Sepotong jalan tertera namanya : Binadji. Jalan tersebut berada di sebuah kampung dekat tanggul sungai Pemali kota Brebes. Tak banyak yang tahu tentang dirinya. Binadji menjadi bukti tokoh sejarah yang berada di ruang gelap panggung sejarah lokal di Brebes. Selama ini nama Binadji dikenal hanya sepotong jalan. Lain itu tidak. Padahal tokoh inilah yang berperan penting dalam proses transisi politik di tahun 1945 dan salah satu inisiator pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Brebes.Bersama dengan K.H Syatori, Binadji menjadi tumbal dalam fase revolusi kemerdekaan. Keduanya gugur ditembak oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), saat Agresi Militer I tahun 1947.
Terlahir dengan nama Mas Binadji Tjokroamdijojo. Binadji merupakan putra ke delapan dari sepuluh bersaudara. Putra Kepala Desa Kartomidjojo ini dilahirkan di desa Genting Ambarawa pada 7 Juni 1907. Ia memulai pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), setingkat SD tahun 1912. Pendidikan setingkat SMP atau pada waktu itu bernama Middelbare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Yogyakarta. Dari melihat riwayat pendidikan, Binadji memperoleh pendidikan sekelas warga Eropa. Ini disebabkan hubungan kekerabatan keluarga Binadji dengan keluarga RM Siswadi  Kismoditjokro yang berkedudukan sebagai mantri ukur. RM Kismadi menikahi Rara Moertijah kakak perempuan ayahnya. Mas Binadji dititipkan dalam tradisi ngenger atau nyuwita. Dalam tradisi Jawa ini merupakan tradisi menitipkan seorang anak kepada keluarga yang derajatnya lebih tinggi dengan harapan beroleh kehidupan yang lebih baik dan kelak membantu keluarga lainnya.
Melalui keluarga RM Siswadi, Binadji memperoleh pendidikan yang baik khususnya pendidikan Eropa. Sebagai rasa terima kasih kepada keluarga RM Siswadi, Binadji menambahkan di belakang namanya imbuhan "Tjokroamidjojo". Nama itu terdiri dari "tjokro" dari nama Kismodi-tjokro dan nama belakang ayahnya Kartomi-djojo. Mas Binadji merupakan tipikal priyayi terpelajar lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Karier kepegawaiannya selepas dari OSVIA adalah menjadi pegawai magang di Kawedanan Ambarawa. Di tahun 1927-1930 karirnya melesat sebagai mantri polisi di Kawedanan Purworejo. Tahun 1933 Binadji dipromosikan menjadi Asisten Wedana (setingkat Camat) di Sroemboeng Kabupaten Magelang. Tiga tahun kemudian Binadji diposisikan sebagai Jaksa pada landraad di Kabupaten Temanggung. Tanggal 28 Juni 1940 Binadji dimutasikan di Kabupaten Pemalang dengan jabatan yang sama. Diketahui pada masa pendudukan Jepang Binadji masuk ke Kabupaten Brebes sebagai Jaksa pada landraad Brebes.
Gegeran Revolusi Sosial
Tak lama berselang, memasuki tahun 1945 tepatnya bulan November di pesisir utara Jawa meletus Peristiwa Tiga Daerah. Ini merupakan peristiwa revolusi sosial yang menjadi antiklimaks dari revolusi 1945. Sebagaimana analisa Anton Lucas dalam One Soul One Struggle (1989) katup penyebab revolusi berakar panjang dari masa pendudukan Jepang hingga kekecewaan terhadap kaum pangreh praja yang tidak mendukung revolusi 1945 dan menguatkan kaum status quo. Pada situasi itulah Mas Binadji dihadapkan mengatasi turbulensi politik lokal di Kabupaten Brebes. Sedangkan kita ketahui Bupati Brebes, kala itu Sarimin Reksadihardja cenderung bersikap mendukung status quo dengan bukti tidak memperkenankan pengibaran bendera Merah Putih di Brebes.
Tatkala bertugas di Kabupaten Brebes, Binadji sudah berkeluarga dan dikarunia 6 orang anak. Binadji melangsungkan biduk rumah tangga dengan meminang Rara Chatimah Djojowinoto. Rara Chatimah merupakan putri dari RM Sayid Jakub Djojowinoto yang masih keturunan Sultan Hamengkubuwana II. Binadji melangsungkan pernikahan pada 9 Januari 1930. Tak lama kemudian pasangan pengantin ini mendapatkan karunia anak pertama yang lahir 6 Juni 1930 dan diberi nama Bintoro (kelak menjadi Dubes Indonesia untuk Belanda periode 1990-1993).
Berturut-turut lahir keturunan lainnya yakni :
1. Bintari yang lahir 24 Maret 1933
2. Bintaroem yang meninggal pada usia setahun
3. Putra keempat meninggal sebelum lahir
4. Binarti Fadjar Soemirat yang lahir pada 13 September 1944
5. Putra kembar yang lahir pada bulan Februari 1948 masing-masing Binaradji Nurushuhudi dan Bin Ichlas Adji.
Dalam kondisi transisi politik lokal di Kabupaten Brebes, selain sebagai Jaksa, Binadji mendapatkan tugas tambahan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Ini semacam parlemen lokal sebagai bagian dari perpanjangan KNI Pusat yang terbentuk pada 3 September 1945 dan disempurnakan 27 September 1945. KNID Brebes ini lah yang mengangkat Kyai Haji Syatori sebagai Bupati Brebes menggantikan Sarimin Reksadihardja. Dalam perkembangan berikutnya Ketua KNI Daerah Brebes diserahkan kepada Kartohargo seorang nasionalis dan Ketua Barisan Pelopor Kabupaten Brebes. Kartohargo sebelumnya adalah Wakil Ketua KNID Brebes. Beberapa anggota KNID Brebes lainnya dr. Mohammad Nazarudin, Maksum Hr, Soegeng, Imam Sahadat, Soemarno, Soenggono, Kartadi , Mohammad Saleh serta Nyonya Mardjono.
Tentang pergantian ini, Binadji pernah mengungkapkan adanya polarisasi kekuatan revolusioner dengan kaum pangreh praja. Menurutnya kaum revolusioner mendapatkan sokongan dari kaum muda yang beringas. Bahkan ketika ditanyakan pada pribadinya soal pandangan minor terhadap dirinya dan Bupati Sarimin, Binadji tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Kompleksitas revolusi sosial dan posisi Binadji sebagai golongan pangreh praja membuatnya berada dalam posisi yang menyebabkan tudingan negatif tak hanya dari masyarakatnya sendiri namun juga kelak dari pemerintahan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Binadji berada dalam pusaran turbulensi politik. Posisi dan status sosialnya menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menggeneralisasikan pribadinya sebagai kelompok status quo.
Padahal jika melihat jejak rekam kehidupan, Binadji merupakan kaum pangreh praja profesional yang pernah aktif dalam pergerakan kebangsaan etnonasionalistik.Binadji pernah menjadi anggota Jong Java. Sebuah pergerakan kaum muda Jawa yang mencita-citakan kemajuan dan perubahan. Setelah menjadi pangreh praja, Binadji turut dalam organisasi Vereeniging Ambtenaren Indlandsch Besturen (VAIB) yang berdiri pada 13 Maret 1915. VAIB merupakan perkumpulan kaum pangreh praja pribumi.Dipilihnya organisasi ini menunjukkan arah Binadji yang berkhidmat dalam organisasi profesi dan bukannya organisasi politik pergerakan kebangsaan.
Martir Revolusi
Selain menghadapi turbulensi revolusi sosial Tiga Daerah, Binadji mengalami gejolak pasca revolusi 1945, yakni datangnya pemerintah kolonial Belanda yang berkeinginan melanjutkan kolonisasi di Indonesia. Mereka memanfaatkan datangnya Sekutu pada bulan September 1945 dan berniat mendirikan pemerintahan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Serangkaian konflik mengemuka saat hadirnya Sekutu dan Belanda yang turut mendompleng. Upaya meredam konflik tersebut ditengahi oleh Sekutu melalui serangkaian perundingan perdamaian. Salah satunya adalah penandatanganan perundingan Linggajati Maret 1947.
Sementara itu posisi Binadji sesudah peristiwa Tiga Daerah dipulihkan. Ia tidak lagi menjabat sebagai Jaksa melainkan sebagai Wedana Brebes. Tidak seperti Bupati Brebes, Sarimin Reksadihardja yang didaulat turun, Binadji terselamatkan. Konon ini berkat jaminan ulama Brebes, KH Abbas Abdullah. Namun kenyataannya itu tidak berlangsung lama. Jabatan Wedana Brebes hanya berlangsung 10 Desember 1945. Selanjutnya Binadji dinonjobkan sebagai staf Bupati. Ini sebagai konsekuensi Binadji yang dianggap kaum revolusioner sebagai golongan old order. Tanggal 22 Desember 1945 oleh Wakil Residen Pekalongan, Soeprapto, Binadji diposisikan kembali sebagai Wedana Brebes. Dari Wedana Brebes, Binadji pada tanggal 6 Januari 1946 diangkat sebagai Ketua KNID Brebes kembali. Memasuki tahun 1946, wilayah Republik Indonesia menghadapi cobaan saat Belanda berhasrat melakukan pendudukan atas wilayah Indonesia.
Serangkaian perundingan telah difasilitasi Sekutu untuk meredam konflik antara Indonesia dengan Belanda seperti perundingan Hoge Veluwen 14-24 April 1946 serta perundingan Linggajati yang dimulai bulan November 1946 hingga disepakati bulan Maret 1947. Namun perundingan Linggajati diingkari ketika NICA dibawah komando H.J Van Mook pada tanggal 21 Juli 1947 melancarkan Agresi Militer I dan terikat lagi dengan Linggajati. Pasukan NICA bergerak cepat menguasai kota-kota strategis di Sumatera dan Jawa. Dari Bandung, NICA menguasai Cirebon dan bergerak ke arah timur menuju Losari. Losari dikuasai tanggal 23 Juli 1947.
Di Brebes, Bupati Brebes KH Syatori memompa semangat perlawanan melalui khutbah Jumat. Untuk memperlambat gerak pasukan NICA di kota Brebes, Syatori memerintahkan pengeboman jembatan Pemali. Pengeboman dibantu laskar Hizbullah. Usaha itu tidak menghalangi gerak pasukan NICA. 26 Juli 1947 kota Brebes dikuasai. Sebagai pusat komando, adalah kompleks Kodim 0713 Brebes yang sekarang ini. Sementara itu pemerintahan Republiek dibawah KH Syatori telah berpindah ke Wangandalem. Termasuk di dalamnya keluarga Binadji turut serta dalam pengungsian.
Untuk memulihkan pemerintahan, NICA telah melakukan langkah-langkah antisipasi pemulihan pemerintah di wilayah pendudukan termasuk di Kabupaten Brebes, NICA telah membentuk pemerintahan Regeering Commisioner Binnelands Bestuur (RECOMBA). Syatori dan Binadji memilih dengan jawaban memindahkan pusat pemerintahan Brebes ke wilayah desa Wangandalem. Tercatat pemerintah Kabupaten Brebes selama tahun 1947-1949 memindahkan ibukota dari Wangandalem ke Padasugih, kemudian ke Krasak dan terakhir di Ciputih kecamatan Salem. Jadi dengan demikian di Brebes terdapat 2 pemerintahan. Pertama pemerintah Republik dengan Bupatinya KH Syatori dan Ketua KNID, Binadji. Kedua pemerintah Recomba dengan Bupati Raden Awal dengan patihnya RM Soemarja.
Kedudukan pemerintah Republik mendapat sorotan dan pengawasan dari pemerintah NICA di Brebes. Ini terbukti dari upaya pemerintahan NICA memburu Syatori dan Binadji. Detik-detik penangkapan Binadji dikisahkan oleh putra sulunya Bintoro Tjokroamidjojo dalam otobiografinya :
Keluarga saya sebetulnya waktu itu sudah ngungsi ke desa Wangandalem, tapi yah entah karena perasaan tanggung jawab, maka Bapak datang menengok kota Brebes dan bahkan kemudian seluruh keluarga kembali ke Brebes. Suasana sangat mencekam ketika pada suatu hari Bapak dibawa tentara Belanda dan tidak pernah kembali lagi. Bapak sempat.
Peristiwa itu terjadi 27 Juli 1947. Keluarga Binadji baru mendengar informasi tentang di-"sukabumi"-kan Binadji dekat sungai Pemali dan dilarung. Di Tengki, jenazah Binadji dimakamkan dekat sungai Pemali. Makam ini tergerus banjir bandang Pemali, hingga jenazah Binadji tak ditemukan hingga kini. Terdapat beberapa dugaan mengapa Binadji menjadi target penangkapan. Pertama, Belanda tidak berhasil membujuk Binadji dalam pemerintah Recomba. Kedua, Belanda menghubungkan kesalahan Binadji dalam kapasitasnya sebagai Jaksa dalam peristiwa Tiga Daerah yang tidak berhasil mengamankan jatuhnya korban di kalangan masyarakat Eropa dan Indo Eropa  di sekitar kompleks pabrik gula di wilayah Kabupaten Brebes.
      Binadji menjadi martir revolusi, ia meninggalkan pesan tentang sikap hidup :
      Selaloe enget dan berbakti dan takoet, asih pada Allah jang membikin kamoe hidoep di doenia
Layaknya Binadji untuk diusulkan sebagai pahlawan oleh Pemerintah Bersama Kjai Syatori. Keduanya menjadi martir revolusi 1945 serta mengajarkan sikap nasionalisme bagi bangsanya. Setidaknya nama Binadji dijadikan sebagai gedung DPRD Kabupaten Brebes sebagai bentuk apresiasi kepada Binadji yang pernah menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (cikal bakal DPRD) Brebes saat revolusi 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H