Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Malu Menyeberang Jalan di Berkeley

9 November 2024   15:55 Diperbarui: 9 November 2024   17:18 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya beruntung dapat tinggal di Berkeley, California selama empat bulan. Yang menarik perhatian saya adalah tentang lalu lintasnya. Betapa pengendara sangat mendahulukan pejalan kaki. Hal ini mungkin sama dengan beberapa tempat yang pernah saya kunjungi, seperti Singapura, Kyoto, Nijmegen, Newcastle upon Tyne dan beberapa kota lain di Negara yang disebut Maju. Yang membedakan mungkin adalah cerita yang saya peroleh tentang latar belakang lalu lintas di Berkeley.

Salah satu kegiatan yang saya ikuti selama di sana adalah kursus Bahasa Inggris gratis dengan sukarelawan. Rata-rata sukarelawannya adalah para lansia. Jangan bayangkan kursus Bahasa Inggrisnya seperti yang ada di Indonesia. Kami hanya bercakap-cakap tentang banyak hal, terutama perbedaan budaya Amerika Serikat pada umumnya dan Berkeley pada khususnya dengan budaya Indonesia. Di sana sini selama kami bercakap-cakap, dia membantu memperbaiki tata bahasa dan juga pilihan kata saya.

Malu Menyeberang Jalan

Suatu saat saya menceritakan perbedaan perilaku pengemudi kendaraan bermotor di Indonesia dengan di Berkeley. Saya menceritakan bahwa di Berkeley saya kadang-kadang malu untuk menyeberang, karena kendaraan akan berhenti dan memberikan kesempatan agar saya dapat menyeberang jalan terlebih dahulu.

Sebegitu malunya saya, sampai-sampai ketika saya melihat kendaraan akan melintas di tempat penyeberangan jalan, saya pura-pura tidak akan menyeberang. Saya biarkan terlebih dahulu kendaraan tersebut melintas, baru kemudian saya menyeberang jalan. Untungnya lalu lintas di Berkeley tidak terlalu padat, jadi saya tidak perlu lama berpura-pura dan saya juga bisa menyeberang.

Saya juga ceritakan, bahwa di beberapa tempat di Indonesia sudah dipasang lampu lalu lintas di tempat penyeberangan jalan. Saat kita akan menyeberang jalan, kita menekan tombol untuk membuat lampu berubah dari hijau ke merah. Di Nijmegen, saat lampu berkedip beralih dari warna hijau ke kuning, kendaraan sudah berhenti.

Di beberapa tempat di Indonesia, kita tetap masih harus berhati-hati karena orang Indonesia belum terbiasa dengan lampu pengatur lalu lintas seperti ini. Beberapa pengemudi masih melintas meskipun lampu sudah berubah ke merah. Juga sebelum lampu berganti warna hijau, kadang ada saja kendaraan yang sudah melintas.

Menjadi Sabar Ketika Di Belakang Kemudi

Pembimbing kursus saya kemudian bergurau. Dia mengatakan bahwa orang di Berkeley menjadi sangat penyabar ketika ada di belakang kemudi. Padahal di luar saat mengemudi, dia bisa saja sangat temperamental. Dia juga menceritakan bahwa ini adalah keberhasilan rekayasa sosial. Sebelum dilakukan rekayasa sosial, pengemudi di Berkeley juga sama dengan pengemudi di Indonesia.

Dia menceritakan bahwa masih ada juga kesamaan antara Indonesia dengan Berkeley. Di Berkeley kita temui banyak homeless, bahkan saat itu ada satu tempat khusus yang didominasi oleh para homeless. Saya tidak berani menyebutnya sebagai gelandangan. Beberapa dari mereka memilih untuk menjadi homeless karena itu gaya hidup (baca gaya hidup) yang mereka pilih. Masih juga ada peringatan di mana-mana, terutama di tempat sepi, untuk berhati-hati terhadap perampokan dan pemerkosaan. Setiap hari Minggu kita juga akan menemukan botol-botol minuman berserakan di beberapa tempat.

Rekayasa sosial yang dia maksud ternyata adalah perubahan tindakan yang dilakukan polisi terhadap pelanggar lalu lintas. Jika kita mengemudi dan menimbulkan korban jiwa, maka Surat Izin Mengemudi kita bisa dicabut. SIM kita akan diberi tanda, jika kita melakukan pelanggaran berat. Setelah sekian kali SIM kita ditandai, akhirnya SIM kita bisa dicabut. Kata dia, jangan harap kita dapat memperoleh SIM yang baru setelah SIM kita dicabut.

Penegakan hukum dan administrasi pelanggaran seperti ini bukan bualan. Saya menyaksikan sendiri bahwa setiap beberapa jam sekali akan ada polisi yang memeriksa tiket parkir yang harus kita letakkan di dashboard mobil. Jika tidak ada tiket parkir, siap-siap saja kendaraan kita ditempel surat tilang. Di beberapa tempat ada larangan mengendarai sepeda. Kita harus turun dan menuntun sepeda kita di tempat tersebut. Jika tidak, kita bisa ditilang.

Teman saya yang datang bersama saya pernah ditilang gara-gara dia tetap menaiki sepeda di tempat larangan. Saat dia akan kembali ke Indonesia, dia tertawa-tawa menceritakan tentang tilang sepeda ini kepada pembimbing kami di UC Berkeley. Pembimbing kami mengatakan bahwa dia harus membayar denda. Jika tidak membayar denda, maka paspor dia akan diberi catatan dan kemungkinan dia akan kesulitan masuk ke Amerika Serikat.

Dalam hati, saya mengatakan di Indonesia hal itu hampir mustahil terjadi. Apalagi bersepeda lalu ditilang. Wah itu hil yang mustahal, kata Asmuni Sri Mulat. Penegakan hukum memang harus didukung administrasi yang kuat dan perilaku lurus dari penegak hukumnya. Itu yang masih sulit dilakukan di Indonesia, kata saya dalam hati. Hanya dalam hati saja.

Strong State

Kejadian di atas membawa saya ke renungan tulisan Francis Fukuyama dalam bukunya State Building. Fukuyama mengatakan inti dari strong state atau negara yang kuat adalah enforcement atau penegakan hukum atau kemampuan Negara untuk memaksa warganya mematuhi hukum Negara. Negara yang lemah atau bahkan Negara yang gagal tidak memiliki institusi yang memadai dan kuat di level nasional untuk menegakkan hukum. Dan, ini akan berpengaruh bukan hanya pembangunan ekonomi suatu Negara, tetapi juga dapat menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia di negaranya, memicu timbulnya bencana kemanusiaan, menimbulkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar (termasuk perpindahan penduduk kaya dan cerdas ke Negara lain, catatan penulis), serta membahayakan menyerang negara lain.

Mudah-mudahan Negara kita bisa segera menjadi strong state, dimulai dari penegakan hukum bagi pelanggar lalu lintas dulu saja. Mudah-mudahan dalam waktu dekat saya juga malu menyeberang jalan di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun