domba yang selalu mencari sang Gembala.

Mungkin kalau Ibu saya masih hidup dan saya berkesempatan mengajak Ibu ke gereja, saya mungkin tidak terlalu direpotkan dengan pertanyaan dari umat yang lain. Umat yang lain mungkin juga tidak terlalu peduli. Apalagi yang kenal secara pribadi dengan saya di gereja juga tidak banyak.

Saya membayangkan jika saya jemaat Gereja Betel yang Pendetanya mengenal jemaatnya satu per satu, dan jemaatnya saling mengenal satu dengan yang lain, barangkali saat awal-awal saya mengajak Ibu saya ke gereja mungkin saya juga perlu memberikan macam-macam penjelasan seperti sang nenek yang punya cucu autis. Apalagi jika karena demensianya, Ibu saya mengganggu peribadatan.

Perlu Malukah Kita?

Sayangnya saya tidak mampu menjawab pertanyaan saya sendiri, karena saya tidak memiliki pengalaman empirik. Jawaban saya pasti bersifat teoritis dan normatif. Tetapi pertanyaan itu selalu terbayang, bagaimana jika saya ada di posisi nenek yang punya cucu autis, bagaimana jika Ibu saya masih hidup dengan ke-demensiaan-nya, bagaimana jika saya menjadi perawat anak cacat ganda?

Bagaimana jika saya ada di posisi sang cucu autis, ada di posisi Ibu saya yang demensia, dan jika saya ada di posisi anak cacat ganda? Dan, ada banyak bagaimana yang lain yang muncul di benak saya yang sayangnya tidak mampu saya jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun