Saya beruntung dapat tinggal di Berkeley, California selama empat bulan. Yang menarik perhatian saya adalah tentang lalu lintasnya. Betapa pengendara sangat mendahulukan pejalan kaki. Hal ini mungkin sama dengan beberapa tempat yang pernah saya kunjungi, seperti Singapura, Kyoto, Nijmegen, Newcastle upon Tyne dan beberapa kota lain di Negara yang disebut Maju. Yang membedakan mungkin adalah cerita yang saya peroleh tentang latar belakang lalu lintas di Berkeley.
Salah satu kegiatan yang saya ikuti selama di sana adalah kursus Bahasa Inggris gratis dengan sukarelawan. Rata-rata sukarelawannya adalah para lansia. Jangan bayangkan kursus Bahasa Inggrisnya seperti yang ada di Indonesia. Kami hanya bercakap-cakap tentang banyak hal, terutama perbedaan budaya Amerika Serikat pada umumnya dan Berkeley pada khususnya dengan budaya Indonesia. Di sana sini selama kami bercakap-cakap, dia membantu memperbaiki tata bahasa dan juga pilihan kata saya.
Malu Menyeberang Jalan
Suatu saat saya menceritakan perbedaan perilaku pengemudi kendaraan bermotor di Indonesia dengan di Berkeley. Saya menceritakan bahwa di Berkeley saya kadang-kadang malu untuk menyeberang, karena kendaraan akan berhenti dan memberikan kesempatan agar saya dapat menyeberang jalan terlebih dahulu.
Sebegitu malunya saya, sampai-sampai ketika saya melihat kendaraan akan melintas di tempat penyeberangan jalan, saya pura-pura tidak akan menyeberang. Saya biarkan terlebih dahulu kendaraan tersebut melintas, baru kemudian saya menyeberang jalan. Untungnya lalu lintas di Berkeley tidak terlalu padat, jadi saya tidak perlu lama berpura-pura dan saya juga bisa menyeberang.
Saya juga ceritakan, bahwa di beberapa tempat di Indonesia sudah dipasang lampu lalu lintas di tempat penyeberangan jalan. Saat kita akan menyeberang jalan, kita menekan tombol untuk membuat lampu berubah dari hijau ke merah. Di Nijmegen, saat lampu berkedip beralih dari warna hijau ke kuning, kendaraan sudah berhenti.
Di beberapa tempat di Indonesia, kita tetap masih harus berhati-hati karena orang Indonesia belum terbiasa dengan lampu pengatur lalu lintas seperti ini. Beberapa pengemudi masih melintas meskipun lampu sudah berubah ke merah. Juga sebelum lampu berganti warna hijau, kadang ada saja kendaraan yang sudah melintas.
Menjadi Sabar Ketika Di Belakang Kemudi
Pembimbing kursus saya kemudian bergurau. Dia mengatakan bahwa orang di Berkeley menjadi sangat penyabar ketika ada di belakang kemudi. Padahal di luar saat mengemudi, dia bisa saja sangat temperamental. Dia juga menceritakan bahwa ini adalah keberhasilan rekayasa sosial. Sebelum dilakukan rekayasa sosial, pengemudi di Berkeley juga sama dengan pengemudi di Indonesia.
Dia menceritakan bahwa masih ada juga kesamaan antara Indonesia dengan Berkeley. Di Berkeley kita temui banyak homeless, bahkan saat itu ada satu tempat khusus yang didominasi oleh para homeless. Saya tidak berani menyebutnya sebagai gelandangan. Beberapa dari mereka memilih untuk menjadi homeless karena itu gaya hidup (baca gaya hidup) yang mereka pilih. Masih juga ada peringatan di mana-mana, terutama di tempat sepi, untuk berhati-hati terhadap perampokan dan pemerkosaan. Setiap hari Minggu kita juga akan menemukan botol-botol minuman berserakan di beberapa tempat.
Rekayasa sosial yang dia maksud ternyata adalah perubahan tindakan yang dilakukan polisi terhadap pelanggar lalu lintas. Jika kita mengemudi dan menimbulkan korban jiwa, maka Surat Izin Mengemudi kita bisa dicabut. SIM kita akan diberi tanda, jika kita melakukan pelanggaran berat. Setelah sekian kali SIM kita ditandai, akhirnya SIM kita bisa dicabut. Kata dia, jangan harap kita dapat memperoleh SIM yang baru setelah SIM kita dicabut.