Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wajib Sertifikasi Halal, Islamisasi?

31 Oktober 2024   09:45 Diperbarui: 31 Oktober 2024   09:50 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan bahwa mulai tanggal 18 Oktober 2024 berlaku kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha, seperti diamanatkan oleh Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pengawas dan sanksi juga sudah disiapkan, baik sanksi administratif maupun sanski sampai penarikan produk dari peredaran.

Produk yang wajib sertifikasi halal juga sangat beragam, mulai dari makanan, minuman, obat, kosmetik, produk tekstil, kulit, alas kaki, sampai peralatan rumah tangga. Produk tersebut harus diurus sertifikasi halalnya, jika masuk, beredar serta diperdagangkan di Indonesia (Kompas.com, 30 Oktober 2024).

Kebijakan ini menarik untuk dikaji: apa manfaat dan implikasinya?

Sertifikat Halal = Islamisasi?

Kebijakan sertifikasi halal tentunya tidak dapat dipersepsikan dangkal sebagai Islamisasi. Adalah benar bahwa pemerintah melalui kebijakannya harus menjamin produk atau jasa yang tepat bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Kebijakan ini juga tentunya tidak dapat sebagai Islamisasi, karena produk non halal juga masih diijinkan beredar di Indonesia. Yang non halal boleh beredar selama mencantumkan keterangan tidak halal. 

Dalam dunia yang sudah mengglobal dan multi kultural, kita tidak dapat membatasi atau bahkan melarang produk non halal, beredar di Indonesia, apalagi ada beberapa daerah di Indonesia yang juga didominasi oleh penduduk non Muslim. Larangan beredarnya produk non halal terbukti tidak efektif. Masyarakat di daerah yang menerapkan secara ketat produk dan jasa yang beredar di daerah tersebut harus hanya yang halal, mengakibatkan masyarakat daerah tersebut membelanjakan uangnya di daerah yang memperbolehkan produk non halal beredar. Dampaknya tentu tidak sederhana dan bisa tidak produktif, karena proses produksi nilai tambah kemudian justru terjadi di daerah lain tersebut.

Kebijakan sertifikasi halal dalam kaca mata agama, seharusnya dilihat sebagai jaminan pemerintah untuk menyediakan produk dan jasa yang sesuai dengan agama dan keyakinan masyarakatnya, yang kebetulan mayoritas beragama Islam.

Manfaat Strategis Sertifikasi Halal

Sebagai seorang non muslim, saya justru berpandangan bahwa kewajiban sertifikasi halal merupakan sebuah kebijakan yang bersifat sangat strategis. Di tengah regim perdagangan bebas, sangat sulit bagi satu negara untuk menerapkan barrier to entry atau penghalang untuk masuk bagi produk impor.

Dulu Indonesia memperkenalkan Standar Nasional Indonesia (SNI), tetapi juga tidak efektif dan mungkin juga tidak ditujukan sebagai penghalang untuk masuk bagi produk impor. Demikian juga kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia untuk penjelasan produk. Juga dapat dengan sangat mudah dilakukan. Kebijakan baru ini luar biasa, karena dengan menggunakan isu yang sangat sensitif dan tidak disebutkan, tetapi sangat efektif sebagai penghalang untuk masuk bagi produk impor. Bagaimana mungkin?

Untuk memperoleh sertifikasi halal diperlukan proses dan waktu. Waktu inilah yang bisa kita sebagai sebuah bangsa gunakan untuk buying time. Informasi bahwa satu produk atau jasa impor tertentu akan masuk ke Indonesia, bisa kita dapatkan dari BPJPH. Lag waktu ini jika digunakan dengan baik dapat mempersiapkan dunia perdagangan Indonesia untuk menerima produk atau jasa baru yang didaftarkan ke BPJPH.

Informasi ini, jika retret Kabinet Merah Putih berhasil membangun tim yang solid, dapat dimanfaatkan oleh departemen atau institusi lain termasuk pelaku usaha domestik untuk mempersiapkan diri terhadap masuknya produk dan jasa impor yang sedang diajukan proses sertifikasi halalnya. Dan, jika hal ini dilakukan dengan baik dan elegan, bisa sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo untuk lebih banyak menggunakan produk dalam negeri.

Bisakah?

Saling tukar informasi antara BPJPH dengan aktor lain tentunya tidak perlu digembar-gemborkan ke publik. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mekanisme pertukaran informasi dapat dilakukan, dan dalam waktu yang relatif pendek sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh sertifikasi halal, dapat dimanfaatkan dengan baik untuk lebih memperkuat industri produk dan jasa dalam negeri.

Menurut saya kewajiban sertifikasi halal adalah keputusan yang cerdas dan strategis. Tinggal bagaimana memanfaatkannya secara positif agar tidak kontra produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun