Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngasa, Sedekah Gunung Masyarakat Jalawastu

27 Februari 2020   20:42 Diperbarui: 27 Februari 2020   20:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

A.  Ngasa dan Narasi Jalawastu

Upacara Ngasa merupakan ritus masyarakat dukuh Jalawastu. Tahun 2019 Pemerintah melalui Kementerian Pendiidikan dan Kebudayaan menetapkan  kekayaan budaya ini sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) dalam kategori ritus adat. Ngasa identik dengan apresiasi masyarakat Jalawastu terhadap kosmologi alam mereka yang hidup di kaki gunung Kumbang. 

Bagi masyarakat Jalawastu, upacara Ngasa atau sedekah gunung tidak sekadar ritual tahunan yang mengingatkan pada keyakinan purba mereka pada leluhur Batara Windu Sakti Buwana, tapi Ngasa merupakan upaya terakhir mereka dan yang masih tersisa dalam menegaskan soal identitas serta eksistensi sebagai komunitas adat yang terpengaruh budaya Sunda. 

Di tengah-tengah masyarakat yang pada umumnya dipengaruhi unsur budaya Jawa. Mereka juga mengadopsi Ngasa dengan keyakinan Islam melalui pewarisan sejarah tutur Jalawastu yang mengkaitkan dengan kekuasaan Pajajaran dan Cirebon. Pelaksanaan Ngasa jatuh pada Selasa Kliwon. Tahun ini (2020) upacara Ngasa akan digelar pada 10 Maret 2020.

Siapa Jalawastu ? Pertanyaan tersebut penulis lontarkan pada tokoh adat Jalawastu, Gugun Dastam (57 tahun). "Kami merupakan bagian dari keyakinan Sunda Wiwitan" ungkapnya. Seperti kita ketahui, Sunda Wiwitan sebagaimana dikenal merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Sunda. Persebarannya ada di Kanekes, Ciptagelar, Kampung Naga, Cisolok, Cigugur dan Cirebon. 

Ajaran ini dalam kitab Carita Parahiyangan disebut Jati Sunda. Sumber ajaran ini berasal dari Kitab Sang Hyang Siksakandang Karesian.Secara teologi Sunda Wiwitan mengakui kepercayaan tertinggi ada pada Sang Hyang Kersa (Nu Ngersakeun) atau disebut Batara Jagad atau Batara Seda Niskala. Penguatan identitas menjadi kesadaran kultural masyarakat Jalawastu pada saat pergelaran upacara Ngasa. Nama Batara Windu Sakti Buana diapresiasi dalam doa upacara Ngasa oleh kokolot. Doa dilafalkan dalam bahasa Sunda. Teks lengkapnya berbunyi demikian :

"Pun arek ngaturaken aci kukus mayang putih, terus ka aci dewata kaluhur kamunggung ka sang rumuhun, ka handap ka sang Batara Jaya  ingkanugrahan aci kukus mayang putih, kabusakanan , kabasukina panghaturkeun aci kukus ka Batara Windu Sakti Buana"

Yang menarik dari doa yang dipanjatkan kokolot. Siapa identitas dari Batara Windu Sakti Buana ? Siapa sebenarnya Batara Windu Sakti Buana ? Apakah ia sama dengan Batara Jagad dalam konsep teologi Sunda Wiwitan ? Pada cerita tutur masyarakat Jalawastu disebutkan silsilah Batara Windu Sakti Buana merupakan jelmaan Sang Hyang Tunggal.

Selain Batara Windu Sakti Buana terdapat penguasa jagad bernama Batara Naga Pecona yang disebut sebagai penjelmaan naga Kataksa (Taksaka). Menarik pula bahwa cerita tutur Jalawastu mengenal sosok Batara Ismaya sebagai utusan Batara Windu Sakti Buana untuk turun ke dunia dan menetapkan tanah keputihandari gunung Slamet hingga gunung Ciremai. 

Meneruskan pesan Sang Hyang Tunggal, Batara Ismaya memerintahkan agar di tanah keputihan dilarang adanya pertumpahan darah, dilarang mencuri, dilarang meminum minuman keras, dilarang berzina, dilarang madat, dilarang berbohong, dilarang berkhianat, dilarang membunuh binatang, dilarang menebang pohon, dilarang mencabut rumput, serta perbuatan negatif. 

Batara Ismaya dalam cerita pewayangan menjelma sebagai tokoh Semar. Karakter Semar merupakan pamomong bagi Pandawa. Dikenalnya Batara Ismaya dalam cerita tutur Jalawastu, membuktikan keterpengaruhan budaya Jawa. Adopsi budaya Jawa mewarnai masyarakat Jalawastu selain budaya Sunda dan lainnya.

Ada 3 kata dalam yang ditelisik dalam istilah Batara Windu Sakti Buana. Telaah filologi menunjukkan istilah "batara" merujuk pada pada nama-nama dewa dalam teologi Hindu seperti Bathara Guru, Vishnu, dan Bathara Brahma. Bathara juga merujuk pada sebutan gelar raja dan pembesar  (Mardiwarsito, 1979). Pada masa kekuasaan Majapahit istilah bathara bisa digunakan pada raja-raja lokal / daerah yang bisa disebut Paduka Bhatara (Hasan Djafar, 2009). 

Sementara windu menunjukkan beberapa pengertian. Pertama, bisa bermakna siklus kalender 8 tahunan yang meliputi tahun-tahun Alip, Ehe,Jimawal, J, Dal, Be, Wawu dan Jimakir (Sugeng Priyadi, 2009). Kedua, windu bisa bermakna pada konsep ketuhanan yang merujuk penempatan 8 dewa sesuai arah mata angin seperti Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Surya (barat daya), Varuna (barat), Vayu (barat laut), Kuvera (utara) dan Candra / Soma. 

Adapun buwana berasal dari bahasa Sansekerta, bhuwana yang berarti dunia atau bumi. Kedelapan itulah yang kemudian melahirkan gagasan soal ajaran Asta Brata. Asta Brata merupakan ajaran perilaku 8 dewa yang dijadikan rujukan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya (lihat Soemarsaid Moertono, 1985). Konotasi soal Batara Windu Sakti Buwana yang familiar di kalangan masyarakat di kaki Gunung Kumbang dan Sagara mengalami pribumisasi istilah dari bahasa Sansekerta menjadi bahasa Jawa Modern, yang peristilahan tersebut ditujukan sebagai keyakinan purba masyarakat Jalawastu yang dipengaruhi unsur Hinduisme dan setempat.

B. Pelaksanaan Ngasa

Upacara Ngasa berlangsung di Gedong Pesarean. Namun 3 hari sebelumnya masyarakat dukuh Jalawastu sudah mempersiapkannya. Dimulai dari membersihkan Gedong Pesarean, ritual memetik daun rendeu, batang tepus serta menumbuk jagung yang akan dipersiapkan sebagai kuliner utama. Nasi jagung dan lauknya akan dimakan bersama. 

Namun jangan harap menemui lauk macam telor apalagi yang berasal dari protein hewani. Pamali bagi masyarakat dukuh Jalawastu. Sekaligus menyambut tamu-tamu yang datang. Dari dukuh Garogol, Selagading dan Ciseureuh bahkan tetangga kecamatan, pejabat Kabupaten hingga tamu-tamu komunitas seni dan budaya, tum.

Sejarah mewartakan temuan upacara Ngasa saat tournee Bupati Brebes Raden Adipati Aria Tjandranegara ke wilayah Salem tahun 1882. pah ruahPelaksanaan upacara Ngasa tidak hanya dilaksanakan di wilayah Salem saja. Terdapat sembilan wilayah yang melaksanakan Ngasa sebelumnya dengan dipimpin 9 kuncen, masing-masing Marenggeng (kecamatan Bantarkawung), Gandoang, Kadumanis, Kurungciung (kecamatan Salem), Selagading, Garogol, Jalawastu, Permana (kecamatan Ketanggungan) serta Blandongan (kecamatan Banjarharja). 

Khusus untuk penyelenggaraan Ngasa di Jalawastu merupakan penggabungan pelaksanaan Ngasa di Selagading. Atas inisiatif Kepala Desa Ciseureuh, Rusdi Ganda Kusuma tahun 1997 disatukan upacara Ngasa bertempat di Jalawastu, tepatnya di Gedong Pesarean (Sudarno, 2016).

Ngasa disebut juga sedekah gunung. Dalam kebudayaan agraris, representase gunung menjadi penting dalam keyakinan masyarakat. Di Jalawastu merupakan pedukuhan yang berada di kaki gunung Kumbang. Gunung Kumbang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Kendeng Utara, tepatnya zona Serayu Utara. Studi van Bammelen (1949) mengidentifikasi zona Serayu Utara mencakup wilayah Banyumas Utara, Banjarnegara Utara, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang. 

Di Kabupaten Brebes, zona Serayu Utara meliputi puncak gunung Sagara (1109 meter di bawah permukaan laut / mdpl), Kumbang (1211 mdpl), dan Pojok Tilu (1129 mdpl). Ketiga puncak itu berada di kecamatan Ketanggungan, Banjarharjo, Bantarkawung, Salem hingga berbatasan dengan Kabupaten Kuningan. Pada puncak itu mengalir beberapa sungai seperti sungai Cibentar, Cibatu, Cikamuning, Cikumbang, Cirambeng dan Ciseureuh. Eksistensi gunung bagi masyarakat Nusantara menempati posisi penting, seperti pandangan masyarakat Jawa soal Mahameru. Atau konsep kosmologi gunung Merapi sebagai penjaga kekuasaan trah Mataram selain laut Kidul (lihat Peter Carey, 2014). 

Demikian pula dengan masyarakat Jalawastu memandang Gunung Kumbang. Mitos Gunung Kumbang berkaitan tempat bersemayamnya para dewata (para hyang) serta cerita Ki Kolot dan Nyai Kolot yang hidup bersama namun tidak pernah menikah hingga keduanya melanggar adat dan kena azab. Konon menurut masyarakat setempat, jika melihat dari sebelah utara pada musim kemarau, tampak hutan terbakar (yang sebetulnya tidak), itu pertanda penampakan Ki Kolot dan Nyai Kolot yang tengah menghangatkan diri.

Sedangkan Gunung Segara banyak mempertautkan dengan teks-teks yang menguatkan adanya saling keterpengaruhan pengaruh India. Cirebon dan Sunda. Folklore Gunung Segara bermula dari kisah Elang Segara yang bertapa di puncak Segara. Elang Segara merupakan putra dari Elang Padmanegara. Dengan ditemani cantriknya, Cahar dan Cahir. Meski berada di Jalawastu mereka secara teratur melakukan pisowanan ageng ke kesultanan Cirebon.

Beberapa keunikan yang dipertahankan masyarakat Jalawastu ada pada konstruksi rumah yang mempertahankan bahan bangunan kayu. Tak ada semen, genteng dan keramik pada bangunan rumah mereka. Bentuk bangunan Jalawastu tak menyerupai limas, intan atau paris. Melainkan lurus. Tak ada yang disembunyikan dalam bangunan Jalawastu. 

Ruang tamu menyatu dengan keluarga dan ruang makan. Yang tertutup hanyalah kamar bagi keluarga.  pamali (pantangan) yang dipertahankan masyarakat Jalawastu diantaranya menanam bawang merah, kacang tanah, kedelai. Sementara pantangan memelihara hewan ternak atau peliharaan diantaranya kerbau, angsa, ikan merah dan domba. Terdapat pula pantangan membunyikan dan menyimpan alat musik seperti ketuk kenong dan gong. Gong terdiri dari kempul kecil dan kempul besar. Untuk ketuk kenong dan gong dilarang ditabuh di area Gedong Pesarean.

Pada upacara Ngasa ada 2 pihak yang berperan, pertama pemangku adat yang mengendalikan dan Dewan Kokolot yang memimpin doa Ngasa. Jumlah Dewan Kokolot ada 15, namun yang memimpin doa satu orang. Saat doa , suasana menjadi hening :        

pun sadupun arek ngimankeun titi walari kanu baheula 

 titi walari ti baharu, taratas tilas nu baheula cuwang mumunjang

 anak putu sakalih, ka indung ka bapak, ka nini ,ka aki, ka buyut, ka bao

 ka bumi, ka langit, ka beurang, ka peuting, kabasukana, kabasukina, 

kanu antek kaluhuran, ka nu antek kararahaban 

kanu suci paweta, ka nu kadi srengenge katinggangeun

ka nu kadi bentang kapurnaman

ka nu kadi bulan kaopat welasna

ka nu kadi saloka jinibar

ka nu kadi emas winasukan

ka nu kadi inten winantaya

ka nu kadi hujan menerang kapoyana

Suasana kembali riuh saat Dewan Kokolot mengakhiri dan ditutup dengan makan bersama. Atau bertukar lauk yang mereka bawa.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun